[0] Prolog

44.4K 3.5K 689
                                    

"Boleh gak sih, kalo gue berharap bisa pulang tanpa harus dijemput?"

***

Ravin menatap kosong pada luka-luka yang berjejer di pergelangan tangan kirinya. Goresan-goresan itu, baginya, adalah sebuah mahakarya yang ia ciptakan dengan seluruh rasa sakit yang ada di dirinya. Berwarna kemerahan dengan sisa cairan merah pekat yang mulai merayap, membentuk satu kesatuan menjadi sebuah tetesan yang jatuh satu per satu.

Baginya, self-harm adalah suatu bentuk pelarian. Seperti narkotika, ia telah menjadi candu-berawal dari coba-coba yang akhirnya berubah menjadi kebiasaan yang tak terhindarkan.

Rasa perih di kulit itu terasa tak ada apa-apanya dibandingkan luka yang menggerogoti batinnya. Mentalnya telah hancur. Dunia, baginya, adalah algojo tanpa belas kasih, terus menumbuknya dengan beban yang mustahil ia pikul. Seakan memaksanya menjadi dewasa sebelum waktunya, disaat ia masih membutuhkan peran dari entitas bernama 'ayah'.

Dalam benak Ravin, kematian adalah jawaban. Udara yang ia hirup setiap hari terasa begitu menyesakkan, menyudutkan dirinya ke dinding yang tak tampak. Namun, meski pikirannya terus menggoda, tangannya tak pernah cukup berani untuk melangkah lebih jauh.

Pikirannya berputar tanpa henti. Wajah Bunda terlintas, diikuti bayangan adiknya, Renan, yang menurutnya masih kecil dan polos. Lalu ada masa depan yang begitu samar, yang bahkan tak berani ia pikirkan masa depannya yang abu-abu.

Ravin terlalu lelah. Masalah demi masalah menggerogoti jiwa dan raganya hingga nyaris hancur. la hanya ingin berhenti, meskipun itu berarti pergi selamanya. Namun, untuk saat ini, ia tetap menunggu. Menanti waktu itu tiba-waktu untuk 'pulang', meski tanpa dijemput. Boleh kah?

***

Lanjut gak?🗿

[1] Kang Begal (REMAKE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang