Prolog

4.9K 465 15
                                    

Rainer berjalan tenang menyusuri rumahnya. Tepatnya menyusuri lantai satu rumahnya untuk memastikan alaram keamanan telah terpasang sempurna atau belum.

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, ketika suasana rumahnya sudah terlihat sepi. Angel, istrinya sudah menunggu di kamar mereka, sedangkan ketiga kembar juniornya sudah memasuki kamar-kamar masing-masing.

Seperti kebiasaannya, setelah memastikan keamanan rumahnya sudah terpasang sempurna, ia akan berkeliling ke lantai dua untuk memastikan apakah Putra dan Putrinya sudah tertidur dengan nyaman atau belum.

Mereka masih delapan tahun, usia dimana sangat di perlukan kesabaran ekstra oleh orangtua. Syukurlah, ketiga anak-anaknya adalah anak yang aktif dan ia menyukai perkembangan mereka. Kesehatan dan kesejatraan anaknya adalah prioritas mereka saat ini. Memenuhi mereka kasih sayang serta cinta yang berlimpah darinya dan Angel. Agar kehidupan anak-anak mereka tidak memiliki pengalaman hidup yang suram seperti mereka.

Langkah kaki Rainer terhenti, begitu mendengar percikan suara air. Suaranya berasal dari kolam renang.

Ia kembali melangkah dengan terburu-buru, mencari tahu sumber suara. Namun ketika sampai di pintu samping rumah  mereka yang terbuka, tubuhnya hanya bisa membeku di tempat.

Sungguh???

Ini bukanlah pemandangan yang ingin ia lihat di tengah malam seperti ini.

Bagaimana bisa, putri satu-satunya dengan riang berenang disana di saat hari sudah hampir berganti, bahkan cuaca malam hari ini cukup dingin untuknya.

Bell, nama putrinya.

Bell dalam arti peri, nama yang ia beri untuk putrinya yang kuat karna mampu tetap bertahan dengan kondisi tubuhnya yang mengenaskan. Sebuah bayi mungil yang hanya seukuran setelapak tangannya, terlihat seperti peri. Bahkan kedua mata putrinya selalu berhasil menarik perhatian orang yang menatapnya.

"Bell?" Panggil Rainer frustasi, yang kini sudah berdiri di samping kolam renang mereka.

Melihat Papanya datang, wajah cengngesan serta suara cempreng itu langsung menyambutnya dengan ceria.

"Papa, Bell renang. Airnya dingin. Enak" kata gadis kecil itu terlihat suka cita.

Mengangguk pasrah, Rainer mengulurkan tangannya. Meminta bungsunya itu untuk naik dan menjangkau tangannya. "Ayo, naik nak! Udah malam, nanti kamu masuk angin" rayunya ingin menangis karna frustasi.

Mereka memiliki anak kembar tiga, dan dari ketiganya, Bell yang terlihat lebih aktif, lebih usil dan bisa di katakan lebih nakal di bandingkan kedua abang-abangnya.

Kejadian seperti ini, Bell yang menyelinap dari kamarnya, di saat tengah malam maupun dini hari hanya untuk berenang, sudah sering terjadi. Gadis kecilnya itu terlalu menyukai air, hingga tidak bisa menahan diri untuk tidak berenang ketika dia menginginkannya.

"Tapi Bell baru bentar renangnya papa!" Wajah cemberut itu pada akhirnya mendekat, membiarkan tangan kokoh papanya untuk mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dengan cara yang tidak biasa.

"Berenang itu masih bisa di lakukan siang atau sore hari sayang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Berenang itu masih bisa di lakukan siang atau sore hari sayang. Kalau malam begini, nanti kamu sakit. Kamu mau Mama sedih karna Bell sakit?" Tanya Rainer dengan penuh kelembutan.

Putri kecilnya itu menggeleng. Walau begitu, wajah cemberut itu masih juga tidak hilang.

Sesampainya di kamar Bell, Rainer dengan telaten melepaskan seluruh pakaian putrinya, lalu mengeringkan tubuh putrinya menggunakan handuk.

Ia mengambil piyama imut dari lemari lalu memasangkan ke tubuh putrinya. Ia bahkan tidak lupa memberikan minyak telon ke perut, dada serta punggung putrinya agar tidak masuk angin. Setelah itu, ia mengeringkan rambut Bell menggunakan hairdrayer.

"Nah, sudah beres. Saatnya tidur anak Papa! Biar besok kamu enggak telat sekolahnya" ucap Rainer, lalu membaringkan Bell ke atas tempat tidur. Menyelimuti tubuh mungil itu dengan selimut, sebelum memberikan kecupan di seluruh wajah Bell.

"Papa sayang Bell gak?" Pertanyaan tidak berdasar itu tiba-tiba terlontar dari bibir putrinya, membuatnya cukup tertegun.

"Papa selalu sayang sama Bell. Rasa sayang Papa bahkan lebih besar dari dunia ini. Kenapa anak papa tanya begitu? Ada yang ganggu kamu?" Suara lembutnya bertanya. Ia membaringkan tubuhnya tepat disamping putrinya, berniat menunggui Bell hingga tertidur.

Tapi ketika mendengar jawaban Papanya, senyum manis Bell terukir. Lalu tangan kecil itu langsung memeluk tubuh besar papanya, kemudian berucap pelan, "Bell juga sayang Papa" dengan nada riangnya yang terdengar seperti sudah mengantuk.

"Selamat tidur cintaku yang cantik. Peri kecilku yang kuat" bisik Rainer begitu setelah menyadari deru nafas putrinya yang mulai tertidur.

Pelampiasan BadungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang