35. Ketakutan Adiva

20 4 0
                                    

Esoknya setibanya di Jombang Azzam mendapatkan telepon dari Yunus yang mengingatkan jika hari itu mereka ada rapat penting mengenai pelaksanaan PAS dan persiapan untuk akreditasi kampus. Karena khawatir meninggalkan Adiva sendirian di rumah Azzam lalu mengantarkan ke rumah orang tuanya. Setelah itu barulah berangkat ke kampus tanpa menghiraukan kondisi tubuhnya yang sebenarnya sangat letih. Azzam hanya meminum obat pereda nyeri agar tetap bisa beraktivitas seperti biasa.

Setelah rapat Azzam lantas pulang ke rumahnya untuk mengambil pakaian ganti untuknya dan Adiva. Azzam telah memutuskan untuk sementara waktu akan tinggal di rumah mertuanya. Azzam tidak ingin terjadi sesuatu pada Adiva jika dirinya tidak ada di rumah karena persiapan akreditasi kampus nantinya jelas akan menyita waktu, pikiran, dan tenaganya hingga selesai akreditasi.

Pukul tiga sore Azzam baru pulang. Adiva yang tengah menunggu di teras rumah seketika menyambut Azzam dengan pelukan hangat. Baru beberapa jam saja mereka berpisah tapi Adiva merasa begitu merindukan Azzam. Pun dengan rasa letih yang dirasakan Azzam seketika sirna saat mendapatkan pelukan manja sang istri.

"Oya sebentar aku mau ambil tas kita dulu," ucap Azzam sembari mengurai pelukan mereka.

"Tas apa Mas?" tanya Adiva bingung.

Azzam tersenyum lalu membuka pintu mobil bagian penumpang untuk mengambil koper berisi pakaian mereka berdua. Kedua mata Adiva seketika terbelalak dengan bibir terbuka saat melihat koper besar yang dibawa suaminya.

"Ya Allah Mas, emang kita mau ke mana?" ujar Adiva semakin bingung.

Azzam tergelak sembari menurunkan koper itu lalu menarik pegangannya.

"Selama pelaksanaan PAS aku akan banyak pekerjaan di kampus karena bertepatan akan diadakannya akreditasi kampus. Jadi aku nggak mau kamu sendirian di rumah. Klo di sini kan ada Ibu, Ayah, dan Mas Farhan yang akan selalu ngawasi kamu selama aku nggak ada," terang Azzam seraya menggandeng tangan Adiva untuk masuk ke dalam rumah.

"Semua barang-barang penting kamu udah aku bawa. Ya nanti klo ada yang tertinggal besok kita ambil sekalian ke kampus bersama," sahut Azzam lagi.

Adiva menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena keputusan mendadak yang diambil suaminya. Tapi Adiva juga tidak keberatan. Justru bisa berkumpul kembali dengan keluarganya membuat Adiva bahagia. Karena rumah terlihat sepi Azzam langsung saja naik ke kamar Adiva. Rasanya tidur adalah pilihan pertamanya saat ini. Setibanya di kamar Azzam langsung meletakkan koper itu di sudut kamar lalu melepaskan peci dan kemeja yang dikenakannya. Meletakkan begitu saja dua barang itu di sudut ranjang.

"Mas istirahat aja dulu. Nanti aku bangunin," ucap Adiva saat melihat wajah letih Azzam.

"Ok, aku emang capek banget. Tadi juga sebelum ke sini aku udah sholat ashar di rumah," jawab Azzam lalu segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Hanya dalam hitungan menit suara dengkuran halus terdengar sebagai pertanda jika Azzam benar-benar terlelap.

Adiva tersenyum menatap wajah tenang Azzam lalu beranjak menuju kamar mandi. Tak lama Adiva ke luar dengan wajah yang terlihat segar. Lalu duduk di tepian ranjang secara perlahan agar tidak sampai mengusik tidur pujaan hatinya. Adiva memandangi wajah tampan Azzam secara detail, tak ingin sedikitpun ada yang terlewat. Adiva ingin menyimpannya rapat-rapat dalam ingatannya. Bahwa laki-laki itulah yang mengajarkan padanya arti cinta yang sesungguhnya. Laki-laki yang berhasil meluluhkan hatinya dengan kelembutan dan kesabarannya.

"Mas aku takut. Demi Allah aku sangat takut dengan perasaanku sendiri," gumam Adiva dalam hati dengan perasaan yang tak terdefinisi.

Tangan Adiva terulur hendak menyentuh kepala Azzam. Namun urung karena Adiva segera tersadar jika dirinya memiliki wudhu dan hendak melaksanakan salat ashar. Adiva menghela napas panjang lalu beranjak untuk mengambil mukena. Kedua mata Adiva memejam sesaat kala mengucapkan niat salat yang disusul dengan bacaan takbir. Dalam salatnya Adiva menangis tersedu-sedu hingga bacaan suratnya beberapa kali terputus. Dadanya terasa begitu sesak, pun dengan kerongkongannya yang terasa tercekat. Adiva mengadu kepada Sang Pemilik Hidup agar berbaik hati menghapuskan segala kegelisahan di hatinya dan menggantinya dengan sebuah ketenangan.

Tiga Hati Satu Cinta (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang