Bab 4

6.9K 950 38
                                    

Langit cerah sudah berganti menjadi gelap gulita. Dahlia berdiri resah di depan pintu rumah. Ia sedang cemas menunggu kepulangan Tuannya. Sedari tadi Bian terus merengek meminta ayahnya pulang. Sedangkan Dahlia tidak tahu bagaimana caranya ia bisa memberikan kabar untuk Tuannya agar cepat pulang ia bahkan tak memiliki ponsel. Ia tadi lupa tidak bertanya pada Jordi bagaimana caranya menggunakan telepon rumah.

"Bian pengen Ayah! Huaaa."

Dahlia refleks terbelalak saat mendengar tangisan keras Bian. Dengan cepat ia berlari memasuki ruang televisi dan terkejut menemukan makanan yang ia siapkan untuk Bian berserakan. Tumpah mengenai karpet lantai.

"Ya Allah. Jangan buang-buang makanan, sayang Tuan. Di luar sana bahkan masih banyak yang tidak bisa makan enak seperti Tuan."

"Mbak Mini diem! Bian mau sama Ayah! Bian gak mau sama Mbak!"

Sabar. Itulah yang selalu Dahlia lapalkan saat kondisi seperti ini. Menghela napas sebentar lalu merubah mimik cemasnya menjadi senyuman cantik. Dahlia mulai menghampiri Bian perlahan ia memangku tubuh anak itu. Meskipun Bian terus menjerit dan meronta-ronta tetapi Dahlia tetap mencoba untuk mempertahankan Bian dalam pelukannya. Sesekali tangannya mengelus punggung Bian agar lebih tenang.

"Tenang ya Tuan Muda Bian. Di sini ada Mbak. Tuan gak perlu takut. Ayah Tuan lagi di jalan bentar lagi pulang. Sabar ya."

"Hiks... Hiks Bian kangen Bunda sama Ayah."

Entah kenapa mendengar tangisan menyayat anak ini membuat hati Dahlia pilu. Tak terasa air mata di sudut matanya ikut mengenang jatuh. Ia juga jadi merindukan ibu dan ayah kandungnya. Jika saja ayahnya masih ada di dunia ini. Mungkin hidup Dahlia dan ibunya tidak akan semenderita ini.

Dahlia mengeratkan pelukannya. Ia mengelus punggung Bian pelan. Terus membisikan kata penenang bahwa ia ada di sini bersamanya. Dahlia tidak akan meninggalkan Bian sampai rontaan anak itu mulai melemah dan menangis keras sambil memeluk leher Dahlia dengan erat.

"Di sini gak ada yang mau sama Bian. Bunda ninggalin Bian, Ayah juga. Terus Mba-mba yang kerja di sini juga ninggalin Bian. Bian padahal hanya ingin ditemani. Gak mau sendirian."

Bian mengucapkannya dengan sesegukan. Membuat Dahlia tertegun. Jadi selama ini Bian tidak membenci pembantunya. Dia hanya cari perhatian mereka untuk bisa menemaninya dari rasa kesepian. Sedangkan para pembantu yang pulang kampung tidak mengerti dan memilih pergi meninggalkannya.

Dahlia masih mengusap-usap punggung rapuh itu dengan pelan.

"Sekarang Tuan bisa tenang. Di sini kan ada Mbak. Mbak gak akan pergi ninggalin Tuan Muda. Tetapi Mba mohon Tuan harus nurut dan berlaku baik sama semua orang ya termasuk ayahnya Tuan. Orang tua harus di hormati. Pasti setelah itu Tuan Mario akan sayang sama Tuan Muda. Gak ninggalin lagi."

Wajah becek penuh air mata itu menatap Dahlia. Mempertanyakan kebenaran dari ucapanya barusan.

"Beneran Mbak. Jika Bian nurut, Ayah gak ninggalin Bian lagi."

Dahlia tersenyum kecil. Bian juga termasuk anak-anak yang bisa diajak bicara dengan baik. Dahlia harus sering-sering berkomunikasi dengan anak ini. Mungkin sikap nakal Bian sedikit-sedikit bisa di ubah menjadi lebih baik dari sebelumnya.

"Tentu saja. Percaya deh sama Mbak."

Bian menampilkan senyuman meskipun anak itu masih ragu dengan ucapan Dahlia.

"Bian harus bisa buat Ayah tinggal. Jangan pulang larut malam terus. Mba Mini mau kan bantu Bian?"

Gadis itu terlihat mengangguk antusias.

"Mba siap bantu. Tapi sekarang Tuan makan dulu ya. Sedari tadi belum makan."

"Tapi Ayah belum makan."

Dahlia terlihat berpikir sejenak.

"Tuan Mario pasti akan lebih senang jika Tuan Muda makan duluan. Percaya deh sama Mbak."

Dan pada akhirnya anak kecil itu menyerah menurut saat Dahlia berlari kecil ke meja makan mengambil piring baru dan memasukan beberapa makanan yang sudah ia masak.

***

Sedari tadi interaksi itu tidak lepas dari pantauan Mario. Ia sedang terduduk di mobil menuju pulang dan dalam genggamannya terdapat sebuah tab yang memperlihatkan suasana asing yang baru pertama kali ini ia lihat. Anaknya menjadi penurut dan tidak senakal yang ia lihat sebelumnya.

Mario mematikan tabnya. Mengambil ponsel dan melihat data yang dikirim Jordi tadi sore. Sebuah profile data lengkap tentang pembantu baru yang bekerja di rumahnya.

Dahlia Susanti
Usia 20 tahun
Lulusan SD
Pekerjaan sebelumnya sebagai pekerja serabutan di ladang orang dan mengambil rumput untuk pangan ternak. Dia mulai bekerja di kebun saat usia 13 tahun.
Dia memiliki ibu kandung dan ayah tiri. Ayah kandungnya sudah meninggal.
Anak semata wayang.
Catatan : Keluarganya terlilit hutang. Jika hutang itu tidak segera dilunasi Dahlia akan
dijadikan istri ke 13 Juragan sapi bernama Sugeng berusia 65 tahun.

Kening Mario langsung berkerut. Apa Jordi bercanda? Mengapa informasi tak penting seperti ini di masukan ke dalam data profilnya. Jordi pikir ia akan peduli. Toh bukan urusannya kan mengetahui aib pribadi mereka. Yang ia butuhkan hanya nama, usia, keluarga dan pekerjaan bukan kehidupan pribadinya.

Mario memutar mata malas. Terus menscroll ke bawah sampai ibu jarinya tak sengaja langsung berhenti saat menatap foto Dahlia yang Jordi cantumkan.

Foto sederhana dengan senyuman sederhana pula, sepertinya di ambil dari kamera handphone biasa. Berlatar kebun hijau seperti kebun singkong. Tapi bukan itu yang membuat Mario terdiam. Tetapi wajah yang tengah tersenyum itu.

Kenapa mirip sekali dengan seseorang yang dikenalnya?

Bersambung...

Pembantuku IstrikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang