Bab 9

7K 865 32
                                    

Uhuk

Seketika Mario tersedak dengan air ludahnya sendiri. Buru-buru ia meraih air dalam gelas di atas meja restoran dan meneguknya. Menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan kata sialan yang barusan tak sengaja ia dengar dari mulut putranya.

"Kamu kenapa?"

Dan suara halus itu menyadarkan Mario bahwa di sini ia tak sendiri. Ada wanita lain yang ikut terduduk di seberang meja bersamanya sedang menatapnya penuh kebingungan. Siska menatap Mario dengan tampang yang dibuat sekhawatir mungkin.

"Apa terjadi sesuatu dengan Bian?" tanyanya membuat Mario langsung menggeleng. Ia mematikan layar ponselnya dan meletakan kembali di meja. Syukurlah ia memantau keadaan rumah dengan sumpalan earphone di telinga jika tidak, dipastikan Siska akan sakit hati dengan ucapan yang baru saja Bian lontarkan.

"Bian baik-baik saja. Tadi hanya tersedak."

"Syukurlah," ucap Siska.

Lirikan mata Mario kini berganti menatap ke arah makanan yang tengah wanita itu mainkan. Masih utuh tak tersentuh sedikit pun. Lalu untuk apa Siska mengajaknya bertemu di sini? Wanita itu tadi mengatakan bahwa ia sedang ingin makan siang dengannya. Tetapi setelah ia mengabulkan keinginan wanita ini Siska malah seperti mengulur waktu agar ia bisa lebih lama berdiam diri. Waktunya semakin terbuang percuma hanya karena hal tak penting sepert ini.

"Bisakah kamu menyelesaikan makananmu dengan cepat. Sebentar lagi aku ada meeting penting. Aku tidak mau telat."

Mendengar nada dingin Mario Siska langsung menatap kecewa. Dengan canggung ia kembali menundukan pandangan, menyuap makanannya tanpa minat. Sengaja ia mengajak Mario bertemu di sini karena ia merindukannya. Namun melihat gelagat Mario yang setiap hari semakin dingin sikapnya membuat Siska tak suka. Mario seolah tak pernah rindu, kenapa selalu ia yang seperti ini. Kapan Mario akan bertekuk lutut meraih cintanya. Rasanya sangat sulit untuk membuat lelaki ini menggilainya.

Siska sangat sadar dari awal jika Mario tidak pernah tertarik padanya sedikit pun. Namun Siska tidak mau menyerah. Sudah dari lama ia menyukai Mario, dari saat mereka masih sekolah menengah pertama, lelaki ini sangat sulit digapai. Tapi sekarang ia tak akan menyianyiakan kesempatan ini lagi dengan bantuan Nyonya Lina segampang ini ia bisa menjadi pacar seorang Mario yang begitu tampan rupawan ditambah lelaki ini juga memiliki kekayaan setara dengan keluarganya. Mereka seharusnya terikat dari dulu sebagai pasangan, bukan malah memilih menikahi gadis miskin tak tahu malu bernama Alisa.

Masih memakan makanannya tanpa minat, kemudian ia teringat dengan ucapan Nyonya Lina untuk terus mendekati Mario dan meluluhkan hatinya. Saat ini penghalang terbesar sudah enyah tidak ada yang harus ia khawatirkan. Meskipun anak sialan buah dari kesalahan mereka sedikit menghambat rencananya untuk memiliki Mario. Namun itu tak akan menjadi masalah besar. Bocah kecil seperti Bian seiring waktu pasti akan setuju ia menjadi Ibu baru dan istri baru untuk ayahnya.

Siska harus bisa membuat Mario jatuh dalam rencana yang sudah ia susun dengan baik. Mario harus menjadi miliknya dengan cara apapun.

"Em Rio, Tante Lina menyuruh kita untuk makan malam di rumah. Apa kamu ada waktu? Sekalian ajak Bian."

Mario hanya melirik sekilas.

"Aku tidak punya waktu untuk itu."

Wanita itu tidak menyerah. "Ayolah, hanya hari ini saja. Kasian Tante Lina. Beliau sangat mengharapkan kedatangan kita."

"Bukannya aku sudah bilang aku sibuk."

Helaan napas tak suka wanita itu keluar.

"Aku akan datang ke rumah kamu jam 5 sore kita berangkat ke sana bersama Bian. Kuharap kali ini kamu tidak menolak."

Mario tidak sempat meyela ucapan Siska. Karena wanita itu sudah lebih dulu memperlihatkan wajah tersinggungnya. Ia tahu Siska tersakiti karena sikapnya. Tetapi Mario benar-benar tidak bisa berpura-pura ia menyukai hubungan ini. Jika tidak dalam kendali paksaan ibunya mungkin ia akan menolak Siska dari awal mereka bertemu.

Hatinya tidak bisa melupakan Alisa. Meskipun istrinya sudah tiada. Ia masih belum sanggup menggantikan posisi Alisa dengan wanita mana pun.

***

"Kosongkan jadwalku nanti malam. Aku akan pergi makan di rumah Mama."

Jordi menoleh ke arah kaca depan mobil memperhatikan Mario yang tengah fokus pada layar tab di tangannya. Sedangkan perintah lelaki itu membuat Jordi bingung. Bukankah nanti malam adalah pertemuan khusus Tuannya dengan klien penting dari Jepang. Kenapa harus dibatalkan.

"Tapi malam ini jadwal Anda bertemu dengan Tuan Horosimo. Apakah itu tak akan menjadi masalah?"

"Aku rasa tidak. Kita bisa mengubah janji dengan bertemu esok hari."

"Baiklah."

Mengangguk mengerti dengan perintah Mario. Dan kembali fokus pada stirnya.

Suasana di dalam mobil terasa hening. Sedangkan perjalanan untuk sampai ke kantor pun masih sekitar 10 menit lagi karena Siska meminta bertemu dan makan siang di tempat lumayan jauh dari kantornya. Entah kenapa Mario malah memanfaatkan waktu tersebut dengan membuka profil Dahlia yang Jordi kirim ke emailnya kemarin.

Menatap foto itu dengan lekat. Kenapa sekarang yang selalu terbayang dalam pikirannya adalah wajah gadis ini. Wajah cantik yang mirip sekali dengan mendiang istrinya. Alisa seakan hadir kembali dan itu membuat Mario tak tenang. Takut ia akan menyukai Dahlia. Dan menganggap gadis itu sebagai pengganti Alisa. Tidak! Ia tidak boleh menyukai siapapun. Hanya Alisa yang ada dalam hatinya. Dahlia hanya seorang pembantu yang tak sengaja memiliki rupa yang sama.

Tidak mungkin ia akan menyukai Dahlia hanya dikarenakan wajah mereka serupa.

Mario segera mematikan tabnya. Menghempaskan punggung tegapnya ke belakang. Memejamkan matanya. Mencoba mengenyahkan bayang-bayang Dahlia yang begitu sialnya terus menari-nari dalam pikirannya.

***

Dahlia sedang sibuk memilihkan baju yang Bagus untuk Bian pakai. Tadi Tuannya memberitahu lewat telepon rumah bahwa dia akan pulang cepat dan membawa Bian untuk makan malam di rumah neneknya. Dengan antusias Dahlia mengambil baju kaus dan celana santai. Tidak lupa ia juga memakaikan jaket jeans yang pas untuk ukuran tubuh mungil Bian.

Selesai dengan semua pekerjaannya Dahlia kemudian tersenyum senang.

"Wah tampan sekali Tuan Muda."

Mata Bian melirik pakaiannya. Lalu menatap Dahlia tak percaya.

"Benarkah Bian tampan Mba Mini?"

"Sangat tampan. Lebih tampan dari ayah Tuan Muda."

Seketika senyuman menggemaskan itu terbentuk. Wajah Bian juga memerah malu. Baru kali ini Bian mendengar pujian yang bilang ia lebih tampan dari ayahnya. Biasanya orang-orang selalu mengatakan ia nakal dan sangat berbeda dengan sikap ayahnya, Bian jadi suka sama Mba Mini, dia sangat berbeda dari Mba yang lain. Terlebih sekarang mba Mini sudah menjadi bundanya. Membuat Bian senang bukan main. Akhirnya dia punya Bunda, hal yang ia idamkan selama ini.

Ting tong

Suara bel pintu terdengar mengusik interaksi mereka, Dahlia melirik ke arah jam dinding bentuk pororo yang sebentar lagi menunjuk angka 5 sore. Menandakan bahwa ada seseorang yang tengah menunggu dibukakan pintu. Dahlia pikir Tuan Mario sudah pulang. Untungnya ia tidak telat mendandani Bian.

"Itu pasti Tuan. Ayok kita ke bawah," ucap Dahlia. Ia langsung menggendong Bian dan membawa anak itu menuju lantai dasar untuk membukakan pintu. Sesampainya di sana. Seketika Dahlia terkejut melihat wajah seseorang yang berdiri depannya.

Sama dengan Dahlia wajah wanita itu juga langsung pucat pasi saat melihat Dahlia muncul di hadapannya secara mengejutkan.

"K-kau? B-bukannya kau sudah mati?"

Pembantuku IstrikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang