Suara senandung Dahlia terdengar mengalun merdu. Menemani tidur Bian yang tenggelam dalam pelukannya. Posisinya kini sedang berbaring menyamping di ranjang besar milik Bian. Sedangkan lengan mungil itu mengerat di pinggang Dahlia seolah anak kecil itu melarang Dahlia pergi ke mana-mana.
Tatapan Dahlia terjatuh ke arah jam digital di atas nakas. Pukul 11 malam dan sampai semalam ini Tuannya belum kembali. Pantas saja Bian sangat kesepian. Ketika tidak ada ia di sini. Mungkin saja anak lelaki ini tinggal sendirian. Kasihan sekali.
"Apa anakku sudah tidur?"
Deg
Suara itu...
Refleks saja Dahlia langsung terlonjak dari berbaring, jantungnya seakan mau copot dari tempatnya saat mendengar suara berat menggema di belakang telinga. Dahlia memuji syukur karena Bian terlihat masih anteng tertidur. Dia tidak terusik karena gerakan kaget Dahlia. Lalu kelopak mata cantik itu beralih melirik ke arah belakang. Mengerjap kaget saat melihat Tuan Mario tengah berdiri tegap di samping tempat tidurnya.
Dengan perlahan sambil mengigit bibir bawahnya. Dahlia mulai turun dari ranjang. Menatap takut-takut ke arah Mario. Jantungnya semakin berdetak kencang saat tangan lelaki itu bergerak memerintah Dahlia untuk keluar dari kamar anaknya tanpa sepatah kata.
Apakah dia akan dipecat? Ia sudah sangat tak sopan ikut tidur di atas ranjang majikan. Tuan Mario pasti marah, bagaimana ini?
Sesampainya di tempat yang terdapat banyak buku-buku. Dahlia diminta untuk duduk di atas sofa. Berbarengan dengan Mario yang ikut terduduk di sana.
"Bagaimana dengan perkembangan anakku? Apa dia membuatmu kerepotan?"
Dahlia menelan salivanya susah payah. Terasa lega namun juga sedikit menegangkan. Syukurlah ternyata Tuan Mario hanya ingin menanyakan kondisi putranya. Bukan ingin memecatnya. Gadis itu kemudian tersenyum sopan.
"Tuan Muda baik-baik saja Tuan. Tuan Bian sama sekali tidak merepotkan saya."
"Baguslah. Setidaknya denganmu Bian terlihat lebih baik dari sebelumnya."
Lagi-lagi senyuman sederhana masuk ke dalam retinanya. Mario tak berkedip memandang pahatan itu. Kenapa wajah cantik itu terlihat sama? Padahal dari pakaian saja sangat cupu, wajahnya murni tanpa polesan make up. Bahkan bibir merahnya merona tanpa sapuan lipstik. Tetapi kenapa matanya masih menangkap gadis ini begitu mirip dengan mendiang istrinya.
Seketika Mario langsung menggelengkan kepala. Tidak mungkin, semua ini pasti hanya sebuah kebetulan semata. Manusia di muka bumi ini bukankah tercipta ada yang memiliki kemiripan. Itu hal yang sudah terbiasa terjadi di dunia ini.
"Kamu sudah mendatangani kontrak kerjanya kan?"
"Sudah Tuan tadi sama Mas Jordi."
"Baiklah." Mario beringsut meraih sesuatu dalam laci nakas di samping tempat duduknya. Menyodorkan benda terbungkus amplop itu ke arah Dahlia. "Karena kamu sudah mendatangani kontrak kerjanya. Bonus untuk bekerja di sini senilai 5 juta saya kasih untukmu sekarang. Kamu membutuhkan uang ini kan?"
Dahlia terdiam sejenak. Menatap amplop itu tak mengerti. Sebelumnya ia tidak tahu akan ada bonus seperti ini di awal ia bekerja dan jumlah bonus yang ia dapatkan sangat lah besar.
"T-Tuan, saya bahkan baru bekerja. Kenapa saya mendapatkan uangnya lebih awal. Dan jumlah uangnya sangat besar sekali."
"Sudah kubilang ini bonus untukmu. Kamu sedang membutuhkan uang untuk membayar semua hutang keluargamu, benar kan?"
"K-kok Tuan bisa tahu?"
"Itu tidak penting. Sekarang ambil uangnya. Dan bekerja lah dengan baik. Ingat saya tidak mau mendengar kamu mengundurkan diri seperti pembantu sebelumnya. Betah tidak betah kamu harus bekerja di sini sampai kontrak kerja kamu selesai pada waktu yang ditetapkan."
Gadis itu termenung. Tadi ia sempat membaca kontrak yang Jordi berikan. Hanya 5 tahun. Dahlia harus bertahan di sini. Bukankah 5 tahun bukan waktu yang lama. Dia pasti bisa. Terlebih Tuan Muda Bian juga sudah mulai bisa menerima kehadirannya. Maka semua ini tidak akan menjadi sulit.
"Baik Tuan. Saya akan berusaha memberikan yang terbaik untuk pekerjaan ini."
Mario mengangguk, berdiri dari duduknya setelah itu mengulurkan tangannya di depan Dahlia.
"Terima kasih sudah berhasil membuat anakku tersenyum."
Dahlia terdiam, tersenyum? Loh kapan Tuan tahu anaknya tersenyum? Setahu Dahlia sedari pagi Tuannya tidak ada di sini? Bagaimana bisa dia tahu Bian tersenyum padanya.
"Kamu tidak mau membalas uluran tanganku?"
"Ah, ma-maaf Tuan."
Refleks saja gadis itu ikut berdiri dari duduknya dengan ragu meraih jabat tangan Mario. Sesaat mereka tertegun, bukan karena Mario yang terkejut merasakan tekstur kasar telapak tangan Dahlia melainkan lelaki itu tengah terpaku pada wajah cantik sang pembantu.
Dahlia sendiri pun ikut terdiam gugup, ia akui cukup terpesona pada ketampanan majikannya, Tuan Mario memiliki tubuh yang sempurna, berbadan tinggi kekar, berwajah bule sama miripnya dengan Bian. Ia bahkan harus mendongkak kan kepala sangking tingginya. Sedangkan Mario masih terpaku pada wajah Dahlia. Dan karena rupa itu pula berhasil mengingatkan Mario pada wajah istrinya. Kenapa wanita ini harus memiliki kemiripan yang sama?
Mario langsung melepaskan jabatan tangan tersebut secara cepat. Mengejutkan Dahlia, membuat gadis itu malu, mungkin Tuan Mario merasakan tekstur kasar telapak tangannya sehingga buru-buru melepaskan jabatan tersebut.
"Sebaiknya kamu tidur."
Setelah mengatakan itu Mario buru-buru keluar dari ruang kerjanya. Meninggalkan Dahlia yang masih terpaku menatap punggung tegap majikannya.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantuku Istriku
RomanceDahlia nekat pergi ke kota bersama temannya untuk membantu perekonomian keluarga. Ia ingin sekali membantu ibunya yang telah salah memilih suami, yang hanya bisa bermalas-malasan dan melimpahkan seluruh beban pada ibunya. Ayah tiri yang sangat Dahli...