Bab 10

7.3K 888 32
                                    

Siska masih berdiri mematung tak percaya melihat penampakan di depannya. Begitu pula dengan Dahlia yang entah kenapa memilih mundur seolah tengah ketakutan saat melihat Siska.

Wajah wanita itu terasa begitu familiar di dalam penglihatan Dahlia, tetapi semakin ia berusaha mengingatnya semakin tak terkendali rasa sakit yang menghantam kepala Dahlia. Karena tak bisa menahan nyeri lebih lama lagi  Dahlia refleks menjatuhkan Bian secara perlahan untuk memegangi kepalanya yang terasa berdenyut sakit. Ingin mencari tahu apa yang terjadi tentang kejadian di masa lalu kepalanya malah terasa semakin menumpuk berat hingga..

Bruk

Tubuh Dahlia menghantam lantai. Mengakibatkan Bian yang melihat Dahlia jatuh langsung menjerit keras menyeruakan nama gadis itu.

Dahlia pingsan sedangkan Bian yang panik terus berusaha membangunkan Dahlia. Ia tidak mau Dahlia meninggalkannya lagi seperti dulu.

"Bunda Mini bangun jangan tinggalin Bian."

Kedua kaki Siska mundur satu langkah ke arah belakang. Masih tak percaya Alisa benar-benar ada di sini. Bukankah dia sudah mati. Mayat wanita itu sudah ditemukan di pinggir sungai dan ...

"Ada apa ini?" ucap suara berat yang tiba-tiba terdengar di belakang telinga.

Kini tubuh Siska membeku di tempat. Wanita itu tak bisa menggerakan mulutnya, ia hanya memperhatikan Mario yang kini melangkah tergesa ke dalam melihat anaknya menangis keras di depan tubuh Dahlia yang pingsan di lantai.

"Bian, kenapa dengan Mba Lia?"

Mba Lia? Kening Siska mengerut mendengar Mario menyeruakan nama yang berbeda.

"Gak tau Yah. Tiba-tiba Mba mini jatuh dan gak sadar. Tolongin Mba Mini Ayah. Bian gak mau kehilangan Bunda lagi."

Mario menatap putranya khawatir. Ia segera menarik Bian dan memeriksa tubuh Dahlia. Napas wanita itu masih ada.

"Ayah akan bawa Mba Lia ke rumah sakit. Bian duduk di belakang ya."

Bian langsung mengangguk patuh. Ia membuntuti ayahnya yang kini berjalan tergesa melewati Siska, tidak lupa Mario sempat menyuruh wanita itu untuk berangkat terlebih dulu ke rumah orang tuanya. Dan mengatakan bahwa ia akan mengantarkan dulu Dahlia ke rumah sakit. Mario juga tak mau mengambil risiko jika Dahlia benar-benar mengidap penyakit serius. Bisa saja itu akan berdampak buruk untuk kesehatan anaknya, sehari-hari mereka selalu bersama.

Siska yang ditinggalkan begitu saja oleh Mario terlihat menampilkan ekspresi kesal. Jika benar wanita itu adalah Alisa kenapa mereka memanggilnya dengan sebutan Mbak?

Siska segera memampik pemikiran bodoh yang hinggap di kepalanya.

Tidak mungkin! Sudah jelas dia bukan Alisa, gadis sialan itu sudah mati. Mungkin hanya orang yang kebetulan berwajah mirip. Siska harus mewaspadai wanita itu. Dengan wajah yang mirip Alisa bisa saja Mario akan tergoda meskipun Siska tak tahu Mario memiliki perasaan atau tidak pada istrinya. Yang Siska tahu Mario menikahi Alisa karena terpaksa, karena wanita sialan itu tengah hamil darah dagingnya. Ia tidak akan membiarkan Mario di dapatkan lagi oleh wanita manapun. Mario harus menjadi miliknya, seorang.

Ia tidak akan tinggal Diam. Wanita itu sudah berani menarik perhatian Bian. Ia tidak akan membiarkan wanita itu mengambil Mario, pria yang seharusnya ia miliki dari dulu.

***

"Jadi kamu pernah kehilangan ingatan?"

Suara Mario terdengar cukup terkejut dengan penjelasan Dahlia setelah pulang dari rumah sakit. Dahlia tidak mengidap penyakit berbahaya, dokter menyatakan pingsan dahlia hanya terjadi karena tak bisa menahan rasa sakit yang kadang terjadi di kepalanya ketika mengingat seseorang. Sepertinya memang timbul karena ia sempat hilang ingatan.

Setelah mengecek kesehatan Dahlia Mario memutuskan sekalian mengajak Dahlia ke rumah orang tuanya. Tidak mungkin ia mengantarkan Dahlia terlebih dahulu ke rumahnya karena akan memakan waktu lebih lama lagi. Sangat merepotkan. Jadi ia membawa Dahlia ikut serta ke sana.

Di sisi lain Dahlia yang mendapat respons terkejut dari Tuannya segera mengangguk. Sedikit tak nyaman karena harus duduk di samping lelaki itu dengan Bian yang tengah memeluknya erat di pangkuan.

"Iya Tuan, Maaf jadi merepotkan. Tuan Muda juga jadi cemas gini," ucap Dahlia merasa tak enak dengan kedua majikannya. Kebiasaan buruk Dahlia jika ia tak sanggup mengingat sesuatu ia akan pingsan. Dan malah membuat masalah seperti ini, sedari tadi Bian tak berhenti menangis karenanya, baru tangisan anak ini reda itu pun setelah Dahlia bangun dari pingsan dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

"Apa sudah biasa terjadi. Aku takut penyakit kamu kambuh lagi dan itu akan merepotkan kembali. Kamu tau kan sifat Bian cukup berbeda dengan anak seusianya. Dia gampang kesal, gampang marah dan juga gampang khwatir apalagi dia sudah menganggap kamu sebagai ibunya. Aku takut akan berdapak buruk untuk putraku."

Mengerti dengan arah ucapan Tuannya Dahlia buru-buru menggeleng jangan sampai Tuannya memecat ia gara-gara masalah ini. Ia tidak mau pulang kampung sebelum ia bisa melepaskan ibunya dari jeratan lelaki sialan itu.

"Biasanya kalau saya berusaha mengingat masa lalu kepala saya selalu sakit. Makanya dari dulu saya gak pernah coba cari tau apa yang terjadi karena kepala saya keburu pusing duluan. Saya janji saya gak akan mengulangi hal yang sama lagi. Tolong jangan pecat saya Tuan."

Helaan napas Mario terdengar. Pandangannya masih mengarah pada jalanan di depan. Ia juga tak mungkin memecat Dahlia, selagi itu bukan penyakit menular wanita ini masih bisa tetap bekerja sesuai kontrak yang sudah mereka sepakati.

"Aku tidak akan memecatmu," ucapnya.

Dan Dahlia langsung tersenyum senang. "Terima kasih Tuan."

Mario tidak menimpali ucapan Dahlia. Ia mencoba fokus pada setirnya. Hingga keadaan kembali hening. Dan itu mengusik Mario, entah kenapa ia ingin sekali melihat wajah cantik itu, wajah yang selama ini ia rindukan, menyerah dengan egonya Mario mulai sedikit mencuri pandang ke arah Dahlia, melirik wanita itu yang tengah mengusap pipi putranya dengan penuh kelembutan.

"Dahlia." Suara Mario menyahut tegas membuat Dahlia refleks melirik ke arah Tuannya dan tatapan mereka bertemu, membuat keduanya terdiam sejenak terlarut dalam tatapan dalam dari manik mata masing-masing.

"Ya-ya Tuan." Dahlia langsung menundukan pandangan. Ia sangat gugup sekali di tatap Tuannya seperti itu.

"Jika Bian menginginkanmu menjadi istriku. Apa kamu akan setuju?"

Jenis pertanyaan itu? Kenapa Tuannya tiba-tiba bertanya hal yang mustahil terjadi.

"S-saya tidak mungkin setuju Tuan. Karena tidak mungkin Tuan Muda menginginkan seperti itu." Dahlia tersenyum malu. "Saya kan hanya seorang pembantu."

"Bagus jika kamu sadar diri. Kamu memang harus menolaknya. Bian terkadang suka berlebihan menyukai seseorang. Kamu jangan terlalu menganggap serius omongan Bian ketika dia bilang ingin menjadikan kamu sebagai istriku. Aku tidak mungkin menikahi kamu. Dan ingat, di sini kamu bekerja sebagai pembantu. Jangan melewati batas dengan berperan sebagai Bundanya Bian. Aku tidak suka anakku terlalu dekat dengan orang asing. Kuharap kamu mengerti dengan batasanmu terhadap anakku."

Rasanya wajar jika Tuan Mario mempringatinya seperti itu. Dahlia datang ke sini memang untuk bekerja sebagai pembantu.

Tetapi kenapa hatinya terasa begitu sakit saat mendengarnya?

Seolah lelaki ini mengatakan sebuah fakta bahwa ia dan mereka berbeda.

Dahlia hanya seorang wanita miskin yang bekerja sebagai pembantu di rumah mereka, dan Bian tidak layak menganggapnya sebagai ibu.

Bersambung....

Pembantuku IstrikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang