Bab 7

7.2K 949 99
                                    

Bian turun dengan Dahlia yang terlihat cukup hati-hati saat menuruni tangga karena Bian malah menempel di pelukannya. Anak kecil itu tidak mau diturunkan terus merengek meminta Dahlia menggendongnya. Melihat itu Mario mulai bangkit dari duduknya dan menghampiri mereka.

"Bian, kamu sudah besar seharusnya jalan sendiri. Kasian mba Lia, dia kesusahan berjalan."

Anak kecil itu malah merenggut dan terlihat kesal saat sang ayah malah mengambil alih dirinya.

"Bian mau sama Mba Mini."

"Tapi kamu ini udah besar. Udah empat tahun loh kasian mba Lia capek gendongnya."

Dahlia melihat itu hanya tersenyum sopan. Kemudian ia menggeleng pelan mencoba terlihat tak masalah. Meskipun yang dirasakan sekarang punggunya terasa pegal karena menggendong Bian sambil menuruni tangga yang lumayan jaraknya.

"Tidak papa kok Tuan. Saya suka kalau Tuan muda Bian seperti ini."

Mario hanya menatap Dahlia dan kembali tertegun melihat senyuman tersebut. Buru-buru ia mengalihkan pandangan lalu segera membawa Bian menuju meja makan tidak lupa ia juga berucap menyuruh Dahlia pergi ke dapur untuk sarapan. Walau pun dalam hati Mario ingin mengajak Dahlia makan bersama namun rasanya itu tak mungkin. Akan sangat canggung jika tiba-tiba ia mengajak Dahlia yang hanya seorang pembantu makan di meja makan yang sama dengan majikannya. Lebih baik ia bersikap seperti majikan pada umumnya. Ingat Mario! Dahlia hanya tak sengaja memiliki kemiripan yang sama dengan istrimu, dia bukan Alisa.

"Wah sosis."

Suara antusias Bian terdengar membuyarkan gerutuab gaib lelaki itu. Mario hanya menatap keantusiasan anaknya saat melahap sosis dan nugget goreng bersama nasi yang sudah Dahlia siapkan. Baru kali ini ia melihat putranya memakan sarapan selahap ini. Biasanya selalu ada insiden di pagi hari. Menyebabkan Mario harus mengganti perabotan rumah karena ulah kenakalan Bian. Kali ini tidak ada piring pecah, melainkan wajah menggemaskan Bian yang fokus menikmati makanannya.

Mario tersenyum mengusap kepala Bian dengan penuh kasih sayang.

"Anak Ayah sekarang sudah pinter makannya."

Bian langsung melirik Mario dan ia kembali berbicara sambil memakan makanannya. Terlihat begitu menggemaskan. Jika Alisa di sini ia mungkin akan sangat bahagia melihat putranya sudah tumbuh menjadi anak tampan nan menggemaskan. Sayangnya Alisa tidak bisa melihat anak mereka. Dia sudah pergi meninggalkan mereka berdua selamanya.

"Bian suka masakan Mba Mini. Ayah suka juga gak?"

Pertanyaan polos dari Bian membuat Mario terdiam sejenak. Ia mengambil satu suapan dan memasukannya ke dalam mulut. Dan ya rasanya tidak buruk. Seperti memakan masakan istrinya, mereka benar-benar memiliki bakat yang sama. Keahlian dalam mengolah makanan menjadi nikmat seperti ini.

"Ayah juga suka."

"Yey berarti Mba Mini hebat cocok jadi bundanya Bian. Bian gak suka Tante Siska dia galak kayak Oma gak bisa masak lagi. Gak cocok jadi bundanya Bian."

Mario hanya bisa menggelengkan kepala mendengar kata-kata tersebut. Sudah terbiasa Bian akan mengatakan ketidak sukaanya pada Siska dan ibunya. Bian akan langsung memberikan usul bahwa anak itu lebih setuju ia menikahi hal yang disukainya, salah satunya seperti kemarin Bian bilang pemain sinetron Andin sangat cocok menjadi bundanya karena cantik dan baik. Sekarang anak ini malah mengatakan hal konyol tentang Dahlia seorang pembantu baru yang cocok menjadi bundanya juga. Tak habis pikir otak anak ini bisa berpikir aneh. Mana mungkin mereka bisa menjadi ibu untuk Bian. Ada-ada saja.

"Jangan ngomongin hal konyol Bian. Gak mungkin Mba Lia jadi bunda kamu."

"Bian yakin kok Ayah, Mba Mini bisa jadi bundanya Bian. Bian suka mba Mini. Dia seperti Bunda yang ada di foto."

Deg

Kata-kata yang dilontarkan putranya membuat Mario terkejut. Dengan cepat ia segera menyela omongan Bian dan tanpa disadari suaranya seperti tengah membentak.

"Jangan samakan Dahlia dengan bunda kamu dia berbeda."

Bian yang notebenya hanya anak kecil mendapat respons dari Mario seperti tengah marah padanya sontak menangis keras. Anak laki-laki itu melempar piringnya ke lantai hingga pecah. Mario melihat anaknya kembali seperti ini mencoba untuk menenangkan.

"B-Bian maafin Ayah."

Namun Bian tetap saja menangis dan mengamuk sampai Dahlia datang dari arah dapur dengan panik.

"Loh Tuan Muda kenapa?"

"Mba hiks."

"Cup cup ada Mba di sini jangan nangis ya," ucap Dahlia menenangkan Bian sambil menggedong anak itu yang semakin memeluk lehernya dengan erat. Usaha Dahlia berhasil, tangisan Bian mulai melemah tidak sekeras sebelumnya.

Melihat itu Mario menghela napas berat. Tanpa mengucapkan apapun. Lelaki itu bergegas pergi dari sana. Meninggalakan Dahlia yang terlihat bingung menatap punggung tegap Tuannya yang sudah berlalu.

***

Nia menatap Bian yang sedang tertidur di pangkuan Dahlia dengan lelehan becek di area mata. Terlihat prihatin melihat anak setampan ini tidak memiliki kasih sayang orang tua. Tadi Nia membuka pintu Dahlia sudah berdiri di dekat gerbang mencarinya. Wanita itu juga menceritakan sikap acuh Tuan Mario terhadap putranya sehingga membuat Bian menangis.

Terlebih lagi Nia tak menyangka Dahlia datang ke sini membawa anak majikannya. Nia hanya tidak mau Bian berulah di rumah ini dan membuat Nia terkena damprat dari mulut nyinyir Nyonya besar. Hanya saja mendengar cerita menyedihkan dari Dahlia. Nia juga jadi tak tega menyuruh Dahlia untuk tidak mengajak Bian ke sini.

"Tapi kamu yakin anak ini aman?" tanya Nia lagi untuk memastikan.

Dan Dahlia melirik Nia dengan tatapan kesal. "Tentu saja. Bian baik kok kalau sama aku."

Nia kemudian mengedikan bahunya acuh. "Baiklah. Sekarang ada apa? Kenapa ke sini? Kamu tidak betah kah?"

"Bukan itu. Aku ke sini mau minta tolong."

"Tolong apa?"

"Bisa kamu kirim uang ini ke Ibu. Tolong jangan sampai lelaki sialan itu tahu aku kirim uang ke Ibu."

Lengan Dahlia terulur ke arah tangan Nia dan memberikan amplop berisi uang pada sahabatnya.

Tatapan Nia refleks memincing melihat amplop coklat tebal yang diberikan Dahlia. Dari mana Dahlia mendapatkan uang sebanyak ini. Bukannya baru dua hari Dahlia bekerja di rumah Tuan Mario? Tidak mungkin uang gajinya diberikan secepat ini.

"Lia, kamu dapat uang ini dari mana?"

Mengerti dengan tatapan salah yang dilayangkan Nia Dahlia segera menjawabnya.

"Semalam Tuan Mario kasih bonus uang itu. Katanya karena sudah mau tanda tangan kontrak dan menyuruhku untuk tidak pulang kampung."

"Aduh gening acis sogokan." (yah ternyata uang sogokan)

Kening Dahlia mengerut mendengar gerutuan Nia yang tak ia mengerti.

Melihat itu Nia langsung menepuk keningnya.

"Eh lupa kamu kan gak bisa Bahasa sunda ya gara-gara jatoh di sungai sampai sempat gak ingat apa-apa." Nia tertawa, sedikit mengejek. "Hebat ah kajedot batu bisa jadi poho Bahasa Sunda." (poho / lupa)

Dahlia mengerucutkan bibirnya. Nia adalah orang kesekian kalinya yang menertawakan ia yang tak bisa mengingat Bahasa daerahnya.

"Kamu ngeledekin aku terus Nia."

"Haha"

Wanita itu masih saja tertawa.

"Yaudah aku pulang aja. Tolong ya kirim uang ini ke Ibu. Jangan sampai lelaki sialan itu tau."

"Oke siap."

Memperbaiki posisi Bian sambil berjalan menuju rumah Tuannya Dahlia memikirkan kembali ucapan Nia. Semenjak bangun di rumah sakit 4 tahun lalu ia memang tak mengingat apapun, sampai wanita paruh baya yang mengatakan bahwa ia ibunya menceritakan kembali.

Namanya adalah Dahlia. Putri semata wayang yang terlahir dari ibu Euis dan bapak Hapi yang sudah meninggal. Dia memiliki ayah tiri yang selama ini ia ketahui berhati iblis. Hanya itu yang Dahlia ketahui. Ia tidak mengingat apapun lagi. Termasuk Bahasa daerahnya.

Bersambung...

Pembantuku IstrikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang