"Mas Azzam bukannya Mas waktunya kontrol ke dokter?" ucap Hisyam yang saat ini berada di kantor Azzam.
Gara-gara mimpi anehnya semalam Hisyam langsung saja menemui Azzam di kampus. Hisyam hanya ingin memastikan keadaaan Azzam saja. Melihat Azzam baik-baik saja membuat Hisyam sedikit lega. Tapi Hisyam juga tidak akan tenang sebelum dokter sendiri yang menyatakan Azzam benar-benar sehat.
"Aku udah sehat kok Dek. Kamu tenang aja," jawab Azzam yang masih serius di depan laptopnya.
"Tapi Mas, Mas harus kontrol. Aku antar periksa besok ya?" bujuk Hisyam masih mencoba meluluhkan sifat keras kepala Azzam.
Sejak mereka masih kecil Azzam memang paling susah jika pergi ke dokter. Makanya kakaknya itu lebih senang menyembunyikan sendiri rasa sakitnya daripada membuat orang lain khawatir. Tapi ini masalahnya berbeda, Azzam mengalami trauma atau cidera pada kepalanya bukan hanya sekadar sakit demam atau flu biasa.
"Dibilang aku nggak papa Dek," keukeuh Azzam lalu menghela napas panjang seraya menggeser laptopnya demi menatap adiknya yang terlihat sangat khawatir. "Kamu kenapa sih Dek?" sambung Azzam lagi sambil membalas tatapan Hisyam.
"Pokoknya besok aku jemput Mas Azzam jam 8 pagi, kita ke dokter," tegas Hisyam tak ingin dibantah lagi.
"Oya Dek, sebaiknya kamu pulang. Kasihan Ayah sendirian mengurus pabrik dan toko. Minggu lalu saat aku pulang Ibu dan Ayah menyuruh kita berdua yang meneruskan usaha mereka," terang Azzam tanpa berminat menanggapi ucapan Hisyam sebelumnya.
"Ya udah Mas kita pulang bersama. Kita kembangkan pabrik dan toko bersama-sama," jawab Hisyam dengan serius.
"Kamu lebih layak dan pantas Dek. Aku nggak bisa. Aku sudah tidak punya waktu lama lagi," jawab Azzam dengan santai seolah tanpa beban.
Deg... Jantung Hisyam seketika berdebar kencang saat mendengar jawaban Azzam. Jawaban yang membuat kegelisahannya bertambah berkali-kali lipat. Hisyam menggelengkan kepala dengan wajahnya yang sudah berubah pucat. Hisyam menatap detail wajah Azzam yang justru tersenyum ceria dan tenang.
"Mak maksud Mas Azzam?" sahut Hisyam dengan tergagap.
Azzam beranjak dari kursinya lalu berdiri dengan bersandar pada meja di samping Hisyam duduk.
"Kamu tahu sendiri aku lagi sibuk dengan persiapan akreditasi kampus dan Adiva sendiri sebentar lagi akan melahirkan," jawab Azzam seraya menepuk bahu Hisyam lalu kembali berkata-kata, "Mmmm... Sebentar lagi aku akan sangat sibuk Dek, klo kamu sudah pulang jangan lupa sering-sering mengunjungi aku ya?"
Setelah gagal merayu Azzam untuk periksa ke dokter Hisyam melangkah meninggalkan kantor Azzam dengan perasaan tak menentu. Kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Azzam berputar ulang secara otomatis. Logika Hisyam seolah tak mampu mencerna semuanya. Bahkan hingga saat ini jantung Hisyam masih berdebar kencang seolah tak rela meninggalkan Azzam. Hisyam tiba-tiba saja merasa sangat merindukan kebersamaan mereka dulu. Merindukan semua tentang mereka.
Tak lama setelah kepergian Hisyam, Azzam kembali serius pada layar laptop di hadapannya. Tapi ternyata konsentrasinya telah terbagi. Azzam menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi dengan mata terpejam, pikirannya mulai berkelana, merenungkan semua hal yang telah ia lalui sepanjang hidupnya. Tiba-tiba saja senyuman terukir di bibirnya sembari membuka laci meja kerjanya. Azzam meraih pena hitam kesayangannya hadiah dari Adiva. Hadiah sederhana yang memiliki nilai tak terhingga baginya. Mulailah pena itu menari-nari dengan lincah di atas kertas putih di dalam buku agendanya. Setelah membubuhkan namanya di sana Azzam menyelipkan pena dalam buku agenda tersebut dan menutupnya.
Dengan hati berbunga-bunga Azzam mematikan laptop setelah menilik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan jam berakhir PAS Adiva. Menantikan kedatangan istri kecilnya jauh lebih menarik ketimbang melakukan hal lain. Jadilah Azzam membereskan barang-barang penting miliknya sembari menunggu Adiva datang. Dan benar saja selang 15 menit Adiva datang dengan wajah ditekuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Hati Satu Cinta (End)
RomanceRate 18+ Blurb Perpisahan dengan seorang sahabat terbaik beserta dengan cinta pertamanya tentulah hal yang tak mudah bagi Adiva Dania Khanza, gadis berusia 18 tahun itu. la terisak tatkala harus melambaikan tangannya melepas Aldebaran Malik pergi me...