Main: Joy & Irene
Author: Anonymous•••
Kosong.
Mungkin akan sedikit egois jika Joy berpikir bahwa dialah satu-satunya orang yang mendalami perasaan tersebut lebih dari yang lain.Well, meski memang begitu, nyatanya kehampaan terjadi hampir pada semua orang seusianya dan bahkan lebih muda. Ini bukan tentang kapan dia dilahirkan atau dalam lingkup seperti apa seseorang tumbuh.
Barangkali mengambil sepertiga peran dari keseluruhan, pada akhirnya diri sendiri merupakan satu pihak pemegang kontrol terbesar. Segala kekosongan, kehampaan, kesendirian, datang dari lubuk terdalam sebuah hati yang tak pernah diisi.
Bersama sepasang tongkat yang dijepit di dua ketiaknya, entah bagaimana caranya si semampai telah berdiri di tepian pembatas atap rumah sakit terkenal; bersiap mengotori nama termahsyurnya.
Joy tidak peduli. Toh ini semua tentang dirinya. Bukan orang lain, pun rumah sakit juga bukan.
Sebuah papan LED besar tertempel di gedung seberang, menampilkan informasi terbaru mengenai penyelidikan polisi pada seorang remaja yang ditemukan meninggal tergantung di kamarnya sendiri.
Presenter itu tampak percaya diri. Mereka semua juga, pikir Joy.
Ada sedikit indikasi meremehkan dari decihan lemah bibirnya yang tersayat kecil; sama sekali tak mengerti mengapa manusia terlalu sistematis. Segala akibat harus memiliki sebab yang fisikal alias berbentuk dan yang hanya mereka percayai.
Seseorang ketahuan mencuri sebuah mangga bukan di musim panennya, mereka akan berpikir bahwa dia jahat dan sekedar tidak memperdulikan orang lain.
Padahal jika di konsepsikan melalui pandangan yang berbeda, memang sudah seharusnya masing-masing manusia memikirkan diri mereka sendiri. Jika bukan mereka sendiri, lalu siapa yang mau?
Lalu ketika remaja menggantung diri, mereka akan berpikir bahwa terdapat konspirasi pembunuhan dibelakangnya.
Padahal mungkin alasan utamanya memang hanya karena kehampaan. Titik dimana seseorang sungguh tak menemukan tujuan untuk mempertahankan paru-paru menopang hidupnya.
Segalanya terlalu konseptual; memuakkan. Kebanyakan manusia tidak menerima hal-hal yang transendental; tidak suka dengan ketidak–mengertian. Semuanya harus dapat dijelaskan secara ilmiah atau berdasarkan pengalaman.
Padahal hidup tidak pernah sesederhana itu.
Lantas kini, Joy mendapatkan gilirannya. Mungkin.
Karena ketika kaki kanan terbalut gipsnya tahu-tahu diangkat dan diletakkan ke permukaan beton yang menjadi akhir batas gedung yang sedikit lebih tinggi di depannya, sebuah suara menggelitik sisi lehernya.
"Yeah... mati menyenangkan. Itupun jika kau mati. Dilihat dari banyaknya kain kasa yang melilit tubuhmu, tidakkah kau lelah? terus gagal?"
Mata coklat terang Joy yang elok terpapar matahari secara reflek memindai sekujur tubuh wanita berhoodie gelap di sudut atap.
Beruntung angin semilir berada di pihak Joy; membantunya menyingkap penutup kepala wanita tersebut hingga wajah bagai malaikatnya bersinar.
Ada keraguan di batin Joy untuk sesaat; mengira bahwa mungkin Ia tak perlu melompat. Mungkin wanita ini memang adalah sesosok grim reaper yang merasa kasihan akan kemirisan hidupnya.
Mulut Joy terkatup rapat. Tak memiliki sedikit saja intensi untuk menyerahkan jawaban atas kalimat tanya yang barangkali dilontarkan padanya mengingat tak terdapat siapapun di tempat ini sekarang.
Perawakan wanita itu hanya rata-rata, dengan lengan pendek berototnya disandarkan ke pembatas rooftop yang sedikit lebih tinggi dari tempat Joy memijakkan kakinya kini.
Joy tau malaikat pencabut nyawa tidak akan bertele-tele dan hanya akan sekedar mencengkeram sikunya untuk dibawa entah ke surga ataupun neraka. Jadi ekspektasinya terhadap orang yang Ia kira akan membawanya meninggalkan dunia pun seketika menguap.
Netra Joy memutar bosan; muak. Apalagi ketika wanita berambut hitam sepunggung itu mulai menatap awan yang berniat memblokir sinar terik matahari.
Entah bagaimana caranya Joy sudah mendeteksi adanya ceramahan panjang dibalik pandangan dalam yang tampak menerawang tersebut.
Bibir tipisnya terbuka sedikit, seolah hendak mengutarakan sesuatu. Namun ketika tak terdapat satupun kata lolos dari mulutnya, Joy tak sadar mengangkat satu alisnya.
"Yeah, well. Aku Irene. Senang bertemu denganmu."
Anehnya, ada sebuah kehangatan yang menyeruak di dada Joy begitu nama itu disebutkan. Seakan-akan seorang kakak yang paling mengerti dirinya, akhirnya diturunkan baginya; bagi kekosongan hidupnya.
Namun begitu suara pintu besi rooftop terdengar, Joy baru sadar bahwa Ia baru saja tenggelam dalam halusinasi kedamaian semu.
Damai dan hidupnya akan selalu menjadi dua kata yang tidak dapat disatukan.
Joy mengerti.
Jadi keputusan serta rencananya tak dirubah.
Brak!
Lantas bertepatan dengan kaki mungil dari perempuan yang mengenalkan dirinya sebagai Irene tadi menginjak permukaan tanah berbeton depan rumah sakit, suara keras mengganggu yang disusul teriakan orang-orang di sekitar tak sekalipun membuat Irene menoleh.
Sebab Ia tahu, adiknya sungguh sudah bebas.
•••

KAMU SEDANG MEMBACA
Kananta Constellation
FanfictionA collection of short stories SNSD 8 + 1, Red Velvet, & Blackpink from Redmare House author's.