• 8 •

557 100 19
                                    

Bian duduk di kursi pelanggan di dekat meja bar untuk melepas lelah sementara. Setelah sibuk melayani pelanggan dan membersihkan meja, Bian dan yang lain akhirnya bisa beristirahat sejenak.

Bian melirik jam dinding, pukul setengah sembilan malam. Kemudian dia melirik ke arah luar. Dia menghela napas, cuaca sedang merasa buruk, suhu terus menurun seiring dengan keras dan cepatnya air hujan turun ke bumi dan menabrak genteng kafe atau bangunan lain di sekitarnya.

Sudah pukul sembilan malam dan ditambah dengan hujan, suhu menjadi dingin, membuat orang-orang malas keluar dan memilih untuk bergelung di bawah selimut. Namun untuk orang-orang yang sudah keluar, mereka juga lebih memilih untuk menunggu hujan reda demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di jalan. Seperti orang-orang yang ada di dalam kafe sekarang, mereka memilih untuk lanjut nongkrong atau mengerjakan tugas di meja kafe masing-masing. 

Karena hujan, sekarang hanya satu atau dua orang pelanggan di dalam kafe, oleh karena itu Bian bisa bersantai, bahkan pekerja lain sedang bersantai di dalam ruangan khusus pekerja. Bian sibuk bermain ponsel sampai seorang membuka paksa pintu kafe dan membunyikan lonceng yang tergantung dengan cukup kencang.

Bian mengerutkan kening, bertanya-tanya siapa orang yang nekat untuk tetap mampir ke kafe di cuaca yang buruk seperti ini. Di luar, rintik air sangat deras, hanya orang-orang yang memakai kendaraan tertutup yang nekat keluar dari bangunan kokoh. Dan Bian rasa mereka keluar karena kepentingan yang mendesak. Siapa yang mau keluar hanya untuk datang ke kafe di tengah derasnya hujan?

"Gabut banget apa ya," gumam Bian pelan sembari beranjak dari kursinya, dia segera memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Bersiap menyambut pelanggan yang entahkenapa memilih untuk berteduh di kafe dibandingkan pulang ke rumah.

"Selamat malam, selamat da– tang,"

Bian meneguk ludahnya paksa, tangannya yang memegang notes kecil untuk mencatat pesanan bergetar, kelopaknya tak kuasa berkedip dan memandang pemuda yang baru saja masuk yang memandang ke depan -lebih tepatnya memandang Bian- dengan dingin.

"Selamat malam, Bian," sapa pemuda itu.

Bian menggelengkan kepalanya pelan, kakinya melangkah ke belakang, bersiap untuk melarikan diri dan menumpahkan pekerjannya ke orang lain, persetan disebut pegawai yang tidak kompeten dalam menjalankan tugas.

Sayang, belum sempat Bian melangkah ke belakang lebih jauh, tangan pelanggan itu dengan kurang ajar menariknya dan mencegah Bian untuk pergi. Dia seperti capung yang telah ditangkap sayapnya.

"Bisa lepaskan tangan saya? Tolong," ujar Bian pelan. Mau bagaimanapun, orang ini adalah pelanggan, dia harus berbicara dengan sopan walaupun sebenarnya dia ingin sekali berteriak kemudian menendang perut orang ini hingga terkapar dan lari bersembunyi di balik tubuh kekar Sarendra.

Tapi tentu saja itu hanya di dalam pikiran liarnya, dia bahkan tidak bisa melepaskan cengkraman tangan pemuda ini, mana mungkin dia bisa menendangnya sampai terkapar, bisa-bisa dia yang tertendang dan terlempar sampai babak belur.

"Kamu pegawai di sini, kan? Kenapa kabur saat ada pelanggan?"

Bian menekan giginya dengan keras, berusaha sekuat mungkin agar tidak mengumpat atau bahkan menangis, dengan kesal dia mengangkat bibirnya, memaksakan senyum dan menjawab, "saya nggak kabur,"

"Oke," setelahnya, pemuda itu melepas cengkraman tangannya, namun pandangannya sama sekali tidak lepas dari Bian yang memandangnya dengan senyum yang sangat terpaksa. Pemuda itu sama sekali tidak menghiraukan tatapan kesal Bian berjalan ke salah satu meja.

Dengan sangat terpaksa, Bian mengikuti pemuda itu ke pojok kafe, di dekat jendela. Bian memandang keluar, hujan di luar cukup besar hingga terdengar sampai ke dalam kafe.

Coalesce [Taegyu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang