• 19 •

533 78 5
                                    


Tama dan papanya saling berhadapan. Yang muda berdiri tegap sedangkan yang lebih tua duduk dengan tenang. Atmosfer di antara keduanya meningkat hingga udara terasa sangat tipis. Kai di belakang Tama menahan napasnya tanpa sadar sambil meneguk ludahnya dengan paksa beberapa kali.

Pasangan ayah dan anak itu saling memandang dengan tajam. Alis keduanya bertaut dan wajah mereka tegas. 

Kai, orang luar yang terseret keadaan hanya bisa berdiri diam di belakang Tama sambil terus memperhatikan ke depan, berjaga-jaga agar kejadian beberapa hari yang lalu dimana Tama harus merelakan pipinya menjadi merah semalaman tidak terjadi kembali.

"Kenapa?" tanya Tama. Wajahnya penuh amarah tapi nada suaranya tenang, tidak rendah dan tidak tinggi.

Papa Tama menjawab dengan tenang, "demi masa depan kamu,"

Tama, "padahal aku udah keterima di kampus terbaik di negeri ini?" dia mendengus pelan sebelum berkata, "Papa cuma pengen aku pisah dari Bian kan?"

Yang mengejutkan, papa Tama menganggukkan kepalanya tanpa merasa tertekan, "ya,"

Tangan Tama yang sudah terkepal mengepal makin erat hingga kuku jarinya menancap kulit. Dia menggertakkan giginya, tetapi sebelum dia mengatakan apapun, suara papanya menyela.

"Kamu sendiri yang bilang beberapa hari yang lalu, kan?"

Ekspresi Tama mengendur, "apa?"

"Kamu selalu nurutin papa sejak kecil dan kamu masih akan nurutin papa sekarang," ucap papa Tama sambil tersenyum tipis. Senyum itu sangat tipis dan miring ke samping hingga seperti seringai. 

Tama terdiam. Dia memang mengatakan hal itu dan dia tidak akan menarik kata-katanya. Tapi, bukankah papanya terlalu implusif? Langsung melemparkan dirinya ke Amerika untuk memisahkan dirinya dengan Bian? Bukan hanya itu, tapi papanya juga membuatnya masuk ke universitas elit tanpa membuat universitas terbaik di negaranya tersinggung.

Bagaimana orang ini bisa melakukan hal sebesar itu? 

"Dan-" papa Tama melanjutkan ucapannya.

Tama tidak mengatakan apapun dan hanya mendengarkan dalam diam.

Papa Tama melebarkan senyumnya, "bukannya kamu bilang kalau hubunganmu dengan Bian serius dan nggak bakal putus semudah itu?"

Ya. Tama menjawab dalam hati. Bahkan jika dia harus ke Amerika dan belajar di sana selama beberapa tahun, dia yakin Bian mengerti dan hubungan mereka akan baik-baik saja. Lagipula teknologi sudah canggih dan hubungan jarak jauh bukannya tidak mungkin. 

"Jadi ayo taruhan, Tama,"

Tama mengerutkan dahinya, "taruhan?"

Papa Tama berkata perlahan, memastikan Tama mendengar tiap kata yang dia ucapkan, "pergi ke Amerika tanpa kasih tau Bian dan biarin keberadaanmu menghilang sementara. Kalau kamu bisa pulang tepat waktu, Papa bakal biarin kamu ngelakuin apapun yang kamu mau dengan pengecualian kamu masih akan ngurus perusahaan,"

Tanpa memberitahu Bian dan membuat keberadaannya hilang? Omong kosong!

"Nggak," Tama menjawab tanpa berpikir. 

Dia tidak bodoh untuk tidak mengetahui rencana papanya. Kunci dari suatu hubungan adalah komunikasi, jika dia tiba-tiba menghilang dan memutuskan komunikasi dengan Bian, dia bahkan tidak ingin membayangkan apa yang akan terjadi.

Tapi papa Tama adalah perencana yang matang, "kamu tau PT. Aktuasera?"

Manik Tama membulat, bagaimana mungkin dia tidak tau, itu adalah perusahaan yang paling familiar di telinga Tama. 

Coalesce [Taegyu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang