• 17 •

553 91 6
                                    


"Kai brengsek!"

Kai yang baru membuka matanya, "?!"

Sebelum Kai sempat bertanya kenapa dia harus menerima umpatan yang dia yakini seratus persen penuh amarah di detik pertama dia bangun di pagi hari, Tama tanpa ampun mematikan telepon dan melemparkan ponselnya sembarangan di atas tempat tidur.

Tama memijat ujung alisnya perlahan.

Tama tidak tau itu adalah sebuah pertanda atau hanya bunga tidur karena dia terlalu lelah, dia tidak bisa tidak memikirkan mimpi yang baru saja dia alami.

Biasanya, dia tidak pernah percaya soal mimpi sebagai pertanda. Bahkan saat dia bermimpi tentang neneknya yang sangat diasayangi, dia hanya berpikir itu adalah bunga tidur biasa.

Tapi tiba-tiba bermimpi tentang Bian dan mendapatkan emosi yang luar biasa nyata di dalamnya adalah hal baru. Dia masih bisa mengingat setiap kata yang diucapkan Bian dan dia masih merasakan sakit hati sejak pertama kali dia membuka matanya.

Emosinya sangat kacau sehingga dia tidak bisa menahan diri untuk menyumpahi Kai sesaat setelah kesadarannya penuh. Jika dia tidak salah mengingat mimpinya, Kai bertemu dengan Bian tanpa memberi tahu dirinya. Kai membuat Bian marah, menangis, dan membuat Bian memeluk orang lain.

Bagaimana mungkin dia tidak marah?!

Tama tau Kai bukan orang yang implusif dan dia tidak akan melakukan hal bodoh semacam itu di dunia nyata tapi dia benar-benar kesal dan kekesalannya hanya akan reda setelah dia melampiaskannya.

Berkali-kali, dia bergumam kepada dirinya sendiri bahwa itu hanyalah mimpi dan kejadian dramatis seperti itu tidak akan terjadi di dunia nyata. Hanya ada sesuatu seperti itu di dalam sinetron favorit mamanya.

"Oke, itu cuma mimpi," gumam Tama sebelum menghela nafas panjang.

Benar, itu hanya mimpi. Bian-nya yang asli bahkan berinisiatif untuk mencarinya. Bian juga sudah memiliki nomor ponselnya, hanya butuh beberapa saat untuk mereka bertemu dan Tama akan bebas dari duri yang menjerat lehernya serta menusuk setiap inci hatinya.

Bian tidak menyuruhnya berhenti dan dia tidak akan berhenti bahkan jika dia harus.

Tama baru saja akan masuk ke kamar mandi saat ponselnya bergetar panjang, membunyikan melodi yang halus tapi berisik. Dia kembali ke atas tempat tidur dan menatap nama orang yang menelponnya.

Kai.

Yah, dia salah karena sedikit implusif jadi dia segera menggeser tombol hijau di ponselnya.

"Lo kenapa?" Kai langsung bertanya begitu Tama meletakkan ponsel ke samping telinganya. 

Tama menggeleng pelan saat menjawab, "nggak papa, sorry,"

Kai mendengus kesal, "apanya yang nggak papa? Lo kena tantrum pagi-pagi dan lo bilang nggak papa? Gue yang baru bangun ini jadi korban ya anjing," 

Sudut bibir Tama berkedut sejenak, kemudian menghela napas, "beneran bukan apa-apa, cuma mimpi,"

Kai terdiam selama beberapa saat, "lo mimpiin gue apa sampe lo harus nyumpahin gue real life?"

Tama tidak berniat menyembunyikan apapun sehingga dia mengatakan isi mimpinya kepada Kai. Dia terutama menekankan beberapa hal yang berhubungan dengan Kai di dalam mimpi.

Kai di ujung telepon terdiam. Hanya setelah beberapa saat, dia bergumam dengan kesal, "gue sotoy banget anjing,"

Mendengar itu, Tama tertawa pelan, "makanya gue kesel, sorry,"

Kai mendesah pelan, "gue kalau jadi lo juga kesel sih, nggak papa,"

Kai berulang kali mengingatkan bahwa semuanya hanya mimpi dan tidak akan terjadi. Itu semua hanya bunga tidur dan Tama tidak boleh terlalu memikirkannya. Tama menanggapi dengan positif.

Coalesce [Taegyu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang