Dari setengah tahun lalu, Sandyakala memulai kisahnya buat jadi murid bandel. Ngga ikut upacara bendera atau bahkan bolos pelajaran sekalipun sudah sering dia lakukan dan guru-guru juga sudah terbiasa dengan kelakuan anak satu itu.
Anak ketiga dari empat bersaudara ini masih berada di kelas sembilan SMP, tapi kelakuannya itu sudah mengalahkan rekor bolos yang dilakukan kedua kakaknya, membuat si kembar pertama hanya bisa geleng kepala saat salah satu dari mereka dipanggil bergiliran ke sekolah buat dimintai pertanggung jawaban atas sikap Sandyakala selama ini. Namun, tetap saja, si tengah enggan berubah, dan kedua kakaknya juga ngga pernah menuntut anak itu buat jadi lebih baik meski setiap Sandyakala berulah, baik Angkasa, Cakrawala atau bahkan Senja sekalipun sering sekali mengomel panjang lebar sampai mulut serasa berbusa. Tetapi, sekali lagi, Sandyakala ngga berubah sedikit pun.
"Kakak!"
Tubuh kecilnya nyaris terjerembab ke lantai kotor jika saja tangannya ngga menahan bobotnya sendiri. Sandyakala meringis kecil, sebab akhirnya dia kalah, tubuhnya tumbang dengan tangan kiri yang lebih dulu menyentuh permukaan lantai, membiarkan celana, hoodie, bahkan rambutnya dipenuhi debu.
Senja yang melihat itu, ngga mau tinggal diam, langsung saja anak itu mendekat, namun belum juga dirinya membantu kembarannya buat kembali bangkit, Sandyakala lebih dulu menahan, membuat gerakan Senja tertahan.
"Kakak bisa sendiri," begitu ucapnya. Tangannya bertumpu pada lantai, mencoba buat membawa tubuh kurusnya berdiri, sampai si bungsu ngeri sendiri saat melihat kalau kakaknya berkali-kali hampir tumbang sebab tidak bisa melakukannya seorang diri walau sejujurnya, Sandyakala sangat ingin menangis saat tangan kirinya serasa teriris.
Sampai sekarang, Senja masih ngga mengerti, kenapa kakaknya ini selalu menolak afeksi yang dia beri?
"Kenapa ke sini?" Sembari membersihkan diri — disertai ringisan kecil yang sayangnya masih bisa Senja dengar, Sandyakala mengalihkan atensi. "Udah mau jam tujuh, bentar lagi upacara, lho."
Bibirnya dilengkungkan ke bawah, "Ya justru itu! Adek udah nggak pernah lihat kakak ikut upacara lagi sejak kelas delapan semester lalu!"
Kekehannya terdengar mengalun, Sandyakala berhenti buat bersihkan diri, kini seluruh perhatiannya tertuju pada si bungsu yang terlihat lucu dengan bibir yang dipajukan seperti itu.
"Kakak nggak bawa topi —
— Adek bawa! Ada di loker!"
Sandyakala sama sekali nggak menyangka, kalau Senja akan membawanya dan membuatnya tersudut dengan keadaan yang ada, tapi untungnya, dia pandai mengendalikan suasana.
"Perut Kakak mules, Adek," buat mendukung aktingnya, Sandyakala pengangi perutnya disertai ringisan pelan yang tentunya membuat Senja panik bukan main melihat kakaknya kesakitan.
"Ayo ke UKS," anak itu mengajak, disertai rangkulan pada tangan yang lagi-lagi mengundang ringisan kecil dari mulut kakaknya, hingga pada akhirnya Sandyakala sedikit menjauh dengan seulas senyuman teduh.
"Kakak ngga sakit, cuma butuh toilet aja," kelakar si tengah, sedikit melirik tangan yang kini mulai dihiasi bercak merah dan langsung menyembunyikannya dibelakang tubuh. Beruntungnya, Senja percaya dengan bualannya murahannya.
"Adek anterin ke toilet, ya —
— Ngga usah! Upacara udah mau mulai, kamu langsung ke lapangan aja, kakak bisa sendiri."
Meski dengan lirikan sinis disertai lengkungan bibir kesal, Senja tetap menurut, menuruni rooftop sekolah dengan Sandyakala yang mengikutinya dari belakang.
"Yakin ngga mau Adek anter?" Anak itu kembali memastikan, yang tentunya sang kakak balas dengan anggukan sok tegar.
Lantas, keduanya berpisah, Senja yang bergegas menuju lapangan, dengan Sandyakala yang benar-benar membawa langkahnya menuju toilet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Galaksi✓
Teen Fiction"Perihal datang dan pergi, itu udah biasa terjadi. Tapi, khusus buat Abang, Mas sama Adek, tolong jangan pergi, karena Kakak cuma punya kalian sebagai pelipur hati," - Sandyakala. "Kenapa kita harus pergi disaat semesta juga tahu kalau Galaksi bersa...