GALAKSI 13

630 104 14
                                    

"Mas boleh nanya sama Kakak?"

Sedetik setelah Cakrawala mendudukkan dirinya di samping Sandyakala, pertanyaan itu mengudara.

Namun, setelah lebih dari satu menit pun, tidak ada satu kata pun yang keluar sebagai jawabannya.

Cakrawala tersenyum tipis. Pandangan yang awalnya tertuju pada lantai, kini dialihkan pada cermin besar yang menempel pada lemari di depannya.

Adiknya tengah meringkuk menyamping menghadap tembok — membelakanginya — tetapi Cakrawala tahu kalau Sandyakala mendengar semua kata yang keluar dari mulutnya.

"Kalau boleh tau, apa yang kemarin Kakak dan Abang bicarakan di rumah sakit saat Mas lagi keluar buat menjemput kak Apri di parkiran?" Tanyanya, walau sebenarnya Cakrawala sudah tau apa yang terjadi diantara kakak dan adiknya. "Soalnya, Abang terus-terusan diem setelah pulang dari rumah sakit."

Lagi, Sandyakala tampak ngga tertarik buat menjawab pertanyaannya, hingga helaan pun keluar dari mulut kakaknya.

"Kakak tau ngga, beberapa bulan lalu, Mas pernah menyarankan pada Abang agar Kakak bisa tinggal bersama nenek dan kakek saja di Jogja," kalimatnya dijeda, Cakrawala menatap dalam matanya sendiri yang terpantul pada kaca. "Tapi Abang ngga setuju. Kakak tau apa alasannya?"

Lagi, hanya keheningan yang menjawab pertanyaannya.

"Karena orang yang Mama titipkan buat menjaga kita bukan nenek maupun kakek, tapi Angkasa, Abang kita."

"Kakak tau ngga, banyak banget hal yang Abang tanggung setelah Mama tiada?" Cakrawala masih berusaha, walaupun dia tahu kalau Sandyakala ngga akan membuka mulutnya. "Mama tiada, Abang yang menggantikan posisinya buat kita bertiga. Papa berubah, Abang juga yang menggantikan posisinya."

Napasnya ditarik dalam. Cakrawala tidak tau mengapa hatinya terasa diremas saat mengatakan hal itu pada salah satu adiknya.

Kalau ada yang tau pengorbanan Angkasa setelah Mama tiada, maka Cakrawala lah orangnya. Anak kedua dari empat bersaudara itu tahu bagaimana jatuh bangun saudara kembarnya dalam menghadapi kepahitan semesta.

"Bagi Mas, Abang itu udah bukan bersikap seperti saudara lagi, tapi udah seperti orang tua. Kalau ada salah satu diantara kita yang merasakan sakit, maka Abang juga sama sakitnya. Kalau ada salah satu diantara kita yang merasa senang, maka Abang juga sama senangnya."

"Kakak ngga tau kan, kalau setiap kali Kakak menyakiti diri sendiri, Abang akan menangis sendirian di malam hari sambil menyalakan dirinya sendiri karena ngga becus menjadi Kakak yang baik buat adik-adiknya?"

Cakrawala ngga akan tau, kalau saat kalimat itu meluncur dari bibirnya, air mata Sandyakala mulai jatuh dengan derasnya.

"Kakak juga pasti ngga tau, kalau Abang bahkan ngga berhenti mengucap syukur setelah Kakak bilang ngga mau self harm lagi."

Napasnya dihembuskan kasar. Cakrawala usak rambut lepek adiknya. "Mas ngga akan melarang Kakak buat menggapai bahagia walaupun itu artinya kita harus berpisah. Mas cuma mau minta satu hal sama Kakak." Tangannya berhenti bergerak, "Kalau hati dan perasaannya udah membaik, tolong kasih semangat buat Abang, ya, karena saat ini, Angkasa sedang membutuhkan rangkulan dari ketiga saudaranya."

***


Sudah dari 10 menit yang lalu Angkasa berdiam diri di dalam mobil dengan kepala yang ditumpukan pada kemudi.

Sudah ratusan helaan nafas berat yang pemuda itu hembuskan saat mobilnya berhenti di dekat gerbang kompleks rumahnya.

Rasanya berat buat kembali ke rumah yang terlalu banyak memberi luka buat salah satu adiknya. Namun, Senja masih ada di dalam sana, dan Angkasa harus membawanya.

Pada akhirnya, si sulung dari empat bersaudara itu memberanikan dirinya. Menghidupkan mesin mobil dan melaju dengan pelan menuju rumah yang sudah sehari dia tinggalkan.

Saat mobilnya berada tepat di depan gerbang rumah, seseorang langsung membukanya, dan Angkasa mengucapkan terima kasih karenanya.

Seatbeltnya dibuka. Angkasa hembuskan nafas panjang sebelum menginjakkan kaki di pelataran rumahnya.

Langkahnya terasa berat, kalau bukan karena Senja, Angkasa enggan menginjakkan kakinya di rumah ini buat sementara waktu.

Saat pintu utama terbuka, teriakan Senja langsung menyambutnya. Anak itu memeluknya erat, disertai tangisan pilu yang membuat Angkasa merasa gagal menjadi kakak yang baik buat adik-adiknya.

"Abang kenapa ninggalin Adek sendirian?!"

Si sulung hendak menjawab, namun urung saat melihat Papa yang kini berdiri di dekat tangga dan melihat kearahnya.

Angkasa memalingkan wajah.

"Abang," Senja bersuara, beberapa saat setelah pelukan keduanya terurai. "Kakak —

— Cuci muka sama ganti baju, nanti kita ketemu Kakak sama Mas."

Tanpa disuruh dua kali, Senja segera melarikan diri, mengabaikan Papa yang tak bergeming ditempatnya berdiri.

"Bang."

Awalnya, Angkasa hendak berbalik dan menunggu adik bungsunya di mobil, tetapi urung saat Papa memanggilnya.

"Sandyakala, bagaimana keadaannya?"

Tangan Angkasa terkepal. Hatinya bergejolak saat nama Sandyakala disebut hingga bayang-bayang saat adiknya meminta buat tinggal di Jogja kembali terngiang dikepalanya, membuat air mata terjun dari pelupuknya tanpa aba-aba. "Kenapa bertanya? Apa sekarang Papa udah peduli pada Sandyakala?"

"Bang," Papa memanggil, membawa kakinya untuk semakin mendekat pada si sulung yang bahkan terlihat tidak sudi buat menatapnya. "Papa... Ngga bermaksud buat melukai Sandyakala."

Angkasa ngga menanggapi, namun dia tetap pada posisi.

"Sandyakala memecahkan guci kesayangan Mama —

— Dan apa itu pantas dijadikan alasan buat Papa menamparnya sampai jatuh tersungkur pada anakan tangga?!" Angkasa meninggikan suaranya. Dia yang awalnya enggan menatap Papa, kini justru membalikan tubuhnya hanya untuk menatap tajam pada orang tua tunggalnya.

"Sandyakala hanya memecahkan guci, dan apa Papa pantas menghukumnya sekeji ini?! Apa Papa tau imbas dari perbuatan Papa kali ini?!"

"Maaf," Beliau tampak menyesal, benar-benar menyesal sampai kepalanya tertunduk dalam dengan wajah yang memerah.

Sejujurnya, membenci Sandyakala ngga pernah terpikirkan dalam benak Papa. Anak tersayangnya memang Senja, tapi ketiga putra yang lainnya juga berharga.

Mama meninggal karena kecelakaan dijalan raya saat berada dalam perjalanan menuju tempat Sandyakala mengikuti lomba, dan Papa ngga bisa buat ngga menyalahkan anak ketiganya.

Kalau saja saat itu Sandyakala ngga merengek pada Mama buat datang pada acaranya, mungkin kecelakaan itu ngga pernah ada, dan Mama masih ada bersama mereka.

"Mama udah ngga ada, dan itu adalah fakta yang harus Papa terima. Bukan karena Sandyakala atau siapapun, tapi ini yang namanya takdir semesta, dan Papa harus bisa menerimanya!"

"Maaf, Papa menyesal karena udah memperlakukan Sandyakala dengan sangat buruk setelah Mama tiada." Sesal beliau disertai isakan yang mengaluni kalimatnya.

Buat yang pertama kalinya setelah kematian Mama, Papa menangisi putra ketiganya.

"Tolong izinkan Papa buat melihat keadaan Sandyakala dan meminta maaf padanya," Beliau menatap putra sulungnya penuh harap.

"Abang," Senja memanggil pelan, membuat Angkasa menghapus air matanya dan segera mengulurkan tangan buat merangkul adiknya.

"Bang, tolong," Beliau kembali bersuara saat kedua putranya mulai melangkah menjauh darinya.

Masih dengan merangkul Senja, Angkasa hentikan langkahnya, "Memaafkan Papa harusnya jadi hal yang mudah buat dilakukan, tapi sekarang, rasanya jauh lebih susah dari yang pernah aku bayangkan. Maaf, tapi kita butuh waktu, Pa, karena perbuatan Papa kali ini, udah ngga bisa ditoleransi lagi."

***



Galaksi✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang