GALAKSI 6

1K 162 11
                                    

"Lomba melukis yang diikuti Sandyakala bukanlah penyebab kematian Mama! Aku yakin, kalau bisa memilih, Sandyakala akan menarik permintaannya buat Mama datang diacaranya waktu itu, tapi ngga bisa, ini udah takdir, Pa! Mama meninggal itu karena takdir, bukan karena Sandyakala!"

Cakrawala meninggikan suaranya. Dia yang biasanya selalu berbicara lembut pada semua orang, kini meluapkan emosi nya. Papa yang selalu saja menyalahkan adiknya, membuatnya muak. Berbicara seolah Sandyakala memanglah akar dari kematian Mama, padahal anak kecil saja tau kalau kematian seseorang adalah takdir.

"Stop berlaga seolah Papa yang paling merasa sakit di sini. Aku, Angkasa, Sandyakala dan Senja juga kehilangan sosok Mama, Pa," suaranya memelan. Air matanya mengalir saat kilasan kesedihan yang adiknya rasakan selama ini, tiba-tiba berputar kembali dalam kepalanya. "Anak yang selalu Papa cap sebagai pembunuh Mama itu juga merasa sakit saat Mama meninggal. Sandyakala yang selalu Papa caci maki itu selalu menghukum dirinya sendiri saat Papa kembali mengungkit soal kematian Mama," kepalanya diangkat, dengan berani menatap Papa dengan wajah merahnya yang berlinang. "Adikku itu ngga sekuat yang Papa bayangkan, dia —

— Mas."

Rentetan fakta mengenai Sandyakala harus terpotong kala Angkasa datang dengan wajah bingungnya. Cowok itu menatap Papa dan saudara kembarnya bergantian, mencoba membaca situasi yang terjadi kini, tapi nihil, wajah Papa yang selalu tenang dan si tengah yang marah-marah membuatnya terlampau bingung.

"Kenapa?" Si sulung bertanya, merasa aneh sebab ngga biasanya Cakrawala meninggikan suara pada anggota keluarganya.

"Tanya aja sa —

Prang

Hanya membutuhkan waktu satu detik buat ketiga orang itu berlari kencang menaiki tangga.

Senja yang berdiri di depan pintu kamar Sandyakala dan Cakrawala yang kini terbuka dengan pecahan gelas di dekat kakinya, mengundang ke khawatiran dari Papa dan kakak kembarnya. Langsung saja si bungsu dihampiri, namun pemandangan yang ada di dalam sana lantas membuat Angkasa dan Cakrawala mengambil tindakan.

Si sulung yang masuk ke kamar adiknya, dan si tengah yang langsung menyeret adik bungsunya buat menjauh dari sana, yang tentunya dibalas berontakan oleh Senja.

"Kakak. Tangan kakak berdarah, Mas!"

Anak itu kelihatan panik, dengan tubuh yang terus menatap ke belakang — kamar kembarannya — ngga lupa air mata yang mulai lolos dari kelopaknya.

"Kakak, Mas."

"Adek, dengerin Mas," Cakrawala memegang pundak adiknya agar anak itu bisa diam buat sebentar saja. "Kakak baik-baik aja, ada Abang yang obatin, oke?"

Saudara kembar Angkasa itu mengusap air mata adiknya, mencoba menenangkan si bungsu walau dirinya sendiri pun merasa ngga tenang saat lagi-lagi Sandyakala melukai dirinya karena perkataan jahat Papa. Lantas, tanpa membuang waktu lagi, Cakrawala tarik tangan Senja menjauh dari sana yang untungnya ngga mendapat berontakan dari si bungsu.

Sementara itu, Angkasa menangkup wajah adiknya, menyingkirkan poni yang menghalangi mata si tengah lantas bertanya dengan wajah khawatirnya; "Kakak kenapa lagi?"

Namun Sandyakala memalingkan muka, raut muka milik Angkasa membuatnya sedikit iba. Lantas, gelengan kepala lah yang menjadi jawabannya. "Kakak ngga kenapa-kenapa."

Sayangnya, si sulung tau kalau adiknya berbohong. Sandyakala tentu ngga akan melukai dirinya kalau ngga ada masalah berat yang dirasakannya. Tetapi, Angkasa memilih buat mengalah, sebab saat ini, bukan waktu yang tepat buatnya mengintrogasi adiknya.

"Abang obati."

Angkasa melepaskan tangannya dari wajah sang adik. Baru saja dia mau mengambil kotak P3K di dalam lemari saat kakinya ngga sengaja menginjak benda yang selalu berhasil membuat tangan Sandyakala dipenuhi luka.

Cutter yang sudah berlumuran darah itu diambil, si sulung baru akan melangkah saat tiba-tiba saja tangan Sandyakala meraih kakinya.

"Abang, jangan dibuang, karena cuma benda itu yang bisa buat kakak tenang."

Angkasa tersenyum kecil sebelum membungkukkan badan, meraih tangan mungil itu buat disingkirkan dan terakhir berjalan mengambil kotak P3K dan kembali berjongkok di hadapan Sandyakala dengan meraih tangannya.

"Menenangkan diri itu ngga melulu harus melukai. Selama kurang lebih setahun ini, Abang coba buat ngerti, tapi sekarang ngga lagi. Kamu punya adik, tugas kamu itu mendidik, bukan malah memperlihatkan sesuatu yang berpotensi membuat adik kamu menjadi panik," jemarinya dengan telaten membersihkan darah pada tangan adiknya, sementara Sandyakala hanya diam meresapi kalimat sang kakak dengan pandangan kosongnya.

"Sandyakala Antariksa Galaksi, tolong berhenti. Daksa kamu ini, ngga pantas dapat perlakuan sebegini keji. Harusnya kamu kasih reward sebagai apresiasi, bukan malah rasa sakit yang sama yang terus terulang lagi dan lagi."

Kali ini, Sandyakala bawa matanya bertatapan dengan milik kakaknya. Untaian kalimat Angkasa barusan, membuatnya ingin menangis sekencang yang dia bisa.

Andai dia bisa memberi apresiasi pada dirinya sendiri, mungkin sudah Sandyakala lakukan dari dulu, tetapi, pada kenyataannya, hatinya terus menerus merasa sakit dengan otak yang seolah terkontrol untuk memaki seluruh elemen pada tubuhnya saat perkataan Papa tentang kematian Mama terdengar oleh telinganya. Lalu, bagaimana Sandyakala bisa memberi apresiasi di saat dia membenci dirinya sendiri?

"Ngga perlu ditahan, Kakak boleh meluapkan semuanya didepan Abang."

Lalu, pertahanan si tengah runtuh. Liquid bening turun berjatuhan dari pelupuknya, membuat Angkasa ngga bisa menahan diri buat memeluk adiknya.

Hatinya hancur saat tahu kalau adiknya serapuh ini. Bahkan, kemenangan yang diperolehnya beberapa saat lalu seakan ngga berarti lagi bagi Angkasa setelah melihat air mata Sandyakala.

"Maaf, Kakak terus-terusan nyusahin Abang."

Angkasa menggeleng. Diusapnya punggung ringkih itu dengan penuh kasih sayang. "Kakak ngga pernah nyusahin Abang, oke? Kita saudara, udah seharusnya saling rangkul saat satu sama lain membutuhkan."

Pelukan keduanya terurai, si sulung usap air sang adik dengan senyum yang menghiasi wajahnya. "Kalau ada apa-apa, cerita sama Abang, ya? Nanti kita cari solusinya sama-sama."

Sandyakala ngga memberi tanggapan, namun kepalanya dengan tiba-tiba menoleh ke samping saat dirasa ada sesuatu yang asing di dekat pintu kamarnya.

Angkasa mengikuti arah pandang adiknya, lantas, hembusan nafasnya keluar. "Kalau papa datang buat memaki, tolong beri kami sedikit simpati. Kakak sekarang lagi ada di bawah, dan Papa ngga berhak membuat bebannya bertambah."

Namun, setelah si sulung berkata demikian, Papa belum juga pergi dari sana, membuat Sandyakala bergerak gelisah sebab merasa takut dengan kehadiran beliau yang ada di sekitarnya.

"Kenapa belum pergi? Apa sekarang Papa udah punya nurani buat anak satu ini?"

Baru setelahnya, Papa pergi dari sana, meninggalkan kedua putranya yang banyak menyimpan luka dalam hatinya.

"Pa, Sandyakala juga Galaksi, tapi kenapa ngga pernah Papa akui?"


***

Galaksi✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang