GALAKSI 9

765 128 28
                                    

"Adek berangkatnya sama Pak Joko dulu ga papa, ya? Papa ada kerjaan di kantor biar nanti siang bisa dateng ke sekolah buat ambil rapot kamu."

Masih pagi, tapi mood Senja sudah berantakan. Mulai dari Sandyakala yang menyuruhnya pergi sarapan lebih dulu sebab yang lebih tua masih ada urusan di kamar mandi, sampai ucapan yang baru saja Papa katakan padanya.

Biar nanti siang bisa dateng ke sekolah buat ambil rapot kamu.

Rapot kamu.

Kamu, bukan kamu sama Kakak.

Memang, sesulit itu ya menyebut nama Sandyakala dari bibirnya? Rasanya, hati Senja hancur. Dia ingin sekali berteriak sekeras mungkin pada Papa yang punggungnya mulai menjauh meninggalkan ruang makan buat ngga perlu datang ke sekolah kalau ujungnya tetap ngga mau mengambilkan rapot milik saudara kembarnya juga. Sebab Senja tau kalau Kakaknya pasti akan merasa hancur buat yang kesekian kalinya saat lagi-lagi Papa cuma datang ke sekolah buat Senja seorang. Tapi, kalau mau menolak ucapan Papa pun terasa percuma, Sandyakala ngga akan pernah suka saat adiknya membantah Papa, dan kalau Senja nekat melakukan itu, sang kakak pasti akan mendiamkannya.

"Kakak yakin?"

"Abang udah nanyain hal itu enam kali pagi ini."

Suara yang terdengar, berhasil menyadarkan Senja dari lamunannya. Si bungsu tolehkan kepalanya ke samping hingga matanya bisa menangkap postur tubuh ketiga kakaknya yang sedang menuruni tangga dengan tas yang sudah tersampir dibahu masing-masing.

"Abang sama Mas nanti ke sekolah?"

Ketiga Galaksi yang baru datang langsung mendudukkan diri pada kursi dan segera mengambil satu lapis roti gandum yang sudah disiapkan lalu mengolesnya dengan selai coklat yang selalu menjadi favorit Angkasa.

"Ngga."

Senja tersedak, tentu saja. Dia kaget, amat sangat kaget saat mendengar jawaban dari Angkasa yang kelewat santai itu. "Terus Kakak gimana?!"

"Kakak udah minta tolong sama Ayahnya Ian, Adek."

Hati Senja serasa tercubit mendengarnya. Sandyakala memang sudah kehilangan sosok Mama, tapi dia masih punya seorang Papa dan tiga saudara, namun sepertinya, meminta bantuan orang lain jauh lebih menjanjikan dibanding menyuruh kedua kakak kembarnya buat datang ke sekolah sebab nanti Papa pasti marah kalau Sandyakala menganggu Angkasa dan Cakrawala yang sudah punya kegiatan tersendiri buat dilakukan.

"Maaf ya Kak, Adek belum bisa meluluhkan hati Papa buat berdamai dengan keadaan sehingga Kakak yang kini merasa disusahkan."

***

"Sandyakala, maaf. Serius, gue ngga pernah menyangka akan ada di posisi pertama dengan lo yang tergeser hanya karena nama."

Sandyakala ingin marah, ingin berteriak sampai suaranya habis pada semesta yang selalu berlaku ngga adil pada dirinya. Nilai yang dia peroleh sama dengan nilai yang Ardiyansyah peroleh, namun posisi yang didapat justru berbeda hanya karena nama Ardiansyah muncul lebih dulu dalam absen dibandingkan namanya yang bisa dibilang ada diurutan belakang. Tapi sayangnya ngga bisa. Sandyakala masih tau diri buat ngga menumpahkan kekecewaannya pada Ian yang bahkan ngga salah apa-apa.

"Berhenti bilang maaf sama gue, Yan. Lo ngga salah."

Buat kali ini, Sandyakala ngga menampilkan senyum walau sebenarnya dia sangat ingin. Bibirnya terasa kaku sebab hati yang sudah terlalu sesak menahan rasa sakit yang diterima sampai sebuah senyum pun ngga berhasil ditampilkan olehnya.

"Gue merasa bersalah sama lo," Ian menjawab. "Lo ngga pantes buat dapetin ini semua, Sandyakala. Harusnya lo ngga ada di peringkat kedua, tapi lo lebih pantas buat ada di peringkat pertama."

Galaksi✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang