GALAKSI 11

936 138 10
                                    

"ADEK, SINI KAMU!"

"KEJAR SINI KALO ABANG BISA, WLEE."

Sandyakala mengerjap pelan saat suara teriakan yang saling bersahutan itu terdengar sampai tidur nyenyaknya di hari libur yang indah ini terganggu.

Suara kikikan yang masuk ke dalam indera pendengarannya membuat Sandyakala menolehkan kepala dan menemukan Cakrawala yang tengah bersandar pada kepala tempat tidur dan tertawa kecil sembari melihat ponselnya disana.

Oh, Sandyakala baru ingat kalau semalam, mereka berempat tidur bersama di kamarnya.

"Mas, Abang sama Adek kenapa?"

Mendengar adiknya bersuara, Cakrawala tolehkan kepala dengan senyuman yang ditampilkannya. "Kakak udah bangun?"

Si tengah anggukan kepalanya sebagai jawaban. "Abang sama Adek kenapa?" Tanyanya lagi saat Cakrawala ngga menjawab pertanyaannya yang pertama.

"Adek gangguin Abang pas lagi tidur tadi."

"Mas video-in?"

"Iya, abisnya lucu juga haha."

Sandyakala ikut tertawa mendengarnya. Kakak sulung dan adik kembarnya itu memang selalu saja bertengkar seperti itu sampai dulu, Mama menjuluki keduanya dengan sebutan Tom and Jerry versi keluarga Galaksi.

"Ngomong-ngomong," Cakrawala kembali bersuara, membuat adiknya yang baru saja menarik selimut dan menutupkan mata, langsung menoleh kepadanya. "Kakak hebat banget karena ngga melukai diri sendiri lagi disaat Kakak menghadapi hari sesulit kemarin."

Sandyakala tersenyum dibalik wajah redupnya. Dia masih cukup bisa mengontrol diri buat ngga melukis di pergelangan tangannya lagi disaat dia sudah berjanji pada Cakrawala dan Senja sudah tau semuanya.

"Kakak udah janji sama Mas, kan?" Jawabannya. "Selain itu, Kakak ngga mau memberi contoh yang buruk buat Adek dan merepotkan Abang lagi."

"Kak," Cakrawala tarik tubuh adiknya buat didekap erat. "Kakak ngga pernah merepotkan Mas, Abang sama Adek," Matanya terpejam, namun tangannya ngga tinggal diam buat memberikan usapan pada punggung ringkih adik tersayangnya. "Tapi tolong, tangannya, jangan dilukai lagi, ya? Sayangi diri Kakak sendiri dengan cara ngga membuat luka lagi. Kasian, daksa yang seharusnya diberi apresiasi, malah dilukai. Jangan diulangi, ya? Tempo hari, cukup menjadi yang terakhir kali, buat kedepannya harus lebih disayangi."

Sandyakala meringis pelan. Kakaknya benar, tubuhnya yang sudah berusaha keras ngga pantas buat mendapatkan luka hanya karena keegoisannya yang menginginkan kepuasan hati saat sebuah cutter mengiris kulit.

"Maaf," Anak itu membalas pelukan kakaknya, meremas pakaian yang dikenakan Cakrawala, menahan gejolak rasa bersalah yang hinggap pada relung hatinya sendiri.

"Kakak —

"MAS TOLONGIN ADEK!!"

Brak

"Ih, kok pelukan ngga ngajak-ngajak, sih?!" Si bungsu menghentakkan kakinya dengan bibir yang dimajukan saat baru selangkah dia memasuki kamar, tapi netranya sudah melihat kalau kedua kakaknya saling memeluk satu sama lain. Bahkan, Sandyakala tampak ngga terganggu sama sekali dengan kehadirannya yang terkesan bar-bar itu, sedangkan Cakrawala hanya menaikkan sebelah alisnya tanpa mau melepaskan lilitan tangannya pada kakak kembar dari Senja.

"Ikutan pokoknya!"

Lalu, tanpa menunggu persetujuan dari dua orang yang bersangkutan, Senja segera menaiki tempat tidur dan menjatuhkan diri disamping kembarannya.

"Jahat," Omelnya, mengulurkan tangan buat ikut memeluk kedua kakaknya disana.

"ADEK — Dih," Angkasa mendengus melihat pemandangan didepannya. Dia sangat ingin menjewer telinga Senja sebab sudah mengganggu tidur nyenyaknya, tapi mana bisa dia melakukan hal itu disaat ketiga saudaranya tengah memeluk satu sama lainnya.

"Mas, ada Abang huhu," Senja mengadu, mengeratkan pelukannya, membuat Sandyakala yang berada ditengah-tengah kedua saudaranya merasa kalau pasokan oksigen sekitarnya terasa menipis.

"Bang," si tengah memanggil, mengisyaratkan kalau Angkasa ngga boleh mengganggu Senja lagi.

"Iya, iya," si sulung pasrah. Dia berjalan mendekat pada ketiga adiknya, menjatuhkan diri disamping Senja yang sudah menjerit dalam hatinya dan mengulurkan tangan buat memeluk tiga orang yang sangat amat dia sayangi itu.

"Abang, Adek," Sandyakala memanggil, menginterupsi kedua saudaranya.

"Kenapa, Kak?"

"Kakak ngga bisa napas."

***

"Tumben banget mainnya di depan rumah?"

Senja hentikan tendangan kakinya pada bola. Suara Angkasa barusan menginterupsi kegiatannya, ditambah dengan baju yang cukup rapi dan Cakrawala yang mengekor dibelakang kembarannya membuat si bungsu memicingkan mata.

"Abang sama Mas mau kemana? Kok pergi ngga ngajak-ngajak, sih?"

"Jalan-jalan lah, yakali lagi libur sekolah malah diem di rumah aja," Angkasa menggoda, menaikturunkan sebelah alisnya pada Senja yang wajahnya sudah kesal sempurna.

"Ih!"

"Mau ambil baju basket punya Abang yang dipinjem sama kak Apri, Adek," Cakrawala menjelaskan, sedangkan Angkasa sudah masuk ke dalam garasi buat mengambil mobilnya.

"Mas ikut?"

"Sekalian mau beli alat lukis buat Kakak."

Itu sindiran, dan Sandyakala ngga terlalu bodoh buat mengartikan.

"Mau chatime."

"Ngga!" Angkasa yang baru membuka pintu mobil bersuara.

"Mas, mau chatime," Lalu, membujuk Cakrawala adalah senjata utamanya.

"Iya, nanti dibeliin."

"Yess!"

Setelahnya, si kembar pertama menghilang dibalik gerbang tinggi kediaman Galaksi, meninggalkan kedua adiknya yang tengah asik bermain bola di sore hari yang cerah ini.

"Kakak jangan halangin Adek!"

"Kamu udah cetak dua gol, sekarang ngalah sama Kakak!"

"Satu gol lagi, baru Adek ngalah."

"Ngga! Awas dih!"

Keduanya — Sandyakala dan Senja — tengah menarik baju satu sama lain sebab berebut untuk memasukkan bola ke gawang lawan.

Si tengah yang belum mencetak satu gol pun, jelas ngga mau mengalah pada adiknya, sedangkan Senja masih mau mengalahkan Kakaknya dengan telak.

"Ming —

Duk

— Adek!"

Sandyakala ngga lagi pedulikan bola yang kini berada didekat kakinya. Fokusnya hanya pada Senja yang terjatuh karena dorongannya terlalu kuat sampai kaki anak itu terluka, mengeluarkan darah yang membuat Sandyakala ketakutan luar biasa.

"Adek... Darah..." Tubuh kecil itu bergetar samar, matanya mulai berkaca-kaca dengan jantung yang berpacu dengan tempo cepat luar biasa.

Sandyakala tentu sudah ngga asing dengan yang namanya darah sebab dia sendiri selalu melukai dirinya sampai rembesan darah keluar pada tiap celah kulitnya. Namun kali ini berbeda. Senja yang terluka, dan itu karena ulahnya.

"Kak, Adek ngga papa. Ini ngga sakit, kok," Senja yang tahu kalau Kakaknya ketakutan luar biasa, mencoba menenangkan.

"Adek, maaf, Kakak ngga sengaja..."

"Iya Adek tau. Kakak ngga mungkin ngelukain Adek dengan sengaja."

Melihat kalau Kakaknya tidak merespon, Senja segera berdiri, memegang tangan kembarannya meski lututnya lumayan sakit buat diluruskan seperti ini.

"Ayo masuk."

"Adek —

— Adek ngga papa, oke?" Tenang di bungsu sembari menuntun tubuh ringkih itu buat masuk ke dalam

"Semesta, bagaimana mungkin Sandyakala bisa memberikan luka pada Senja walau ngga disengaja? Ngga cukupkah Mama saja yang menjadi korban dari kesialannya?  Semesta, Sandyakala takut, takut kalau Papa akan semakin jauh kalau tahu bahwa putra kesayangannya dilukai oleh anak yang dibencinya."

Galaksi✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang