"Sekarang adek ngerti."
Angkasa berhenti tepat di belakang pintu. Alisnya menukik bingung saat adik bungsunya berkata begitu. "Ngerti apa?" Tanyanya pada si bungsu yang tengah menatap kosong ke arah jendela kamar mereka.
Senja tolehkan kepalanya, matanya menatap tepat pada kakak sulungnya. "Adek ngerti kenapa setahun lalu kakak minta tukeran kamar sama Abang dan mas," senyum getirnya tercipta. "Pasti karena ini kan, Bang?"
Rasanya, mengelak pun percuma sebab sekarang, Senja sudah tau semuanya. Jadi, yang dilakukan Angkasa hanyalah berjalan menuju meja belajarnya dan mulai membuka buku untuk mengerjakan tugas sekolah yang harus dikumpulkan esok hari.
"Abang, kenapa cuma adek yang ngga tau masalah ini?"
Kalau boleh jujur, Angkasa ngga mau menjawab pertanyaan Senja, tapi dia tau bahwa adik bungsunya itu ngga akan pernah berhenti bertanya sebelum dia memberikan jawabannya.
"Bang."
Angkasa menyerah. Tubuh letihnya disandarkan pada kepala kursi dengan tangan yang menutupi kedua matanya sendiri. Rasa-rasanya, dalam satu hari ini, banyak sekali hal yang harus dia hadapi, tubuhnya letih, tetapi, sebagai anak sulung dalam keluarga Galaksi, Angkasa harus selalu ada setiap kali ketiga adiknya butuh, kan?
"Kakak ngga mau kamu tau, Adek."
"Tapi kenapa? Kenapa cuma Adek?"
Pertanyaan Senja ini, membuat pikirannya melayang pada kejadian setahun yang lalu dimana dia dan Cakrawala ngga sengaja melihat Sandyakala yang tengah melukai dirinya sendiri.
Angkasa yakin, kalau saat itu mereka berdua ngga memergoki Sandyakala, pasti anak itu akan terus menyembunyikan hal ini dari kedua kakaknya.
"Kakak ngga mau kamu melihat dirinya yang lain."
Jawaban itu, tentu saja membuat otak Senja berpikir keras. Ngga mau melihat dirinya yang lain? Apa maksudnya?
Tetapi, belum juga si bungsu bertanya, Angkasa sudah lebih dulu menegakkan tubuhnya, memutar kursi hingga kini kedua kakak beradik itu berhadapan.
"Adek, sebenernya, kamu ngga perlu tau tentang hal ini. Yang perlu kamu tau cuma satu, kalau Kakak sayang banget sama kamu, dan kamu sebagai adik, harus selalu ada di samping Kakak buat melindungi dia saat Abang dan Mas nggak ada, ya?"
***
"Kak."
Sandyakala hampir terjungkal dari tempatnya duduk saat tiba-tiba saja Senja muncul di atas rooftop sekolah tempatnya biasa membolos saat jam upacara berlangsung.
"Adek...?" Yang lebih tua menggumam. Suaranya amat sangat pelan lantaran rasa canggung menyelimuti sebab mereka berdua belum pernah bertemu lagi setelah kejadian minggu lalu. Sandyakala ngga diperbolehkan sekolah oleh kedua kakaknya lantaran luka yang ada di tangan anak itu belum sembuh, juga, dan lagi, Sandyakala sendiri masih belum mempunyai muka untuk berhadapan dengan adiknya.
Angkasa benar. Sebagai seorang kakak, Sandyakala harus memberi contoh yang baik buat Senja, bukannya memperlihatkan sesuatu yang buruk yang berhasil membuat adiknya menangis histeris. Sandyakala... Merasa gagal menjadi seorang kakak yang baik buat Senja.
"Abang sama Mas ngga bolehin Adek ketemu Kakak seminggu belakangan, padahal Adek pengen tau keadaan Kakak," anak itu bercerita, gurat wajahnya nampak kesal dengan bibir yang sedikit dimajukan.
"Adek, udah mau up —
— Kakak udah sembuh, kan? Tangan Kakak udah ngga sakit lagi, kan?"
"Adek."
"Adek ngga mau ikut upacara!"
Nada tinggi yang dikeluarkan adiknya membuat Sandyakala tersentak. Sebelumnya, belum pernah sekalipun adiknya meninggikan suara saat berbicara dengannya atau dengan Cakrawala, tapi kali ini senja melakukannya. Berteriak nyaring dihadapan kakak kembarnya hanya karena menolak buat mengikuti upacara bendera yang biasa dilakukannya.
"Maaf," si bungsu menunduk, merasa bersalah sebab membuat sang kakak kaget dengan suara tingginya.
Mendengarnya, Sandyakala beranikan diri buat mendekati Senja. Kedua pundak anak itu ditepuk pelan oleh sang kakak dengan senyum manis yang baru saja terbit di bibirnya.
"Jangan jadi murid bandel kayak Kakak. Jangan jadi orang yang ngga disiplin kayak Kakak. Jangan berbuat sesuatu yang bisa membuat Papa kecewa seperti apa yang Kakak lakukan," napasnya ditarik dalam, Sandyakala semakin menarik lengkungan bibirnya ke atas, membentuk senyuman indah yang sudah seminggu ngga Senja lihat. "Kamu harus buat Papa bangga." Lantas, setetes air mata turun membasahi pipinya yang langsung Sandyakala hapus kasar menggunakan tangannya.
"Kak —
Sandyakala menggeleng. Buat yang terakhir kalinya, pundak sang adik di tepuk sebelum akhirnya berbalik badan dan berjalan menuju ujung rooftop buat melakukan penghormatan pada bendera kebangsaan yang sedang dinaikan oleh petugas upacara.
Di belakang sana, Senja mengeluarkan air matanya dengan deras. Dia baru sadar kalau kakak kembarnya serapuh ini. Punggung kokoh yang kini bergetar hebat itu menanggung banyak sekali beban, namun dia ngga pernah sekalipun menawarkan pundaknya buat kakaknya bersandar sejenak. Wajah tampan yang kini memerah itu selalu menyembunyikan banyak luka dibalik senyum indah yang selalu menjadi favoritnya. Senja ngga pernah tau penderitaan kakaknya. Selama ini, dia pikir Sandyakala hidup bahagia, tapi ternyata ngga.
"Kak," kakinya melangkah maju. "Maaf," isakanya mulai terdengar. "Adek sayang sama Kakak," tapi, ngga ada jawaban dari orang yang berdiri di depannya.
"Kak, pasti berat ya lalui ini semua sendirian? Adek mohon sama Kakak, tolong, mulai sekarang bagi lukanya, ya? Adek ngga mau Kakak berjalan sendirian, Adek ngga suka kalau Kakak menyembunyikan luka cuma buat diri sendiri. Kita kembar, dan kata Mama, Adek sama Kakak harus selalu ada saat satu sama lain membutuhkan."
Sandyakala mematung. Hatinya sesak luar biasa saat Senja mengutarakan kata itu dari mulutnya. Pertahanannya runtuh kala tangan kanannya terkepal sebab gejolak dalam dirinya.
Lalu, buat yang pertama kalinya, saudara kembar Senja ngga melakukan penghormatan pada bendera kebangsaan dan itu disebabkan hanya karena Senja seorang.
"Kak —
Kalimatnya ngga dilanjutkan sebab Sandyakala berbalik badan dan langsung menerjang tubuhnya dengan pelukan hangat yang sudah sangat Senja rindukan.
"Maafin Adek, tolong maafin Adek, Kak. Adek ngga tau masalah yang Kakak hadapi, Adek ngga tau seberapa berat beban yang Kakak tanggung, Adek juga ngga tau seberapa banyak air mata yang udah Kakak keluarkan di belakang Adek. Tapi, buat kedepannya, tolong jangan tutupi apa pun dari Adek, Kak. Ayo bagi masalah Kakak buat Adek," Senja usap punggung kokoh itu. Dia sama sekali ngga peduli kalau bajunya basah atau telinganya yang terasa penuh dengan alunan tangis kakaknya. Senja ngga mau peduli sebab yang mengisi pikirannya saat ini hanyalah rasa lega lantaran buat yang pertama kalinya, kakak kembarnya menumpahkan tangis dalam pelukannya.
"Kak, makasih udah selalu ada buat Adek. Makasih udah selalu jagain dan lindungin Adek. Mulai sekarang, Adek yang akan selalu jagain dan lindungin Kakak dari kejahatan semesta."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Galaksi✓
Teen Fiction"Perihal datang dan pergi, itu udah biasa terjadi. Tapi, khusus buat Abang, Mas sama Adek, tolong jangan pergi, karena Kakak cuma punya kalian sebagai pelipur hati," - Sandyakala. "Kenapa kita harus pergi disaat semesta juga tahu kalau Galaksi bersa...