GALAKSI 4

1K 144 7
                                    

Bagi Sandyakala, definisi bahagia itu sederhana, hanya dengan melihat senyuman Senja, hatinya sudah dilipahi banyak bunga.

"Kakak udah janji lho ya, nanti kita ke kantin bareng, sekalian sama Tari, Ian, Ares sama Gio!"

Bagi Sandyakala, Senja adalah salah satu dunianya, dia akan melakukan apa pun buat kebahagiaan adiknya.

"Iya, Adek," Sandyakala usak gemas rambut Senja, namun anak itu pun ngga melakukan protes sama sekali. Apa pun yang kakaknya lakukan, si bungsu akan selalu suka sebab dia sangat menyayangi kembarannya. Bahkan, kalaupun Sandyakala mencoret tugas sekolahnya seperti saat masih kecil pun, Senja ngga akan pernah bisa marah, lantaran dia ngga pernah suka saat sang kakak bersedih karenanya.

Mobil yang mengantarkan mereka menuju sekolah, berhenti tepat di depan gerbang yang terbuka lebar. Kedua kakak beradik itu turun setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih pada sang supir yang sudah mengantarkan mereka.

Senja tampilkan senyum manisnya, sebelum tangan miliknya dikaitkan pada tangan sang kakak yang lagi dan lagi mengundang reaksi diluar dugaan dari yang lebih tua.

Sandyakala terperanjat, dengan mata membulat. Lalu, dengan perlahan, tangan Senja disingkirkan, nggak lupa senyuman yang ditampilkan.

"Adek, tolong jangan dipegang, karena buat sekarang, kakak cuma takut tumbang dan berakhir menyusahkan orang."

Penuturan si tengah itu, mengundang kerutan bingung pada dahi sang adik. Namun, Sandyakala langsung menggelengkan kepalanya biar Senja ngga semakin curiga padannya.

"Biar Kakak aja yang genggam tangan kamu," lantas, jemari mungilnya bertaut dengan milik sang adik, sampai mengundang senyuman yang amat lebar dari celah bibir si bungsu dan tanpa melakukan protestan apa pun, anak itu hanya menurut, berjalan dengan langkah riang memasuki area sekolahan.

Pagi itu, semuanya indah, terlepas dari sindiran Papa tentang laporan guru bahwa dia berulah di sekolah, Sandyakala merasa senang. Buat sekarang, dia cuma harus bertahan. Bertahan buat memastikan kalau adiknya akan selalu bahagia.

"Manja!"

"Aduh."

Si tengah melotot horor. Pukulan yang mengenai kepala adiknya, tentu ngga akan dia biarkan begitu saja tanpa pembalasan. Siapapun yang menyakiti Senja, harus berurusan dengannya.

"Ari!"

Mentari Bimantara cuma bisa tersenyum takut dan menyembunyikan diri dibelakang tubuh besar milik Ardiansyah guna mencari perlindungan. Sungguhan, Sandyakala dalam mode melindungi Senja, ngga akan pernah baik buat keselamatannya.

"Bercanda doang San, serius."

Baru saja Senja akan memanas-manasi keadaan, sebelum akhirnya tangannya ditarik oleh Mentari guna menjauh dari amukan Sandyakala.

Si bungsu merengek, namun Ari seakan tuli. Keselamatannya jauh lebih penting dari rengekan manja milik Senja.

Ian yang melihat itu semua, cuma bisa menggelengkan kepala. Melihat Bimantara yang bertengkar dengan Senja, itu sudah biasa. Namun kurang Ares sebagai pengkapnya. Sayangnya, anak itu belum tiba di sekolah disaat matahari sudah semakin naik menuju singgasananya.

"Besok pemilihan ketua osis yang baru."

Sandyakala tolehkan kepalanya ke samping, tepat pada Ian yang hanya tersenyum lurus menatap lorong yang kini sedang mereka lewati buat sampai ke kelas.

"Gue ngga pernah menyesal, Yan," Si tengah dari Galaksi bersaudara menjawab, membuat Ian mengalihkan seluruh atensi padanya.

"Tapi kenapa? Waktu kelas tujuh, lo excited baget buat jadi bagian dari inti osis kaya Abang lo."

Galaksi✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang