10 - Anugrah Tuhan. [End]

55 6 0
                                    

Dua hari berlalu dari persalinan Karamel. Hari itu saya pikir langit akan runtuh atau hidup saya akan berakhir di situ. Namun rupanya tidak. Langit masih begitu tinggi dan cerah, burung-burung masih berkicau begitu nyaring. Angin masih berhembus, matahari pun masih menyembul.

Namun raga ini terlalu lelah. Setiap waktu berjalan yang saya minta adalah hukuman dari Tuhan, sekiranya Karamel tidak terkena imbas dari dosa saya.

Tapi tidak seharus nya begini...

Sisa-sisa hujan tadi malam masih ada. Tanah-tanah yang saya pijak juga masih basah. Tapi langit sudah terlalu cerah. Sementara langkah saya terlalu gontai.

Demi Tuhan, saya sudah tidak kuat lagi. Saya lelah. Saya mati rasa...

Saya merapatkan jas hitam yang saya kenakan ketika memasuki area rumah sakit. Suara rintihan, kesakitan, pilu, tangisan, dan suara berisik lainnya sesekali terdengar.

Saya benci dengan suara itu. Saya benci aroma alkohol atau ethanol. Dan saya lebih benci diri saya. Saya benci dunia ini.

Bayi itu, tidak kunjung saya beri nama. Saya terlalu bingung, nama spa yang pas? Nama apa yang pantas?

Kar, anak kita harus di beri nama apa? Aku bingung nih.

Kar, aku kangen lagi nih.

Sial, air mata saya mengalir begitu saja ketika melihat wajah tenang bayi itu tertidur dalam kotak kaca. Di sana, bersama bayi-bayi prematur lain nya.

Dari pembatas kaca ini, saya menempelkan tangan dan kening saya di sana. Entah saya harus sedih atau bahagia. Marah atau kecewa. Saya terlalu kalut.

Kar, aku harus apa?
Kekasih mu ini tersesat.
Karamel...

"Kar, aku nyerah aja ya. Anak kita bisa hidup bareng orang tua aku sebagai anak mereka. Nanti, suatu saat biar dia bangga punya Ibu dan Bapak seperti orang tua aku. Bukan seperti aku yang bejad. Karamel, aku mau nyusul kamu aja." Saya melirih, saya pikir setelah pemakaman Karamel kamarin luka-luka di hati saya akan hilang. Tapi nyatanya tidak, luka-luka itu berubah menjadi lebam besar yang jauh lebih sakit.

Saya memang meminta Tuhan untuk menghukum saya. Tapi apapun itu, asal jangan Karamel. Tapi kalau Tuhan mengambil Karamel, rasanya saya mati. Namun di paksa hidup.

"Janggan bego Ga." Tiba-tiba saja suara Hendri menyeruak, saya langsung menoleh. Dan di samping kiri saya, Hendri juga melihat ke arah bayi saya seraya tersenyum kecil. "Lo nekat nyusul Karamel pun gak tentu ketemu. Karamel mah santai di surga, lo baru sampai pintu depan udah di depak sama malaikat. Di seret ke neraka." Ia menyambung kalimatnya.

Saya tau itu sebuah lolucon dengan harap-harap saya akan ikut tertawa. Namun saya kehilangan tenaga, untuk barangkali tertawa singkat. Maka untuk mengakspresiasi nya, saya cukup teraenyum.

Yaaa... Saya terhibur.

"Yangga," panggil Hendri, membuat saya kembali menoleh pada nya.

"Lo pasti tau kan pribahasa 'hidup itu seumpama roda, tidak tetap dan akan terus berputar.' Kira-kira itu yang saat ini lo hadapi. Gua tau. Dan gua mengakui bahwa memaafkan orang lain akan lebih mudah ketimbang memaafkan diri sendiri. Tapi, apakah putaran hidup lo akan berhenti di sini? Engga. Semua masih berputar Ga. Jadi coba lah menerima segalanya. Jangan terus mengurung diri dalam penjara yang di namakan penyesalan." Ujar Hendri panjang lebar.

Saya terdiam sesaat. Pantas kah ssya keluar dari penjara penyesalan itu? Tuhan menitipkan anak itu sekiranya penyesalan saya bisa terus berputar. Iya kan?

"Gua sudah menerima semuanya dengan lapang, Hen. Tapi rasa-rasanya memaafkan diri gua sendiri, gua gak mampu. Gua selama ini kemana aja Hen? Kemana aja sampai gua gak tau apapun loh. Gua terjebak Hen. Terjebak di dalam penjara penyesalan yang kurun waktunya tak pernah usai. Dan gua menyerah. Gua terlalu lelah Hen." Saya kembali menangis, seolah menjadi orang paling menderita. Menjadi begitu pilu dan menyedihkan.

The day I fell in love with you | Liu Yangyang✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang