09 - Dia berjuang begitu keras

30 6 0
                                    

Ini agak lucu ketika saya merasa akhir-akhir ini saya menjadi aneh.

Tidak. Tidak sekedar akhir-akhir ini, namun setelah saya tinggal di ibu kota, saya menjadi jauh lebih aneh.

Kalau kata Rendy, saya menjadi begitu sensetif. Seprti sosok wanita yang kedatangan bulan. Kadang keinginan saya juga aneh.

Saya memang kurang suka dengan Rendy, tapi agak nya saya bersyukur sebab dia mau membantu saya selama ini.

Seperti ketika saya mau sate di pertengahan malam, namun saya begitu malas keluar. Dan selayaknya anak kecil saya merengek hingga merajuk ada Rendy. Saya juga minta di belikan jagung bakar yang notabe ny susah di cari. Atau kacang rebus. Bahkan sampai kelapa muda dengan gula aren. Dan itu sering terjadi di pertengaha malam.

Puncak paling aneh adalah bulan lalu, saya ingin sekali mie. Namun ketika di masakkan Rendy lalu saya mencium aroma mie yang khas, saya malah mendadak tidak selera. Tapi saya tetap mau mie. Akhirnya Rendy menyerah, dia malah meninggalkan saya dan memakan mie buatan nya sendirian. Dan ketika saya yang di dapur untuk memasak mie. Saya malah tidak memakai bumbu, melainkan hanya kecap.

"Kata pak Rama kita pulang besok pagi kan?"

Saya menoleh pada Rendy yang tetlihat begitu lelah, kemudian saya mengangguk. "Iyaa."

"Akhirnya pulang huwaaaaaa!!!" Kemudian ia berteriak begitu nyaring sambil menendang-nendang selimut di atas kasur nya.

"Padahal Jakarta enak. Lo kenapa kek gak suka gitu?" Tanya saya. Lalu ia bangkit, ia duduk bersimpuh di atas kasur sambil memeluk bantal nya.

"Enak sih enak Ga, cuma orang-orang nya ini loh, bukan lingkungan gua banget. Mungkin beberapa orang akan berkata, 'ya nama nya juga beda tempat, pasti beda orang. Lo nya aja harus pinter-pinter beradaptasi.' Bacot tau gak omongan gitu. Kalo beradaptasi sih ya gua bisa. Tapi gua paling paham dengan diri gua sendiri. Kalo gua gak nyaman sama lingkungan nya gimana gua bisa nyaman berada di sini. Mending balik deh gua." Ujar Rendy.

Kalimat nya mungkin terlalu biasa di telinga saya. Namun jauh pada lerung hati saya, saya merasa ada yang menamparnya dengan keras hingga lebam.

Saya tidak tau sisi diri saya yang mana hingga membuat saya seolah di hajar habis-habisan dengan kalimat Rendy.

Saya sadar, rupanya saya belum memahami diri saya dengan baik.

"Ga!"

"Yangga!"

"Woy Yangga! Hp lo bunyi!"

Saya terkesiap ketika secara tiba-tiba Rendy melemparkan bantal tepat pada wajah saya.

Tanpa banyak protes atau mengoceh--- sebab saya tau, bagaimana pun juga saya akan kalah, Rendy selalu berhasil menang dalam segala hal berdebat, saya langsung meraih handphone saya yang berada di atas nakas. Dan nama Hendri adalah nama yang tertera di layar itu.

"Hay anak-anak. Puas-puas malam ini ya! Besok kita pulang soal nya!"

Saya dan Rendy spontan menempelkan jari telunjuk pada bibir kami masing-masing. Dan Pak Rama tidak sebodoh itu untuk memahami kami, apalagi saya yang memegang handphone.

"Hen..."

Hingga tiga menit sambungan handphone saya dan Hendri terhubung lelaki itu tak kunjung bersuara. Malah yang saya dengar hanya sebuah derus yang terdengar kacau.

"Hen..." Sekali lagi, saya mencoba memanggil. Namun Hendri tidak juga menjawab. Saya bisa dengar di kota itu, tengah turun hujan dan Hendri terus bergumam tidak jelas karna suara nya teredam.

"Bajiingan lo."

Balik saya yang terdiam ketika mendengar Hendri mengumpat. Saya yakin dia menyumpahi saya.

The day I fell in love with you | Liu Yangyang✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang