Sudah lewat setahun. Rasanya masih menyakitkan setiap kali aku bertemu dengan Februari. Apalagi untuk membicarakan kejadian lalu dengan orang lain. Terlebih pagi ini aku selesai bicara dengan orang yang selalu tampak terhormat di mana pun beliau berpijak.
Ayah.
Penampilanku sore ini agak menyedihkan. Pangkal hidung memerah, coretan hitam tak beraturan mengotori bawah mata hingga pipi. Bekas maskara luntur yang terusap oleh jari biadapku. Bola mata merah nanar seperti habis ditetes alkohol.
Tangisku kacau sekali. Sambungan facetime masih terhubung dengan nama kontak nenek Sun. Suara lembutnya seakan mendesak air mataku terus jatuh.
"Aku akan ke Seoul dalam waktu dekat, mungkin Seokgyu mau mengantarku hanya sampai Bandara atau aku bisa meminta bantuan siapapun."
Tenggorokanku terasa penuh sampai aku sulit bicara. Berbagai celoteh berkumpul tidak karuan dalam benak dan pikiran. Lautan emosiku sedang terombang-ambing, tidak bisa kupilih satu di antaranya untuk menggambarkan kondisiku sekarang.
Tidak ada orang lain selain nenek Sun yang ada di kepalaku sebelum panggilan ini berlangsung. Pikiranku mendadak buntu. Dan aku merasa hanya nenek Sun yang akan ada untukku selain Seokgyu terkait hal yang menimpaku ini.
"Jalan pikiran ayahmu memang keras terkesan rasis, aku harus bicara dengannya ...." Tarikan nafas cepat memenuhi paru-paruku secara mendadak, cepat-cepat aku memotong.
"Jangan Nek, kumohon ... jangan ...." Lepasku dengan suara luar biasa sumbang.
"Kamu juga tidak bisa menuruti permintaan Ayahmu, kan?"
Aku meringis pedih mengingat ucapan Ayah. Agak lama aku tidak menjawab, berusaha menetralkan pikiran, mengusap kasar wajahku dengan tisu seolah melampiaskan emosi, "Mungkin ada saatnya aku tidak lagi di dunia entertain, entah aku berhenti atau dihentikan, dan akhirnya aku mulai mempraktikan ilmu kedokteran, tapi Nek, aku tidak bisa terima jika ayah terus menghinaku dengan pekerjaan Artis. 'Mengorbankan mental, pikiran, dan tenaga hanya untuk menjual diri dan nama' katanya," jedaku menahan tangis.
"Ayah menganggap aku yang salah pada kasus direktur Shin, karena aku seorang Artis yang dianggap biasa 'bermain' dengan Pengusaha, kalau begitu apa bedanya aku dengan beliau? Sama-sama bejat. Kalau beliau bisa bilang bahwa beliau tidak melakukan hal itu maka aku pun bisa bilang aku tidak melakukannya dan itu fakta! Aku bahkan tidak menerima sponsorship ... kenapa kalangan Artis dipukul sama rata?
"Beliau kan memiliki brand fashion besar, perlu orang-orang sepertiku yang membesarkan namanya dengan mempromosikan produknya, kenapa merendahkan kalangan yang akan membantu memperluas jaringan bisnisnya? Kenapa malah melarangku bukannya mendukung? Kita kan bisa menjadi satu kesatuan dan berkembang bersama. Itu sama saja beliau memandangku rendah kan, Nek?"
Akal sehatku sudah tidak terkontrol. Padahal aku sudah paham bahwa yang aku lakukan sekarang adalah salah. Membuat nenek khawatir, panik, sedih dan overthinking itu salah. Namun lihat apa yang aku lakukan? Aku tidak berhenti. Keegoisan telah mendominasi seluruh tubuhku. Lisanku sungguh kacau. Setiap kali mengorek masa lalu aku selalu dibanjiri air mata dan kehilangan kontrol.
"Seozee-ya ... berhenti menangis, Sayang, kamu mematahkan hatiku." Spontanitas gerak jemariku mendekap kencang mulutku. Menahan diri ketika tangisku hendak muncul lebih banyak. Miliaran kata maaf sudah menjejali ujung tenggorokanku.
Udara pagi berhembus santai seolah membantu meringankan kecamukku. Langit biru dengan hamparan awan putih turut serta mengindahkan suasana setiap orang yang melihatnya. Namun sayang sekali tidak berhasil untukku.
"Nek, a-aku akan sangat senang ..., " jedaku menghirup udara semaksimal mungkin untuk asupan paru-paruku, "kalau nenek menganggapku sebagai radio, aku senang Nenek menjadi pendengar setiaku sampai saatnya radio itu rusak, aku mohon ... jangan lakukan apapun, seperti ini sudah cukup, Nek. Maaf aku jadi seperti ini." Tatapanku melembut pada rerumputan di bawah sepatuku, menerawang jauh sampai perasaan nenek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Wreck
FanficHidup Kim Zee tidak cukup hanya menjadi anak konglomerat dan lulusan kedokteran dari salah satu Universitas terbaik di Amerika. Rasanya percuma kalau impiannya hanya sebatas mimpi. Ketika semesta mengizinkan untuk mewujudkan, justru orang tuanya se...