Bab 11

405 62 24
                                    

Tak terkira betapa riangnya perasaan Hinata kala pendengarannya menangkap setiap untaian kalimat yang terangkai indah dari mulut si pemuda pirang. Gadis manis itu seakan tidak bisa berkata lagi saking bahagianya lantaran mengetahui jika cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Rasanya ada beribu rama-rama yang menari di dalam perutnya hingga membuat Hinata merasa geli sehingga senyuman bahagia sarat akan keharuan terpapar jelas di paras ayu nya. Senang, haru, dan ragu, ketiga rasa itu bersemayam menjadi satu padu di relung hatinya. Dia sangat senang sekaligus terharu karena Naru menerima perasaannya bahkan lelaki itu juga mengajaknya untuk menjalin hubungan kasih. Hal yang begitu diinginkannya akhirnya terwujud jua.

Namun, Hinata masih ragu akan ucapan Naruto barusan ketika ingatannya memutar kembali insiden yang terjadi di resto. Memori pahit itu tak akan pernah terlupakan dari benaknya, dimana di saat itu dirinya memperoleh penolakan kasar dari lelaki itu kala dirinya menyatakan perasaan cintanya. Sangat sulit baginya menanggapi semua ini hingga hanya liquid bening lah yang menjawab.

Manik keunguan nya yang sedari tadi berkaca-kaca akhirnya luruh juga, embun asin itu begitu saja mengalir dari pelupuk matanya tanpa bisa dia cegah. Gadis itu menangis dalam diam, Naruto yang melihat hal itu tentu saja panik. Dengan spontan tangannya merengkuh Hinata dalam pelukan hangat sembari mulutnya yang tidak hentinya bertanya akan penyebab mengapa gadis manis itu meneteskan air mata.

" Hinata, hei... Kenapa menangis, hm? Apa aku salah berucap sehingga ada perkataanku yang melukai hatimu? Jika iya, maka maafkan aku. Aku sadar akan penolakan kasar yang pernah aku lakukan terhadapmu. Jujur saja Hinata saat itu aku begitu kalut sehingga hal itu terlampias begitu saja padamu. Tapi, setelah lama kurenungi ternyata aku tidak bisa membohongi perasaan ku bahwa aku juga mencintaimu. Kuakui keakraban diantara kita memang terkesan singkat tapi jujur, saat bersamamu aku merasa begitu nyaman. Aku tidak tahu kenapa tapi yang jelas perasaan ini tumbuh begitu saja. Walau sekeras apapun aku menyangkalnya, hal itu tetap tidak bisa dipungkiri jika aku juga jatuh cinta padamu Hinata. Tapi aku cukup sadar diri akan kondisiku, jadi kurasa gadis sempurna sepertimu tidak pantas berdampingan dengan pria penyakitan sepertiku. Anggap saja apa yang barusan ku katakan tidak pernah terucap dari mulutku. Aku memang mencintaimu Hinata dan juga ingin kau menjadi kekasihku. Tapi kau pantas untuk mendapatkan pria yang lebih baik dari diriku ini. Aku tahu semua ini akan terasa sulit, karena itu aku akan memutuskan kembali ke Amerika agar kita berdua bisa saling melupakan perasaan cinta kita. Mencintai bukan berarti harus memi..."

Setelah sekian panjangnya kalimat yang terangkai indah dari mulutnya akhirnya perkataan Naru terhenti jua saat Hinata menyentak kasar hingga pelukan mereka langsung terlepas.

"Hiks...k-kau hanya mementingkan ideologi mu saja! Kau tidak pernah memikirkan perasaanku. Sudah berapa kali aku bilang bahwa aku mencintaimu! Aku tidak peduli hikss... dengan kekurangamu, aku menerimamu apa adanya. Kenapa kau tidak mengerti juga hikss.. cintaku ini tulus Naruto, bagaimana hikss.. caranya agar kau percaya padaku? Mengapa kau begitu jahat Naru?! Kau mengakui kalau kau juga hikss.. mencintaiku, bahkan beberapa menit yang lalu kau memintaku menjadi kekasihmu. Lantas sekarang dengan begitu mudahnya dirimu mengatakan bahwa kau akan pergi dan menyuruhku untuk melupakan semua perasaan ini. Itu tidak mudah Naru! I-itu sangat sulit...Hikss.. kumohon Naru tetaplah disini. Jangan kembali ke Amerika karena aku sungguh mencintaimu aku menyayangimu Naruto. Kumohon..hikss, jangan pergi.." wajah susunya memerah karena menangis, suara Hinata terdengar begitu pilu sehingga membuat batin pemuda pirang itu terenyuh.

Naru merasa ada ribuan tangan tak kasat mata yang meremas dadanya, pemuda itu marah pada dirinya sendiri karena untuk yang kedua kalinya dirinya kembali membuat gadis itu meneteskan air mata. Dirinya juga merutuki nasib mirisnya ini, hingga ingin rasanya ia melampiaskan semua kemarahan yang terpendam di hati, namun ia sadar tidak ada yang bisa disalahkan karena semua ini adalah garis takdir yang tidak bisa dihindari. Pemuda itu di memejamkan erat matanya guna menahan cairan asin yang hendak keluar dari sepasang kelereng biru miliknya. Perlahan tapi pasti kelopak mata sewarna madu itu kembali terbuka memperlihatkan netra samudra yang dihiasi liquid bening di sudut matanya. Tangannya menghapus kasar cairan bening itu lalu bergantian menyeka air mata gadis cantik disisinya itu.

Pseudo Happiness [On-going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang