Bab 8

411 71 31
                                    


Hembusan pawana terasa
sejuk menerpa kulit, walau berlapis Hoodie hal itu tidak bisa disangkal. Suasana jalanan terlihat sepi, lantaran senja yang menyapa, hingga membuat anak manusia untuk kembali ke griya. Bias jingga di ujung cakrawala terukir indah dalam remang, lembayung menata warna di garis lurus sang surya senja. Perlahan hadir semilir sang bayu
menghempaskan daun satu persatu, bertebaran menghiasi langit biru berjatuhan ke segala penjuru. Andai kata dapat berucap ingin rasa mengatakan, jika sepi menemani membuat logika terasa luas. Ada kala penolakan membuat insan berhenti harap, tapi jika diri yang menolak maka insan lain yang tersiksa. Tanpa tahu dimana titik dia berada, hanya naluri lah petunjuk jalan. Kakinya mengikuti kemana arah angin membawanya. Sejak insiden resto membuat Naru terlihat hampa, safir yang biasa menatap teduh telah menjelma menjadi tatapan kosong. Dia merasa dikhianati, beragam rasa bersemayam di hati nya, antara ; sakit, lelah, kecewa, marah, dan juga sedih semua menjadi padu.

Merasa lelah melanjutkan langkah, kakinya berhenti di rerumputan taman. Suasana taman telelap sunyi, karena kehadiran anak manusia yang tak kentara. Naru merebahkan dirinya di rerumputan dengan kepala beralaskan tangan. Kelopak matanya terpejam menikmati semilir angin sang sandhya. Sang bayu dengan nakal nya menjatuhkan daun pohon maple yang telah ranggas.
Selembar daun maple mendarat dengan indahnya di kening pemuda pirang, sehingga membuat kelopak matanya terbuka seketika. Tangannya terulur untuk mengambil daun yang bertengger manis di keningnya, lalu menatap daun itu dengan tatapan yang kentara kagum.

"Betapa beruntungnya daun ini, keberadaan nya yang begitu ringan, hingga membuatnya mudah terombang-ambing kesana-kemari. Hidup tanpa beban, hanya mengikuti arah angin yang membawanya. Aku ingin hidupku seperti daun maple ini. Bebas dan melayang ke manapun takdir membawa. Ya tuhan, aku sudah pasrah akan takdir yang kau tetapkan padaku. Bahkan jika kau mengambil nyawaku sekarang juga aku tidak keberatan. Tapi, kenapa di kondisi ku yang seperti ini malah ada seorang gadis yang mencintaiku? Apakah ini juga bagian dari ujian mu yang lain? kau ingin mengujiku lagi, dengan melihat seberapa kuat sisi sabar yang aku punya. Ku mohon.. jauhkanlah Hinata dariku. Dia gadis yang sempurna, tidak pantas baginya berdampingan dengan pria penyakitan seperti ku. Andai saja aku tahu dari awal kalau dia memiliki perasaan padaku, mungkin akan kupasang dinding tak kasat mata diantara kami. Ini semua karena aku lalai, hingga Hinata masuk dalam takdirku yang kejam ini. Hinata ku harap kau tidak akan menjadi gadis bodoh yang patah hati hanya karena perasaan mu ditolak oleh pria berpenyakitan sepertiku. Mulai kedepannya semua tidak akan sama lagi Hinata, lantaran akan ada tembok besar yang akan memisahkan kita." Setiap kalimat terungkai begitu ringan dibibirnya, walau begitu hatinya sangat sakit mengingat penolakan kasar yang dia lontarkan pada gadis yang telah mengungkapkan perasaannya dengan tulus. Namun, Naru tidak
berdaya untuk berkata sehingga tindakan lah yang mengambil alih. Jika boleh jujur, Naru juga merasakan getaran yang amat nyaman saat dekat dengan Hinata. Rasanya sulit diungkapkan, berpikir itu rasa cinta, maka itu terdengar agak aneh untuk diutarakan, lantaran keduanya masih baru dalam hal mengenal satu sama lain. Merasa letih akan semua kejadian yang terjadi safir nya tertutup dengan perlahan karena kantuk yang menyambangi.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pseudo Happiness [On-going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang