003 - FAJRI

314 71 11
                                    

Fajri membuka matanya perlahan. Cahaya lampu menyambut kedua bola mata Fajri. Refleks, Fajri menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Tak selang berapa lama, Fajri bangkit dari posisi tidurnya. Fajri mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Ruangan kecil yang tidak terawat. Dinding kotor yang dipenuhi coretan. Tatapan Fajri terhenti ketika melihat enam foto polaroid yang tergantung di dinding. Fajri turun dari brankar dan berjalan mendekati kumpulan polaroid tersebut.

"Tangan merupakan jalan keluar pertama." Fajri membaca sebuah tulisan yang ada pada foto pertama. "Tangan?" Fajri menatap kedua telapak tangannya.

Fajri beralih kepada foto yang lain dan mulai membaca tulisan di bawahnya satu per satu.

"001 Zweitson? 002 Gilang? Siapa?" Fajri mengerutkan dahinya heran. "Kyknya gue harus bawa semua foto ini." Dengan cepat, Fajri menarik satu per satu foto yang tergantung di dinding.

Fajri berjalan pelan keluar ruangan sembari memperhatikan satu per satu polaroid dalam genggamannya. Ketika melewati sebuah plastik besar, Fajri menatap kaget brankar yang tersusun rapi dalam ruangan tersebut.

"Tangan merupakan jalan keluar pertama." Fajri membaca kembali penjelasan dalam foto pertama. "Oke, gue harus periksa yang ada dalam selimut ini."

Fajri mulai melangkahkan kakinya menuju brankar di depannya. Tanpa basa-basi, Fajri menarik selimut yang menutupi brankar tersebut dan membuangnya ke sembarang arah.

"Manekin? Buat apa?" Pandangan Fajri langsung tertuju pada tangan manekin yang memegang secarik kertas kecil. "003?" Fajri mengambil kertas tersebut dan langsung menyandingkannya dengan dua polaroid yang dia bawa. "001 Zweitson, 002 Gilang, 003 Fajri." Ucap Fajri pelan.

Fajri menggenggam kertas kecil tadi dan langsung berjalan menuju brankar di sebelahnya.

"ARGHHH..."

Baru saja Fajri akan menarik ujung selimut tersebut, seorang laki-laki di atas brankar berteriak dan menggeliat kesakitan. Fajri mundur beberapa langkah karena terkejut.

"Kuncinya." Mata Fajri langsung tertuju pada kunci yang digenggam oleh laki-laki tersebut. "Makasih, kak." Fajri langsung mengambil kunci dalam tangan laki-laki -yang terasa cukup dingin, tanpa menunggunya berhenti kesakitan. "Semoga kakak baik-baik aja ya." Fajri berlari kecil menuju pintu -yang terkunci oleh rantai besi dan gembok setelah menepuk pelan tangan laki-laki tersebut.

Setelah pintu terbuka, Fajri langsung berlari menuruni tangga. Di lantai bawah, Fajri masuk ke dalam ruangan yang berada tepat di depan tangga. Sebuah ruangan yang memiliki cermin besar, sofa tua, dan dua lemari besi.

"Jangan membuka lemari tanpa rantai." Fajri membaca penjelasan pada foto kedua yang dia genggam.

Fajri kembali menatap dua lemari yang berada pada sisi ruangan dan melangkahkan kakinya perlahan. Fajri menatap lemari yang terkunci oleh gembok dan rantai besi.

"Satu, dua, tiga..." Fajri menghitung jumlah gembok yang menutupi lemari besi di hadapannya. "...tujuh, delapan." Fajri menghentikan hitungannya. "Gue harus cari empat kombinasi buat masing-masing dari delapan gembok ini?" Fajri memegang salah satu gembok yang berisi tiga kombinasi angka dan satu kombinasi huruf untuk membukanya.

Fajri kembali membaca enam foto polaroid dalam genggamannya.

"Ck. Gue harus cari di mana coba?" Fajri mendengus kesal.

Fajri melangkahkan kakinya keluar ruangan. Di ambang pintu, Fajri menoleh ke arah kanan dan kirinya.

"Ruangan di ujung lorong adalah privasi sang dokter." Fajri membaca penjelasan pada foto ketiga dalam genggamannya.

CLON1NG || UN1TY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang