For Giving Me Space

73 8 0
                                    

Aku memasuki kamar Bima keesokkan harinya dan menemukan Ian tertidur di
samping keponakkannya.

“Hey, Yan, pindah ke kamar kita deh, gue gantian yang jagain Bima.”

“Gue di sini aja, Ndah, males juga mau jalan.”

“Okay.”

Pukul 10 siang, Ian baru bangun tidur dan menemukan kamarnya sudah berisik
dengan suara Bima dan dua keponakkannya yang lain bermain bersamaku.

“Selamat siang, Om Kebo.”

“Kamu ngajarin apaan, Ndah?”

“Nggak ada yang ngajarin, Yan,” jawabku sambil tertawa bersama
keponakkannya. “Ayo kita keluar, Tante ajak ke swalayan depan, kita beli ice cream. Jalan, ya, nggak naik mobil.”

“Okay, Tante,” jawab mereka serempak.

“Mandi, ya, Yan, nanti malam diajak makan di luar sama Mama sama kakak-kakak.”

~

“Kamu kapan program hamil, Ndah?” Mama Ian menanyakan hal tersebut saat kami sama-sama duduk di kursi belakang, tentu saja dengan lenganku yang diusap perlahan olehnya.

Ian yang duduk di bangku kemudi yang menyahuti Mamanya, “Kita masih sama-sama sibuk, Ma, aku masih ada 10 konser lagi, Indah masih ada 3 film sampai tahun depan. Kan cucu mama sudah banyak.”

“Dari kalian yang belum ada,” jawab Mama Ian langsung.

“Sudah, Ma, biarkan mereka kerja dulu, Mama urus cucu tiga aja kewalahan, ini
mau nambah lagi dari mereka,” keluh Papa Ian.

“Nanti kalau program hamil, kamu jangan ambil tawaran film atau apa gitu, ya,
nak, kalau nyanyi-nyanyi gitu nggak papa, kan bisa sambil diawasin Ian.”

“Meskipun sama-sama nyanyi, tapi kan jarang satu acara, Ma,” sahut Ian dari depan.

Sepanjang jalan, Ian memperhatikanku terus-menerus dari rearview. Ketika sampai di parkiran sebuah mall, Ian meminta orangtuanya masuk terlebih dulu ke dalam mall. Saat aku turun dari mobil, Ian mencoba menahan langkahku yang akan berjalan masuk ke dalam mall.

“Maaf, ya, Ndah. Mama kalau ngomong seenaknya sendiri.”

It’s okay, Yan. Gue juga sudah mengantisipasi dari semenjak kita satu mobil tadi. Kita lanjut bicara di rumah ya nanti.”

Setelah mengucapkan itu, aku berjalan perlahan memasuki mall. Di dalam tempat makan pun, aku hanya menjawab seadanya saat diajak ngobrol sambil tetap
tersenyum tipis di sana-sini. Ketika Bima mulai menempel ke aku, Ian dengan sigap
menahannya. Ian sepertinya tahu aku menahan tangis sejak Mama Ian mulai membahas terang-terangan tentang program hamil dengan kakak-kakaknya. Karena Bima memaksa minta dibelikan mainan, Ian terpaksa meninggalkanku sendiri dengan suara-suara yang sudah aku hilangkan sejak obrolan mengarah ke arah cucu dan sejenisnya.

Aku sadar benar bahwa kemampuan aktingku di situasi ini bisa aku manfaatkan. Aku bisa saja pura-pura PMS, tapi itu sudah lewat seminggu lalu. Aku juga bisa pura-pura mengikuti Ian yang mengantar Bima beli mainan, tapi tenagaku sudah tidak ada untuk itu.

Papa Ian yang sedari tadi menyanggah apapun usul istrinya, sekarang sudah malas menyahuti, karena sifat tidak mau kalah istrinya itu. Mengabaikan rentetan ucapan istrinya yang tidak kunjung selesai mengenai keinginannya menambah cucu dariku dan Ian, Papa Ian kemudian menggeser gelas minuman dingin--apapun itu rasanya--padaku. Aku mengucapkan terima kasih singkat padanya.

“Ma, kita balik dulu, ya, tadi Ian dikabari kantor, katanya ada meeting mendadak,
buat konser,” pamit Ian langsung, sekembalinya dari mengantar Bima membeli mainan. Aku menatapnya dengan pandangan bertanya. Menolak menatapku, Ian hanya meletakkan telapak tangannya di punggungku. Oh this is final then, we go home.

“Bawa mobil Papa aja, Yan. Mobil kamu bisa Papa antar besok,” ucap Papa Ian sambil menyerahkan kunci mobil.

“Santai Pa, kita naik taksi aja.”

Right NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang