First to See Whatever He Does

59 7 0
                                    

Aku sampai di rumah Mbak Dewi disambut dengan sebuah pelukan lama di depan pintu, yang membuatku kembali menangis tersedu.

"Gue minta maaf, Ndah." Sambil menggosok punggungku pelan, Mbak Dewi mengucapkan itu. Aku tahu bahwa itu permintaan maaf mewakili suaminya. "Yes, for my husband. If I knew, I won't let him put his idea into your head."

Aku masih sesenggukan saat tiba-tiba Ilana sudah menarik bajuku dari bawah, memintaku untuk memperhatikannya. "Aunty, why you cry?"

Melepas pelukan Mbak Dewi, aku kemudian menyeka air mata sampai benar-benar tidak ada sisa jejak air mata di wajah.

"Tante Indah lagi sedih."

"Karena nggak dibeliin mainan? Kayak aku?" Aku tersenyum tipis mendengar pertanyaan Ilana.

Aku kemudian ikut berjongkok seperti Ibunya. "Tante pengennya dibeliin cokelat sih." Aku sengaja menjawil hidung Ilana, yang diresponnya dengan cekikikan geli.

"Nanti giginya hitam Tante, kata Papa."

"I know," sahutku singkat. Aku mempertanyakan keputusanku untuk datang ke sini, aku berpikir bahwa aku sudah siap membagikan ini, toh Mbak Dewi setidaknya sudah kuanggap sebagai kakak yang sebenarnya aku harapkan hadir di hidupku, setidaknya untuk berbagi keluh kesah, namun aku juga masih memiliki prasangka bahwa Mbak Dewi akan bias mendengar cerita sabun kehidupanku karena sudah lama mengenal mereka dibandingkan denganku.

"Yuk, Tante." Aku sadar bahwa aku sudah mengabaikan kedua orang ini, sampai tidak sadar bahwa Mbak Dewi sudah berdiri dan menggandeng tangan Ilana. Menerima uluran tangan Ilana, aku berdiri. Mengikuti mereka berjalan ke arah dapur untuk kemudian duduk di meja makan yang sudah lengkap berisi makanan berat dan ringan favoritku.

"Kamu sama Mbak dulu ya tidurnya?"

"Iya, Ma." Sebelum pergi menuju kamarnya, Ilana menghampiriku. "Boleh cium pipi Tante nggak?" Tiba-tiba mendapat perlakuan manis dari seorang anak kecil yang sepertinya kadar sayangnya lebih besar ke Ian daripada kepadaku, membuatku cukup senang bukan main. Aku menundukkan wajahku agar Ilana bisa menjangkau pipiku. "Apa Om Ian yang bikin Tante sedih?" Bisikan Ilana sepertinya didengar oleh Mbak Dewi yang nampak dari ekspresi terkejutnya.

Mengangkat tubuh Ilana untuk duduk di pangkuanku, aku memeluknya singkat. "Emang Ilana mau ngapain kalau Om Ian yang bikin Tante sedih?" Aku sengaja memancing reaksi anak kecil yang menjadikan Ian Om favoritnya di Leo-N.

"Aku mau stop main sama Om Ian."

"Yakin?" tanya Ibunya dari seberang meja. Melihat bola mata Ilana yang bergerak tidak beraturan, aku yakin bahwa Ilana dilanda kebimbangan dan kegalauan untuk memilih kubu antara aku dan Ian.

"Aku masih tetep main sama Om Ian, tapi nggak di depan Tante." Aku yang memang berada di dekat Ilana mendengar dengan jelas jawaban yang terdengar seperti gabungan antara gumaman dan bisikkan tidak jelas itu. "Boleh kan?" Ditodong dengan mata yang penuh dengan pengharapan dan persetujuan, aku menganggukkan kepala singkat.

"Tapi kalau Tante sama Om Ian lagi bareng-bareng, mainnya sama siapa?"

"Tante dong." Jawaban secepat kilat meluncur mulus dari bibir kecilnya, membuatku tertawa.

"Oke, Tante anggap itu sebagai janji ya?" Menautkan jari kelingking kecilnya ke jari kelingking yang kusodorkan, aku lalu mengecup pipinya singkat.

"Now, go to sleep kak. Ini udah jam berapa?"

"Oke, Ma." Detik setelah aku menurunkan Ilana dari pangkuan, Ilana langsung berlari ke kamarnya.

"Please, don't run." Teriakan Mbak Dewi tidak dihiraukan, aku cekikikan melihatnya. "Now tell me everything, I deserve to know, so I could slap them in the face when things go south."

Menceritakan semuanya dari awal sampai situasi terakhirku dengan Ian tanpa terkecuali, termasuk ciuman di Bali dan permintaan absurd Mamanya. Mbak Dewi hanya sesekali menyela, dan dari ekspresi yang dia tunjukkan selagi aku bercerita, membuatku yakin 100% bahwa Mbak Dewi hanya 70% berada di kubuku.

"I know you will say a lot of things about me. But please don't discuss about what happened in Bali. I know I did stupid things, that was one of them." Setelah mengatakan itu, aku menutup wajahku dengan kedua tangan.

"Dan lo nggak berpikiran bahwa Ian mulai naksir semenjak kejadian itu?"

"Hah? What made you think that?" Aku melepaskan tangan dari wajahku dan menatapnya galak.

Melihat reaksinya yang hanya mengedikkan bahu, aku melemparinya dengan kardus susu stroberi yang sudah kosong.

"Kali aja udah move on tuh anak."

"I don't think so. Lihat aja lagu-lagu terakhir yang dia tulis."

"Merhatiin juga?"

"Ya mau gimana lagi?" Aku kembali diam, menertawakan dalam hati keanehan pertanyaan Mbak Dewi tadi. Just because we shared a kiss didn't mean we fall in love with each other, apalagi Ian yang naksir duluan. Even if I'm the last woman on earth and the others were goat, I'm sure he will choose to raise a bunch of goats.

"About his mother..." Kalimat Mbak Dewi menggantung, membiarkanku untuk melanjutkan.

"Papanya minta maaf lewat pesan Whatsapp sih, untung anaknya nggak ikut-ikutan. Meskipun Ian nggak ngelihat secara langsung tapi sepertinya udah dikasih tahu sama Papanya. Tapi Mamanya nggak ada ngomong apapun sama gue setelah kejadian makan malam itu."

"Nggak kaget, sebagian perempuan banyakan gengsinya emang."

"Gue juga nggak mengharapkan permintaan maaf sih. At least Ian bisa kasih alasan yang lebih meyakinkan biar Mamanya nggak bahas-bahas ini lagi."

Mengakhiri obrolan dengan sebuah pelukan lama dengan gosokkan di punggung, membuatku meneteskan air mata. Semenjak memutuskan untuk ikut ajang pencarian bakat, teman-temanku yang selama ini cukup dekat namun belum bisa aku sebut sebagai sahabat memang semakin lama semakin menjauhiku, dan aku juga tidak pernah mencoba menghubungi lebih dulu. Itulah mengapa saat bertemu orang-orang seperti Mbak Nia dan Mbak Dewi, aku akan berusaha membuat pergerakkan lebih dulu, entah itu hanya sekadar mengajak mereka makan atau menelpon mereka setidaknya sehari sekali.

Setelah pelukan lama tersebut, aku mengucapkan terima kasih dan minta maaf atas cerita hidupku yang dramatis kepada Mbak Dewi. Kemudian Mbak Dewi menawariku untuk tidur di kamar lantai dua yang digunakan sebagai kamar tamu untuk orangtuanya. Memutuskan untuk pulang nanti malam sambil menunggu Ilana bangun dari tidur siangnya, aku menerima tawaran itu.

Right NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang