For your Understanding II

56 9 0
                                    

Membuka rak piring, Ian mulai menyusun sate dan lontong ke piring yang berbeda.

"Mau?" tawarnya kepadaku. Aku menggeleng singkat. "Gue makan dulu, setelah ini kita ngobrol. Gue sedikit banyak udah dapat gambarannya mengenai sikap Mama ke lo tadi pas makan malam."

"Oke. Gue ke kamar dulu, mau beres-beres." Aku hanya mendengar gumaman singkat dari Ian.

Memutuskan untuk memberi Ian waktu untuk makan, aku memikirkan ulang keputusanku untuk menerima tawaran menikah darinya. Aku yang awalnya menolak karena proposal Ian yang terkesan sombong, angkuh, dan penuh percaya diri. Bayangkan saja, Ian dengan background karirnya di dunia hiburan yang sudah sepuluh tahun lebih, dibandingkan denganku yang masih berapa tahun sih sejak aku menjadi juara tiga ajang pencarian bakat menyanyi tersebut, lima tahun mungkin, mengajakku menikah kontrak selama dua tahun. Hanya karena tuntutan orangtua dan anggapan bahwa dirinya laki-laki penyuka sesama jenis, padahal aslinya hanya laki-laki patah hati yang nggak bisa move-on. Aku mencibir, menertawakan nasib Ian.

Ketukan di pintu berhasil membawaku kembali dari pikiran ruwetku.

"Sebentar."

"Gue tunggu, sebelum gue ngantuk karena udah kekenyangan."

"Oke." Aku mempercepat ritual skin-care malamku.

Setelah meng-skip beberapa step, aku kemudian menuruni tangga saat Ian sedang mencuci piring bekas makan satenya.

"Mau dibikinin apa?"

"Susu stroberi di kulkas aja deh. Makasih." Aku mengikat rambut dengan karet yang memang sengaja aku letakkan di beberapa sudut rumah karena keteledoranku sendiri. Di dapur bahkan ada beberapa rak, itupun karena Ian yang mengumpulkannya saat dia tahu bahwa itu adalah jenis karet rambut yang sering aku pakai.

Membuka kulkas, Ian berkomentar, "Bukannya harus diet?"

"Sejak kapan sih gue perlu diet-diet?"

Meletakkan susu stroberi di hadapanku, Ian menjawab pertanyaanku, "asal nebak aja." Jawaban Ian yang terdengar ogah-ogahan membuatku mengedikkan bahu samar.

"Jadi mau ngobrol apa?" Aku memilih untuk fokus pada susu stroberi yang sedang aku buka.

"Gue minta maaf atas segala perlakuan Mama tadi. I know this will not make you any better right now, but I'm truly sorry, Ndah."

Aku menghentikan kegiatanku yang ingin menusukkan sedotan ke dalam kardus susu dan menatap Ian yang ternyata juga sedang menatapku. "Aplogy accepted." It sounds genuine and he looks sincere while saying that.

"Thank you." Ian menggumamkan itu singkat untuk kemudian ikut duduk di bar stool sebelahku.

Mengalihkan fokusku ke hal lain selain menatap Ian, aku menambahkan, "But still, I don't want to go to their house for the next two or four weeks. Yes, it is because I still hurt by your mom's words and the other reason, I will be busy with works."

"Oke." Aku menemukan Ian menatap setoples cokelat koin yang ada di atas meja bar. "Anything else?" Mengangkat wajahnya untuk menatapku, aku dibuat kaget karena gerakannya yang tiba-tiba tersebut.

Aku menggeleng. "That's all."

"Oke, I will be in the studio for quite sometime, let me know if you want to talk about something else." Ian menatapku lurus tepat di kedua mataku. "Like terminate the contract, maybe?" Aku melihat keraguan di matanya saat mengatakan itu.

"Gue capek. Besok-besok aja."

Right NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang