For Your Information®

96 10 0
                                    

"Kalau mama tanya masalah anak, jawab aja lo sama gue masih sama-sama sibuk, biar mama nggak banyak tanya lagi." Indah tersedak minuman mendengar ucapan gue barusan.

Mengingat rumah Mama sudah dekat, mau tidak mau gue harus segera membahas ini dengan Indah. Masih dengan tangan kanan memegang kendali mobil, tangan kiri gue gunakan untuk menepuk punggung Indah pelan. Setelah napasnya sudah mulai teratur, gue melepaskan tangan dari punggungnya. Masih menatap jalan di depan, gue sadar Indah sedang menatap gue, seperti meminta gue untuk mengelaborasi kalimat gue tadi. Gue lalu menambahkan, "Mama kan nggak tahu keadaan kita gimana, Ndah, jadi pertanyaan kayak gitu bakal muncul suatu saat. Jadi lo siap-siap aja."

~~~~~

Di halaman depan, sudah terlihat dua mobil lain milik kakak-kakak gue. "Rame banget, Yan, gue kira cuma kita doang. Gue capek banget kalau semisal Bima nempel mulu ke gue nanti."

"Okay, nanti gue yang handle." Gue kemudian membuka pintu belakang untuk mengambil barang bawaan kita.

"Thanks," gumam Indah sambil menerima tas yang gue berikan.

Gue sadar bahwa Indah masih canggung saat harus bertemu keluarga gue. Tidak bisa dipungkiri memang, karena jarak Indah nerima ajakan nikah dari gue sampai terlaksananya pernikahan cuman satu bulan, bertemu keluarga inti gue mungkin hanya tiga kali. Meskipun setelah menikah sering ketemu sama keluarga gue, tapi Indah tetap terlihat canggung, seperti saat ini. Gue mengusap punggungnya pelan untuk membuatnya lebih rileks, yang langsung dibalas Indah dengan sebuah helaan napas. "Tegang banget ya gue, Yan?" Gue hanya menggumam mengiyakan. "Gara-gara omongan lo nih. Sialan"

"Sorry?" Indah hanya melirik ke arah gue singkat.

Indah pernah cerita kalau ketegangan yang sering kali ia rasakan saat berkunjung ke rumah orangtua gue ataupun saat sedang bertemu keluarga inti gue di manapun itu adalah rasa bersalah karena kebohongan yang kita lakukan. Gue sedikit mendorong Indah untuk masuk ke dalam, tapi Indah masih bertahan di posisinya, "Yan, yang lo omongin di mobil tadi, bakal dibahas nggak ya, nanti?" Menatap gue, Indah menunggu gue berkomentar.

"Nggak mungkin nanti, Ndah. Lagi banyak orang."

"Yakin?" tanyanya semakin khawatir.

"Yakin gue."

"Pokoknya gue jangan ditinggal sendirian ya,"

"Iya, Ndah."

"Jangan terlalu tenang gini dong, Yan. Gue takut banget nih." Gue nggak menyahuti rengekan Indah, hanya mengusap punggungnya pelan sampai dia benar-benar tenang. Gue sudah menyiapkan jawaban yang sekiranya akan membuat Mama tidak membahas hal itu. Sebenarnya Mama sudah pernah menanyakan secara pribadi ke gue, saat Mama membantu gue belanja bulanan seminggu yang lalu. Gue yang terkejut akhirnya hanya menjawab sekenanya.

~~~~~

Mulai dari sebelum makan sampai selesai makan malam, Bima benar-benar maunya menempel sama Indah. Kak Puspa, Ibu Bima, sudah berulang kali membujuk Bima dengan banyak alasan agar Bima tidak menempel pada Indah. Mulai dari bujukan yang ringan sampai akhirnya jadi sebuah ancaman.

"Maaf ya, Ndah, kita nggak tahu kalau kamu baru selesai kerja. Ian juga nggak cerita ke kita." Sekarang gue duduk santai di meja makan tanpa Bima dan bapaknya. Entah ke mana dua manusia itu, yang penting punggung gue bisa istirahat setelah tadi diajak berkeliling sambil menggendong Bima.

"Nggak papa, Mbak, santai aja."

"Mama juga minta maaf, ya, Nak. Mama nggak tahu kalau kamu capek banget hari ini, dilihatnya aja udah nggak begitu cakep gini."

Indah tertawa mendengarnya, "Iya, Ma, jelek banget gini."

"Tidur, ya, Nak. Mau Papa buatin jamu atau apa gitu nggak?" tanya Papa.

"Nggak perlu, Pa, terima kasih. Saya tidur dulu, ya," pamit Indah pada orang-orang di meja makan. Gue mengikuti Indah, berpamitan pada orang-orang yang sama, kemudian menuju kamar di lantai dua.

~

Indah baru selesai mengeringkan rambut saat pintu kamar dibuka paksa dari luar oleh Bima. "Tante, aku tidur sama tante, ya, masa Mama nyuruh aku tidur sendiri di kamar kosong, hihhhh serem," rengekan Bima nampak dibuat-buat di depan Indah. "Boleh, ayo tidur sini sama tante."

"Gue tidur di kamar lain ya, Ndah."

"Ih... om Ian, ayo tidur sini sebelah aku. Om Ian sebelah kiriku, Tante Indah sebelah kananku. Biar nggak kosong kanan kiriku." Gue akhirnya tidur bertiga dengan Bima berada di tengah. Gue biasanya nggak pernah tidur seranjang dengan Indah, di kamar ini, gue punya banyak selimut yang bisa gue tumpuk buat alas tidur, kalau gue bawa kasur kamar sebelah ke kamar ini, bisa-bisa gue dicecar banyak pertanyaan dari orang rumah. Di rumah pun, gue tidur di kamar
terpisah dengan Indah.

Indah sudah tidur terlebih dulu daripada Bima. Gue lalu berinisiatif membujuk Bima menjauh dari Indah. "Ayo, Bima, kita tidur di kamar kosong itu, ya, sama Om. Kasihan Tante Indah, sudah capek banget, besok kalau tante sudah nggak capek, kita main bareng lagi."

"Okay, Om."

Bima keluar kamar tanpa digendong, sebelum menutup pintu, gue kembali lagi memasuki kamar untuk mengambil mainan Bima di atas kasur. Sedikit membuka mata, Indah menahan tangan gue untuk mengucapkan terima kasih.

Right NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang