First to notice

129 11 0
                                    

Menghampiri meja, aku langsung disambut pertanyaan Mbak Lala, "Mendingan, Ndah?"

"Yup," sahutku cukup semangat. Setelah minum obat dari Mbak Dewi tadi, aku menyempatkan mandi. Mengingat tampilanku di kaca kamar mandi tadi, aku heran kenapa Ian tidak berkomentar apapun saat tadi melihatku. Kedua mataku bengkak, ini akibat tadi aku menangisi kram perut sebelum tidur. Alhasil, aku memutuskan memakai kacamata baca saat ini.

"Udah sehat mah kalau kayak gitu," teriak Mas Gilang sambil membalikkan badan dari tempat ia memanggang daging. "Siap, makan banyak dong, Ndah?"

"Diet gue, mas, ntar balik dari sini mau syuting film gue," jawabku kalem. Half true, half false. Aku jujur tidak pernah diet untuk sebuah kerjaan, kalau disuruh menaikkan berat badan untuk sebuah film, pernah sekali.

"Lagak banget sih lu, Ndah, tapi aktris papan atas emang wajib jaga badan, ya kayaknya," sahut Mbak Mita.

"Kok aktris sih? Bukannya gue penyanyi, ya?"

"Banyak main filmnya sih, ketimbang bikin albumnya," ucap Mas Hans telak.

"Sialan lo, mas."

Aku memilih duduk di antara Mbak Dewi dan Mbak Mita. "Punya siapa, mbak?" tanyaku menunjuk piring yang sudah penuh dengan ayam bakar tanpa tulang.

"Punya lo. Suami lo tuh yang nyiapin," jawab Mbak Dewi. Di depan orang lain aja perhatian banget lo, Yan, di rumah mana mungkin? Ngobrol aja seperlunya, karena kita memang wajib makan malam bersama kalau memang bisa. Aku menatap ayam bakar di depanku dengan sinis.

Obrolan santai seputar konser penutup tur Leo-N tahun ini terus berlangsung, ponsel yang kuletakkan di atas meja berkedip-kedip dengan tulisan Dimas di layar, "Dimas? Lawan main lo di film ini?" tanya Mbak Mita pelan karena dialah yang memberi tahu bahwa ponselku berkedip-kedip.

"Iya, mbak," jawabku santai, sambil masih terus memperhatikan obrolan tentang konser. "Gue angkat dulu, ya, mbak."

"Di sini?"

"Iya. Emang ada yang salah, mbak?"

"Nggak sih, angkat aja, Ndah."

Aku mengangkat telepon Dimas. "Halo? Kenapa?" tanyaku langsung sambil tertawa menyahuti lelucon Mas Hans. "Iya, inget, Dimas.... Gue meskipun lebih tua dari lo, tapi belum pikun, ya... Udah gitu doang?" Dimas meneleponku hanya untuk mengingatkan tentang jadwal syuting minggu depan. Aku aware banget kalau Dimas sebenarnya menaruh perhatian lebih padaku, meskipun dia tahu bahwa sudah ada Ian. Sekilas aku merasakan seseorang menyampirkan cardigan di pegangan kursi. Sambil masih tetap meladeni telepon Dimas, aku menatap heran punggung Ian yang menjauh. Ian bisa sebaik dan seperhatian ini kalau aku sedang datang bulan saja, selebihnya ya seperti biasa, jarang ngobrol, nengok saja tidak.

"Gue matiin, ya, gue lagi sama banyak orang nih, kalau lo telepon tanya-tanya nggak penting gini lagi, nggak bakal gue bawain oleh-oleh ntar lo..."

Dengan mencoba memakai cardigan, aku menanyakan hal yang sudah kusadari cukup lama, "Lo lagi coba deketin gue, ya?" tanyaku sepelan mungkin. Mungkin mendengar pertanyaanku, Mbak Mita terbatuk-batuk di samping kananku, sehingga menjadi pusat atensi seluruh orang di situ. Dimas langsung mengiyakan pertanyaanku tanpa ada jeda sama sekali, "Sialan lo!" umpatku.

Aku mematikan telepon berbarengan dengan suara Mas Hans yang berdiri di belakang Mbak Mita sambil menyodorkan air mineral, "Beb, nggak papa?" Dan hanya dijawab Mbak Mita dengan anggukan.

Ketika orang-orang sudah tidak memberi atensi pada Mbak Mita, kemudian ia bertanya padaku dengan berbisik di telinga, "Dimas deketin lo?"

"Ngakunya sih iya, tapi dia kan anaknya nggak jelas gitu, mbak. Tau deh, kok bisa banget kesopanannya yang terkenal di mana-mana."

"Ian tahu?" Mana mungkin Ian tahu, mbak. Peduli aja juga nggak mungkin, jawabku dalam hati.

"Tahu kok dia." Jawabanku sungguh penuh karangan.

Right NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang