For Your Unnecessary Behavior

40 5 0
                                    

Menciptakan momen yang sangat berarti dalam hidup adalah suatu hal yang sulit kulakukan, meskipun umurku sudah lebih dari seperempat abad. Kesulitan yang kurasakan biasanya karena seringkali momen tersebut terlalu banyak perasaan negatif di dalamnya. Momen pernikahanku dengan Ian adalah salah satu momen yang bisa disebut demikian.

Jadi ketika saat ini aku merasakan haru luar biasa melihat prosesi akad nikah Mas Rio dan Mbak Riri adalah karena momen ini yang aku dambakan. Dengan tatapan saling memuja satu sama lain serta senyuman tulus para keluarga dan kerabat, aku bisa merasakan bahwa inilah momen yang sangat berarti bagi mereka.

Prosesi akad nikahku dengan Ian waktu itu amat sangat canggung, terutama bagiku. Bagaimana tidak canggung, selama satu bulan aku harus komunikasi intens dengan Ian hanya untuk urusan pernikahan. Mungkin ada satu atau dua kali situasi di mana aku dan Ian tidak membahas tentang pernikahan, dan ini tidak berpengaruh besar dalam mengurangi kecanggunganku dengan Ian pada hari akad nikah dilaksanakan. Aura canggung di pernikahanku terbukti dengan hasil foto pada hari itu. Senyum kami berdua terlihat penuh keterpaksaan.

Aku merasakan usapan pelan di lengan sebelah kananku. "Gue yang anti-romantic aja bisa terharu gini. Apalagi lo yang hopeless romantic ya, Ndah." Aku tersenyum di sela air mataku yang masih saja jatuh meskipun tidak sederas tadi.

"Rumput tetangga belum berubah warna sih, Mbak." Aku mengomentari Mbak Dewi yang masih saja mengusap pelan lenganku.

"Rio bisa serius juga ya, kagum gue." Ian yang duduk di sebelah kiriku mengungkapkan rasa kagumnya pada teman satu sekolahnya itu. "I never knew that he is that capable of doing this. Marriage and all those complicated things that come with it." Aku mencibirnya dalam hati. Aku tahu untuk siapa kalimat itu ditujukan, tentu saja untuk menampar dirinya sendiri, karena melihat temannya yang sudah siap lahir batin dengan pernikahan sedangkan dirinya hanya menjadikan pernikahan sebagai pelarian dari masalah yang dia hadapi. "For both of us, he always the one. More mature and careful." Aku bisa merasakan bahwa Mbak Dewi menahan tawanya mendengar ocehan Ian yang tidak aku tanggapi sama sekali.

Posisi duduk Ian adalah paling kiri di sisi kiri pelaminan, tentu saja saat Ian mengoceh barusan tidak dapat didengar siapapun kecuali aku, Mbak Dewi, dan Mas Andi. Di sebelah kanan pelaminan, ada dua teman perempuan Mbak Riri dengan suami masing-masing. Mas Robert, Mas Gilang, dan Mas Hans beserta pasangan masing-masing duduk di belakang keluarga inti Mas Rio dan Mbak Riri di belakang penghulu.

"Pantes aja dulu waktu izin nggak lanjut di Leo-N, dia kelihatan dewasa banget pas jelasin alasannya ke kita. Jadi segen mau nolaknya, karena orangnya tertata bener hidupnya." Mas Andi juga ikut berkomentar. "Ian dulu sempet diajak untuk hidup bener sama Rio, eh malah terus-terusan hidup di jalan yang ini. Jadi anak band dengan penghasilan gak tentu."

"Greenflag abis kalau kata anak sekarang," sahut Mbak Dewi. Aku mengiyakan dalam hati.

***

Setelah prosesi akad nikah, ada prosesi adat yang aku sendiri tidak hapal urutan dan namanya. Namun setelah prosesi adat selesai, kami para bridesmaid dan groomsmen ada sesi foto bersama dengan pengantin, setelah foto dengan keluarga inti dan kerabat selesai.

Aku memilih untuk mengisi perut sebelum giliran foto tiba. Mengingat premier filmku dua hari setelah ini, aku harus menjaga makan karena dress yang aku gunakan nanti sangat pas alias tidak ada ruang bagiku untuk menambah berat badan. Aku memilih sayur cap tjay dan udang tepung tanpa kuberi nasi.

"Kenapa nggak pakai nasi? Ini acaranya masih lama loh, Ndah, belum nanti malam resepsinya." Ian mengomentari pilihan menuku.

"Dress gue buat gala premier nggak bakal muat kalau gue harus makan yang berat-berat, Yan."

Right NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang