Bab 5 Langit

1K 129 2
                                    

Tangan lelaki itu sudah meremas bajunya sendiri sambil menekan dadanya yang terasa sakit. Perlahan ia mencoba mengatur nafasnya yang sudah tidak beraturan, agar jantungnya bisa kembali berdetak dengan normal. Sedangkan tangan satunya, sibuk mencari obat di dalam tasnya.

"Za?" panggil Arnav sembari menoleh ke sampingnya saat ia tidak merasakan keberadaan kembarannya.

Tidak ada jawaban. Hanya ada suara riuh orang-orang di sana. Mereka berdua memang sedang berada di taman dekat sekolah. Setelah bel sekolah berbunyi dan kegiatan belajar selesai, mereka berdua memilih untuk bermain di taman. Memang sudah menjadi kebiasaan mereka untuk mampir ke taman terlebih dahulu sebelum pulang, walau hanya sekedar untuk duduk dan memakan cemilan.

"Za?" panggil Arnav kembali. Tubuhnya sudah berjalan ke arah sebaliknya, tangannya yang memegang tongkat jalan menuntunnya untuk kembali.

Akhza yang panik dan membuat dadanya semakin sakit, dengan sulit ia mencoba membalas panggilan Arnav disana. "Nav, tunggu ya. Gue mau beli minum dulu, tunggu sebentar," ucap Akhza yang sudah kesulitan bernafas. Sementara Arnav yang berdiri tak jauh dari tempatnya berada, hanya mengangguk sebagai jawaban.

Ketika Akhza menemukan obatnya, dengan segera ia langsung menegak obat tersebut. Butuh waktu beberapa menit hingga obat itu bekerja dan jantungnya kembali normal. Akhza masih terdiam di tempatnya, enggan untuk menghampiri Arnav atau bahkan memanggil nama kembarannya itu. Akhza tidak mau Arnav tahu.

Akhza menarik nafasnya dalam-dalam, menghirup oksigen disekitarnya dengan rakus. Ujung bibirnya tertarik membuat lengkungan besar disana. Ia lalu berjalan mendekat ke arah Arnav, seolah tidak terjadi apapun.

"Maaf, maaf. Lupa mau beli minum," ucap Akhza terkekeh kecil.

Arnav tertawa, "Gue kira lo ketinggalan tadi, habis ngegoda mbak-mbak penjual minuman ya lo?" canda Arnav, kemudian ia kembali berjalan dan duduk di salah satu bangku disana. Sedangkan Akhza hanya mengikuti Arnav di sampingnya.

"Iya, soalnya cantik mbaknya tadi," balas Akhza ikut menimpali. Tapi sesungguhnya dalam hatinya ia lega karena Arnav tidak curiga padanya sedikitpun.

"Sayang, gue gak bisa liat kecantikkannya," lirih Arnav. Raut wajahnya terlihat begitu datar dengan tatapan kosong yang memandang lurus ke depan. Tapi beberapa detik selanjutnya, raut wajah itu hilang dan berganti dengan senyuman lebarnya.

"Za, mana susu pisang gue. Bukaain dong," pinta Arnav membuat Akhza menuruti apa yang kembarannya itu mau.

Mereka hanya terdiam dengan pikirannya masing-masing. Tidak ada yang membuka suara dan mereka hanya mendengar suara orang-orang yang berlalu lalang disana. Lalu menikmati semiliwir angin yang berhembus menerpa wajah mereka berdua.

Bagi mereka kegiatan kecil seperti ini rasanya membuat beban yang mereka rasakan hilang sesaat. Membiarkan otak untuk beristirahat dari lelahnya kehidupan.

"Za, lo selalu bilang lo suka langit. Apa yang bagus dari langit?" Tanya Arnav memecah keheningan diantara mereka.

Jemari Akhza bergerak, bermain dengan botol yang saat ini ia pegang. Tatapannya kemudian beralih memandang langit di atas sana yang begitu luas dan indah, walau saat ini warna langit berubah dengan semburat kemerahan disana.

"Karena nama gue artinya langit," jawab Akhza. Sedangkan Arnav disana sudah mengerutkan dahinya.

"Bukan itu jawabannya anjir. Ah, masa alesannya gitu doang."

"Ya, gak tau aja kalo gue liat langit bawaannya kayak bebas. Langit itu luas dan saling terhubung. Langit juga indah, tapi itu karena langit ditemani sama matahari dan bulan."

Renjana BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang