Akhza langsung dibawa ke rumah sakit terdekat karena ia sudah tidak bisa di tangani di sekolah. Pihak sekolah pun langsung menelepon orang tua Akhza agar segera menyusul ke rumah sakit.
Sedangkan disisi lain Arnav tidak tahu apapun. Ketika bel istirahat berbunyi, ia masih setia duduk di bangkunya, menunggu kembarannya yang akan datang menjemputnya. Tapi nihil, sudah hampir 15 menit Arnav tidak mendengar suara Akhza.
"Nav, mau ke kantin bareng?" Ajak Arabella. Arnav sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya ia menyetujuinya. Lagi pula perutnya sudah sangat lapar meminta makan dan lagi jika ia bertemu Akhza, ia akan mengomeli kembarannya itu yang bisa-bisanya melupakan dirinya.
Di tengah perjalan menuju kantin, Arabella benar-benar menjaga Arnav. Memberinya arah jika ada dirinya hampir menabrak orang atau benda-benda di sana dan Arnav tidak biasa akan hal itu. Bukankah seharusnya ia menjaga seorang gadis? Tapi ia hanya tersenyum miring, memikirkan kembali keadannya.
BUKK!
Arnav terjatuh dengan pantat yang lebih dulu menyentuh ubin saat seseorang menabrak bahunya dengan keras. Jika ditanya sakit atau tidak? Ia benar-benar merasa sakit.
"Kalo jalan pake mata!" bentak Arabella penuh emosi sembari membantu Arnav berdiri.
Lelaki yang menabrak bahu Arnav tadi hanya mengangguk samar tapi kemudian ucapan yang ia lontarkan begitu menyakitkan hati Arnav yang mendengarnya.
"Dia jalan aja gak pake mata," ucapnya yang sudah membuat Arabella naik darah hingga ia ingin sekali meneriaki lelaki tadi kembali, tetapi Arnav langsung menahannya dengan menggenggam tangan Arabella lalu Arnav tersenyum kecil. "Udah biarin Ra."
"Tapi Na-"
"Udah gak apa-apa, kita ke kantin aja ayok nanti keburu masuk," ucap Arnav terlihat begitu tenang dan terlihat tidak tersinggung atas ucapan lelaki tadi. Walau siapa yang tahu apa yang sebenarnya Arnav rasakan. Ia memang pandai menyembunyikannya.
Arnav sudah terlalu sering mendengar kata-kata buruk, sampai semua kata itu tersimpan sangat jelas dalam otaknya dan tidak semudah itu untuk dilupakan. Menggores luka di dalam hatinya yang semakin dalam.
Arabella menghembuskan nafas kasar, menatap manik legam milik Arnav lalu ia memilih untuk kembali berjalan menuju kantin. Sampai dimana mereka berdua memilih duduk di salah satu bangku kosong disana.
Arabella menyuruh Arnav untuk duduk terlebih dahulu sementara dirinya yang pergi memesan makan. Ia tidak merasa di repotkan sama sekali oleh keadaan Arnav, justru ia sangat senang bisa membantu Arnav, temannya itu.
"Nav!" Panggil Orion dengan nafas yang terengah-engah. Sepertinya lelaki itu baru saja berlari untuk menemuinya.
Arnav memalingkan wajahnya ke sumber suara, "Ri, dimana Akhza?" tanyanya tanpa memperdulikan Orion yang terlihat kecapekan.
Pertanyaan Arnav adalah pertanyaan yang sudah diperkirakan oleh Orion tapi walaupun begitu lidahnya terasa kelu untuk menjawab. Hatinya tidak ingin membohongi Arnav tetapi janjianya harus ia tepati.
Sebelumnya Orion dapat kabar dari teman osisnya bahwa Akhza sakit dan guru langsung membawanya ke rumah sakit terdekat. Sontak membuat Orion panik setengah mati, ia terus saja menghubungi Hazel tetapi tak kunjung di jawab oleh empunya.
Sampai di panggilan ke empat, Hazel menjawab dengan suara yang terdengar lemas diujung sana.
"Rion... lo tau apa yang harus lo lakuin kan. Jaga Arnav disana, jangan kasih tau dia. Kalo Akhza udah sadar gue bakal kabarin lo secepatnya." Begitulah isi panggilan Hazel yang langsung menutup panggilan tersebut secara sepihak. Maka Orion mengatur nafasnya lebih dulu, ia sangat mengerti apa yang harus ia lakukan saat ini.
Ia melirik sekilas Arabella yang sedang pergi memesan. Lalu ia mencoba mengatur suaranya agar tidak bergetar yang bisa menimbulkan kecurigaan Arnav.
"Akhza lagi pergi tadi dipanggil sama Bundanya jadi nanti lo pulang bareng gue," jelas Orion.
"Bunda ke sekolah?"
"Iya."
"Kok gak bilang ke gue? Mereka kemana?"
Orion meneguk salivanya, ia memandangi manik mata Arnav jauh ke dalam sana. Mencari sebuah alasan yang masuk akal. "Mana gue tau, coba nanti lo tanya Akhza. Btw, Akhza keluar sekalian ada perlu sama sekolah lain buat diskusi soal lomba nanti."
Arnav hanya mengangguk mengerti. Sebelumnya Akhza juga pernah berkata bahwa ia mengikuti eskul basket di sekolah. Jadi mungkin saja memang benar begitu kejadiannya, pantas saja dirinya ditinggal. Sepertinya Akhza memang begitu mencintai basket di banding dirinya.
###
Hazel memejamkan matanya sambil bersandar pada punggung kursi. Tangannya mengepal kuat, menyalurkan rasa khawatirnya yang tak kunjung menemukan pencerahan.
Disampingnya, Agatha sudah menangis dengan punggung yang bergetar dan tangannya sibuk menyeka air yang terus mengalir dari pelupuk matanya. Agatha sungguh berdoa untuk putranya yang kini berada di dalam ruangan.
Mereka berdua sedang menunggu dokter selesai mengecek dan membantu Akhza untuk kembali sadar. Sudah hampir setengah jam mereka disana hanya untuk menunggu dengan perasaan gelisah.
Ketika dokter yang bernama Pak Terra keluar dari ruangan ICU. Ia langsung mengajak Agatha untuk berbicara secara empat mata di dalam ruangannya. Sedangkan Hazel langsung memasuki ruang rawat Akhza setelah dipindahkan.
Agatha mengigit bibir bawahnya, ia tahu apa yang akan dibicarakan oleh Pak Terra adalah sebuah kabar buruk tetapi dalam hatinya ia masih memiliki sebuah harapan. Harapan bahwa Akhza akan sehat.
"Gimana dok?"
Pak Terra menghela nafas pendek, memang pekerjaan yang sulit baginya ketika harus memberitahu kondisi pasien kepada keluarga. Apalagi jika kabar tersebut bukan kabar baik.
"Bu, saya masih mengusahakan untuk mencari pendonor walau memang sulit. Dan saat ini keadaan Akhza semakin buruk, sepertinya putra ibu meminum obat secara tidak teratur." Pak Terra membenarkan kacamatanya yang terngger di hidungnya lalu ia dapat melihat raut wajah Agatha disana.
Harapan itu semakin jauh, dan semakin tak terlihat. Sepertinya harapan itu tidak dapat Agatha genggam. Tapi ia masih ingin percaya bahwa Akhza dapat melalui ini semua.
"Saya akan menambah obatnya untuk sekarang. Jangan biarkan putra ibu kecapekan, jangan lupa juga untuk selalu mengingatkan putra ibu untuk meminum obat. Bu, buat putra Ibu, Akhza. Buat dia untuk terus berjuang ya... dan kita disini juga berdoa kepada Tuhan untuk meminta sebuah keajaiban." Lanjut Pak Terra menutup pembicaraan dan ia hanya tersenyum miris melihat Agatha sudah menangis di hadapannya.
Akhza jangan menyerah ya... Bunda mohon jangan menyerah untuk Bunda, Ayah dan Adik kamu...
###
Kayaknya aku bakal update setiap sabtu malam, hehe❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Biru
Novela Juvenil[Twins] [Selesai] "Gue cuma ingin melihat dunia dan warnanya, tapi bukan begini maksud gue." -Arnav High rank: 1#sad 1#00L 33# Jeno