Akhza menatap langit kamarnya yang lebih menarik ketimbang menatap angka-angka yang tertulis di bukunya. Pikirannya jauh memikirkan berbagai hal yang belum tentu terjadi. Seperti apa kehidupan ia nanti? Bagaimana kehidupan Arnav nanti jika ia tidak bisa terus bersamanya?
Pikiran-pikiran seperti itu sering kali terlintas dalam benaknya. Sudah 17 tahun mereka hidup bersama dari lahir hingga saat ini. Disaat senang dan sedih mereka selalu saling memahami dan mengandalkan satu sama lain. Tapi bagaimana jika salah satu dari mereka harus berpisah?
Akhza menghela nafas panjang, jemarinya yang sedari tadi memainkan pulpen kini terhenti. Matanya lalu memandang langit jauh di atas sana dari balik kaca jendelanya, memandang bulan malam ini yang bersinar begitu terang, menerangi langit malam.
"Muak," gumam Akhza saat matanya beralih memandang obat-obatan miliknya di atas nakas. Sudah bertahun-tahun ia harus mengkonsumsi obat pahit itu. Obat yang menjadi penopang hidupnya.
Tapi ada saatnya Akhza lelah dengan hidupnya sendiri. Ketika ia ingin menyerah, bayangan Arnav kembali mengingatkan dirinya untuk tetap hidup.
Ia tidak boleh lemah, ia tidak boleh menyerah, karena siapa lagi yang akan membantu kembarannya jika bukan dirinya. Ia harus menjadi kakak yang dapat di andalkan, yang bisa menjadi tempat bersandarnya Arnav.
Maka mereka tidak dapat terpisahkan oleh apapun. Tapi kembali lagi pada pertanyaan awal, bagaimana kehidupan Arnav nanti ketika ia tidak bisa terus bersamanya? Jawabannya hanya bisa terjawab oleh takdir dan bagaimana Tuhan mengatur-Nya.
###
"Za, mau coba?" Teriak Hazel yang kini sedang berdiri di tengah lapang. Tangannya memegang bola basket yang ia simpan di antara lengan dan pinggangnya. Matanya lalu melirik ke arah ring di sampingnya, bermaksud menunjuk apa yang ia ucapkan.
Akhza yang tengah duduk di samping lapang hanya menggeleng sebagai jawabannya. Tapi kemudian Hazel melempar bola basket kearahnya yang dengan tangkas ia menangkap.
"Shoot sekali, gak akan buat lo capek." Hazel menaikkan kedua alisnya naik turun. Memberi tanda bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Coba aja Za, sekali doang. Lo kan mau jadi atlet," sahut Orion yang baru datang dengan dua botol minum di tangannya.
Akhza segera berjalan menuju kedua temannya itu. Kemudian ia berdiri, jauh dari ring dan dengan gaya hendak melakukan shoot, bola di lempar setinggi mungkin menuju ring.
Memang dulu ia pernah bermimpi ingin menjadi atlet basket, tapi harapannya semakin memudar ketika ia sadar bahwa itu semua tidak mungkin untuknya. Bahkan sebelum ia bekerja keras, mimpinya hanya akan menjadi mimpi.
Kedua temannya bertepuk tangan bangga ketika bola berhasil masuk ke dalam ring. Dengan senyum yang merekah di wajah Hazel dan Orion membuat Akhza ikut mengulas senyumnya.
"Hebat lo, didikan gue nih," ucap Hazel sambil merangkul temannya itu.
"Jangan deket-deket Za. Si Hazel bau," timpal Orion sambil menutup hidungnya membuat Hazel lantas mencium tubuhnya sendiri. Takut saja benar apa yang diucapkan Orion karena memang mereka habis kelas olahraga. Padahal Orion tentu hanya bercanda saja.
"Kagak anjir, wangi gini."
Orion sudah tertawa di sampingnya, "Mana ada bau badan sendiri ke cium."
"Emang iya ya?" Hazel menoleh pada Akhza, meminta jawaban.
Akhza berdecak, "Kayaknya lo kalo dikasih permen terus disuruh ikut, mau mau aja ya Zel?"
"Ya enggak lah!" Bantah Hazel, kemudian dari kejauhan terlihat seseorang sedang belari ke arah mereka. Itu adalah salah satu teman sekelasnya, Rafa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Biru
Novela Juvenil[Twins] [Selesai] "Gue cuma ingin melihat dunia dan warnanya, tapi bukan begini maksud gue." -Arnav High rank: 1#sad 1#00L 33# Jeno