Hazel terdiam, netranya masih tak luput memandang tubuh yang terbaring di atas ranjang itu. Entah mengapa ia merasa Akhza akan menghilang jika ia berani memalingkan sedikit saja pandangannya. Hazel takut, untuk kehilangan seseorang yang ia sayangi lagi.
Sudah setahun lamanya Hazel mengenal Akhza. Pertama kali ia mengenal sosok lelaki itu saat ia datang terlambat ke sekolah.
Hazel yang tidak biasa bangun pagi, memiliki awal yang buruk pada saat hari pertama masuk sekolah. Ia bisa-bisanya baru datang saat bel sudah berbunyi sejak sejam lalu. Tentu lah ia kena sanksi dan diberi hukuman walau ia masih siswa baru. Bagi Pak Kevin, tidak ada namanya toleransi.
Tapi ternyata ia tidak lah sendirian, melainkan ada seorang siswa lainnya yang datang tidak lama setelah dirinya. Hazel yang pertama kali melihat anak lelaki itu, merasa bahwa anak itu tidaklah biasa.
Hazel yang melihat tanda nama di bajunya, lantas mengetahui bahwa anak lelaki itu bernama Akhza. Dia terlihat berantakan, dengan dasi yang dilonggarkan dan baju yang terlihat tidak dimasukkan. Dia juga berkeringat dengan wajah sedikit pucat, nafas nya pun sungguh tidak beraturan, seakan ia telah berlari beratus-ratus meter. Lelaki itu pun sontak menoleh saat Hazel tanpa sadar terus memandangi dirinya.
Tapi alih-alih berkomentar, atau menatap sinis Hazel. Lelaki bernama Akhza itu tersenyum, memperlihatkan eyesmilenya walau ia masih sulit untuk bernafas dengan teratur. Membuat Hazel refleks membuang muka.
Hazel bukanlah seorang yang mudah berbaur, ia juga enggan untuk menjalin sebuah hubungan yang di sebut pertemanan. Mungkin dulu ia tidaklah begitu, sampai dimana sebuah kejadian menimpa dirinya dan membuat Hazel menjadi pribadi yang tertutup.
Entah bagaimana Akhza dan Orion kini menjadi teman dekatnya ditambah dengan Arnav, saudara kembar Akhza yang juga menjadi bagian dari hidup Hazel saat ini. Ia senang walau di satu sisi ia merasa takut.
Saat dimana Hazel dan Orion mengetahui penyakit Akhza adalah saat dimana mereka sedang kerja kelompok dan Orion tidak sengaja menemukan obat milik Akhza di dalam tasnya. Membuat mereka berdua terkejut sekaligus merasa sedih.
Tapi Akhza tidaklah marah, ia bercerita dengan tenang pada Hazel juga Orion dan meminta mereka berdua untuk merahasiakannya dari Arnav.
"Kalian janji aja jangan kasih tau hal ini ke Arnav dan jangan pernah ngeliat gue sebagai sosok yang perlu dikasihani. Jangan sekalipun tunjukin itu, gue percaya gue bakal sehat."
Hazel dan Orion lantas berjanji. Mereka pun tidak melihat Akhza sebagai sosok yang harus dikasihani walau Hazel tetap mengingatkan Akhza untuk meminum obatnya. Hazel mudah khawatir dan merasa Akhza terlalu memaksakan dirinya.
Hazel mungkin terlihat cuek dan sering bercanda. Walau begitu ia yang paling sering memperhatikan Akhza secara diam-diam. Melihat bagaimana Akhza begitu kuat menahan segalanya. Hazel ingat sekali saat dimana ia dan Akhza pergi menemui orang-orang yang membicarakan Arnav di belakang.
Hazel terkejut nyatanya seorang Akhza bisa semarah itu dan mengeluarkan emosinya saat nama Arnav disebutkan. Akhza, benar-benar membela Arnav. Melindunginya dari banyak pembicaraan buruk mengenai kembarannya itu. Menutup mulut dan berkelahi dengan para perundung sekolah yang sering menjahili Arnav, hanya agar kembarannya bisa bersekolah dengan tenang.
"Lo mau jadi pahlawan Arnav?" tanya Hazel. Tapi disana Akhza tertawa.
"Gue bukan pahlawan kali. Mana ada pahlawan lemah kayak gue. Gue cuma jalanin kewajiban gue aja, gue enggak suka mereka berkata buruk apalagi kalo sampai terdengar di telinga Arnav. Lo tau, Arnav itu terlalu baik, dia gampang kemakan omongan orang. Dia orang yang mudah kepikiran hal-hal kecil, dan dia cuma bisa pendem hal itu. Dia kuat di luar tapi enggak di dalam."
"Arnav harusnya tau tingkah lo kayak gimana Za."
"Enggak perlu semua hal gue kasih tau Zel. Gue takut kalo gue kasih tau, Arnav semakin menutup diri dari gue."
"Terserah," decak Hazel. Pahadal bukan lah urusannya mencampuri hubungan Akhza dan Arnav tapi ia jadi ikut kesal, entah mengapa.
"Za, lo bakal sehat dan sekarang lo harus janji sama gue, kalo lo akan bahagia," gumam Hazel pada sosok Akhza yang masih menutup mata dengan detak jangung yang lemah. Lelaki itu masih tidak sadarkan diri, entah kapan matanya akan terbuka, tapi Hazel harap malam ini, ia ingin mengobrol dengan Akhza walau hanya sesaat.
###
Jantung Arnav berdetak dengan cepat, tangannya sudah berkeringat sangat banyak dan Arnav tak henti-hentinya berdoa dalam hatinya untuk keselamatan Akhza. Kabar bahwa Akhza mengalami penurunan detak jantung secara drastis terdengar sampai telinganya, saat Agatha mendapat panggilan dari Terra selaku dokter yang menangani Akhza.
Lantas segera saja Bhagas, Agatha dan Arnav pergi menuju rumah sakit pada malam itu. Agatha sudah menangis dan Bhagas berusaha memfokuskan dirinya untuk menyetir. Sedangkan Arnav, ia merasa tidak tahu harus bagaimana. Ia ingin menangis tapi tidak bisa, mungkin karena ia terlalu panik sampai ia merasa pikirannya mendadak berhenti.
Ia bahkan belum menjenguk Akhza, ia bahkan belum mengucapkan kata terima kasih, ia juga belum mendengar permintaan maaf Akhza atas kebohongan yang Akhza buat bertahun-tahun lamanya. Arnav merasa bingung akan perasaannya sendiri saat ini.
Tapi yang pasti, ia ingin Akhza selamat. Ia tidak mau Akhza meninggalkan dirinya. Arnav hanya bisa memohon pada Tuhan untuk jangan jemput Akhza secapat ini.
###
"Gimana dok?" Tanya Bhagas saat ia bertemu Terra di depan ruangan Akhza. Disampingnya Agatha sudah meremas bajunya, takut mendengar kata-kata yang tidak ingin ia dengar. Takut jika ia harus merelakan apa yang terjadi.
Terra menbuang nafas pendek, kemudian menatap kedua orang tua di depannya yang terlihat gelisah. "Kita harus secepatnya melakukan oprasi, jika keluarga setuju maka kita akan segera melakukannya."
"Bagaimana dengan pendonor?" Tanya Agatha.
"Donor sudah ada, hanya tinggal menunggu persetujuan."
Perkataan Terra seakan membuat beban di pundak terasa menghilang. Seakan Tuhan memberikan sebuah kesempatan pada Akhza. Dan tentu Bhagas langsung pergi untuk mentanda tangani surat persetujuan agar operasi segera bisa dilakukan. Terra pun tersenyum kecil saat merasakan bahwa ada secercah harapan bagi Akhza.
Agatha langsung terduduk lemas, nafasnya berangsur mulai teratur. Dadanya perlahan tidak sesesak tadi. Ia merasa lega dan bersyukur, nyatanya keberuntungan masih berpihak padanya. Lalu tiba-tiba seseorang menggenggam tangan Agatha disana membuat Agatha sedikit tersentak. Seseorang itu tidak lain adalah Arnav . Anak lelaki yang meminta penjelasan pada sang Bunda.
Agatha mengulas senyumnya, "Akhza, akan baik-baik saja. Ada pendonor dan akan segera dilakukan operasi. Kita berdoa aja ya," jelas Agatha membuat Arnav ikut menyinggung senyumnya, ia bisa merasa lega untuk sekarang.
Apakah doanya terkabul?
Arnav mengucapkan rasa syukur berkali-kali, ia merasa Tuhan masih mendengar doanya. Ia berharap bahwa Akhza akan selamat dan kembali sehat. Ia tidak mau ditinggalkan oleh Akhza. Jika iya hal itu terjadi, maka Arnav tidak yakin akan bisa merelakannya.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Biru
Teen Fiction[Twins] [Selesai] "Gue cuma ingin melihat dunia dan warnanya, tapi bukan begini maksud gue." -Arnav High rank: 1#sad 1#00L 33# Jeno