Jumpa

2 1 0
                                    

Ardan memandangi layar ponselnya dengan tatapan serius, Alya begitulah nama yang tertulis pada sebuah kontak.

"Telfon jangan ya?, Kalau telfon gengsi nggak di telfon kok sayang, udah susah payah dapat nomernya" gumam Ardan dalam hati.

Bukannya menelfon Ardan justru menyandarkan tubuhnya pada kursi kantornya, pandangannya melihat keluar jendela dimana bisa terlihat dengan jelas suasana perkotaan diluar sana.

[Flashback, masa di Asrama]

"Dan, nanti siang temenin gue belanja ke pasar, disuruh Pak Danang" Ujar Ian yang seenak udelnya masuk ke kamar, tempat dimana Ardan, Arsen dan Gilang sedang mempelajari soal matematika.

"Heem" Ardan menjawab singkat tanpa melihat ke sumber suara.

Merasa sudah mendapatkan apa yang diinginkan Ian pergi dari kamar tersebut.

Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, kini usia Ardan sudah menginjak 17 tahun, masa SMA.

Tak seperti masa SMA kebanyakan orang, Ardan cenderung menghabiskan masa SMA dengan sibuk belajar dan mengikuti organisasi di Sekolahnya, mulai dari Paskib, OSIS, hingga bela diri. Meski ia mengikuti banyak sekali organisasi namun ia jarang sekali terlibat hubungan mendalam dengan banyak orang, bisa dibilang sahabatnya hanya Arsen, Gilang dan Ian.

"Yuk berangkat sekarang" teguran Ian mengagetkan Ardan yang sedang membaca buku di kursi panjang koridor asrama.

"Oke" jawab Ardan singkat.

Keduanya kemudian berjalan menuju jalan raya untuk selanjutnya naik angkutan kota. Setelah sampai di pasar mereka langsung berbelanja dengan bermodalkan tiga lembar uang seratus ribuan dan daftar belanja dari pengasuh asrama.

"Bu ini harganya berapa?" Tanya Ian.

"Rp 32.500" balas penjual

"Yah kurang" Ian menghitung kembali sisa uang di tangannya, dan benar saja jumlah uang yang dia bawa kurang dari harga yang ditawarkan penjual tadi.

"Biar saya saja yang bayar" seorang perempuan tiba-tiba menyodorkan uang lima puluh ribuan.

"Asrama putra bangsa kan?" Perempuan itu menengok ke arah kaos yang dikenakan oleh Ardan dan Ian.

"Iya benar" Ardan dan Ian menjawab hampir serentak.

Perempuan tadi hanya membalas dengan senyum dan menyodorkan uang ke penjual.

"Saya Hasna, kebetulan saya juga ingin ke Asrama untuk ketemu Mas Bian, kalian nanti sekalian bareng saya ya, daripada naik angkot, kan banyak bawaannya" ujar Hasna

namanya Hasna dan sepertinya mengenal betul seisi asrama. Apalagi Mas Bian, kan jarang ada yang kenal sama Mas Bian. Karena yakin akan kebaikan hati dan niat dari Hasna, Ardan dan Ian pun ikut saja dengan Mbak Hasna, begitulah mereka memanggilnya.

Setelah menyelesaikan belanja, Ardan, Ian dan Mbak Hasna menuju ke parkiran. Mbak Hasna menunjuk salah satu mobil berwarna hitam yang sepertinya itu mobilnya Mbak Hasna. Pintu terbuka, Ardan dan Ian lantas masuk ke sana. Namun di dalam mobil ternyata ada seseorang yang menunggu.

"Kenalin ini Alya, keponakanku" terang Mbak Hasna.

"Ian" Ian mengangguk dan mengenalkan dirinya.

"Alya" dia mengatupkan tangannya dan kemudian memandang Ardan yang menatapnya tanpa berkedip.

"Dan" tegur Ian mengejutkan Ardan.

"Ardan" tukas Ardan dengan segera.

Rona malu dan canggung nampak pada muka Ardan karena insiden mlongonya di depan Alya. Secara Ardan semasa SMA tidak pernah dekat dengan satu perempuan pun. Baginya sekolah ya hanya belajar belajar dan belajar untuk sukses.

Selama perjalanan Ardan sibuk memperhatikan gadis yang kemudian dikenalnya dengan Alya. Ada perasaan aneh yang muncul pada pertemuan pertama mereka, anehnya dia yang selama ini lihai berkomunikasi dengan orang lain mendadak sulit untuk mencari topik obrolan yang pas. Jadi selama di mobil hanya suara Mbak Hasna dan Ian yang saling sahut-sahutan, sedang Alya sibuk membaca sebuah buku. Sedang Ardan masih dengan tingkah absudnya dengan mengamati Alya secara diam-diam.
[Flashback selesai]

Bukannya menekan tombol call Ardan justru menggeser ponselnya dan mencari kontak seseorang. "Ian"

"Ya hallo" Ian mengangkat telfon dari Ardan.

"Emm Hallo Yan, gimana kabarmu?" Tanya Ardan.

"Tumben nanya kabar?biasanya kalau telfon lu to the point ke masalah" sergah Ian.

"Ya nggak gitu juga Yan, boleh dong nanya kabar sohib" Ardan membalas ejekan dari Ian.

"Oke-oke, kabar baik Pak Bos, ente gimana?" Ian bertanya dengan tawa lirih di ujung telfon.

"Baik, luar biasa Yan, kamu save nomernya Mbak Hasna?" Ardan kembali ke perangainya, langsung ke inti masalah.

Hening sesaat antara mereka, dan ternyata di seberang sana Ian sedang mengingat sebuah nama yang disebut oleh Ardan tadi.

"Oh gue ingeeetttt, Mbak Hasna istrinya Mas Bian kan?" Suara Ian melengking membuat Ardan harus menjauhkan ponsel dari telinganya

"Ngapain lo minta nomer bini orang, tobat bro masih banyak perawan diluar sana" cerocos Ian.

"Aku ada perlu Yan, gue juga tahu kok Mbak Hasna istrinya Mas Bian, kan aku juga bantu untuk resepsinya" bela Ardan.

"Oke gue kirim lewat WhatsApp ya" tukas Ian.

Dan obrolan berakhir antara dua manusia itu.

Ardan : Mbak Hasna, boleh aku tanya-tanya tentang Alya

Ardan mengirim pesan lewat WhatsApp.

Beberapa menit kemudian

Hasna : ngapain nanya ke Mbak 😁 kan bisa kenalan langsung dan.
Udah pada gede juga masak kenalan sama perempuan gak berani. 😋

Ardan : eh nggak gitu mbak, kan kalau kenal orang harus tahu dulu segala informasi tentang dia.

Hasna : santai aja Dan, Alya ini cewek rumahan kok dia nggak mungkin menyimpan rahasia spionase apalah itu, pokoknya nggak seperti relasi bisnismu itu 😁 pokoknya aman Dan, ntar Mbak Comblangin ya, Asyeekk

Ardan : eh mbak kok malah langsung gitu, 🙄

Hasna : udah pokoknya Mbak Hasna yang atur, kamu cuma ngikut. Mbak Maksa 😤

Ardan hanya pasrah dan mengikuti semua saran dari Mbak Hasna, keputusan untuk menghubungi Mbak Hasna dianggap Ardan sebagai keputusan yang salah besar dan baginya ini adalah blunder terbesar dalam sejarah pengambilan keputusan dalam hidupnya. Tapi tanpa disangka hal besar justru menunggu Ardan setelahnya.

Fyi : Mbak Hasna dan Ardan bisa akrab setelah kejadian di pasar beberapa tahun lalu, karena setelah itu terjalin hubungan keluarga tidak resmi antara Mas Bian (seorang pengajar di asrama PBF) analoginya gini Mas Bian sebagai Kakak pertama, Mbak Hasna sebagai calon Kakak Ipar dan Arsen, Ian serta Ardan jadi adik kecilnya. Hubungan mereka berlanjut sampai ketiganya sudah punya kesibukan masing-masing, sebenarnya untuk Arsen dan Ian masih beberapa kali berkomunikasi dengan Mbak Hasna dan Mas Bian sedang Ardan babar blas gak pernah (sombong banget kan)

Okey cukup dulu untuk part ini, semoga pembaca sekalian gak bosen dan terus pantengin.
Mohon maaf belum ada poin seru antara Alya dan Ardan, sabar ya.

Ngaji Yuk Bos [Bersambung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang