Sidoarjo, 19.00 WIB
"Ibu ndak bisa ambil keputusan sebesar itu tanpa meminta izin dariku," ucap Hisyam saat mereka sudah sampai di rumah. Kini Hisyam tengah bersama Arumi di dalam kamarnya.
"Menurut kamu Ibu salah? Bukankah kamu juga pernah menyukai Adiva?" cecar Arumi dengan sedih karena putra satu-satunya yang masih ia miliki berani memarahinya.
"Bu aku mohon jangan seperti ini," balas Hisyam menurunkan nada bicaranya saat melihat kedua mata Arumi yang mulai terlihat berkaca-kaca. "Dulu aku yang meminta Adiva untuk menjadi istriku tapi Ibu malah menikahkannya dengan Mas Azzam dan aku ikhlas demi kebahagian Mas Azzam, Ibu, dan Ayah." Ucapan tajam Hisyam berhasil meluruhkan air mata Arumi.
"Aku sudah mengikhlaskan semua Bu. Sekarang aku hanya menganggap Mbak Adiva sebagai saudaraku. Aku tidak bisa menikahinya dengan alasan apapun!" tegas Hisyam dengan suara bergetar hebat. Hisyam sebenarnya tidak tega berbicara seperti ini kepada ibunya. Tapi Hisyam juga tidak ingin menambah luka di hati semua orang terutama Adiva.
"Lalu kenapa kamu ndak nikah-nikah? Itu artinya kamu masih menyukai Adiva!"
"Tidak Bu. Tidak!" tukas Hisyam dengan cepat dan tegas. "Aku memang belum bertemu dengan jodohku," sambung Hisyam mencoba menyakinkan ibunya.
"Ibu ndak mau tau. Pokoknya dalam satu bulan kamu ndak bawa calon istrimu ke rumah maka Ibu akan tetap melamar Adiva untuk kamu!" jawab Arumi dengan berurai air mata.
"Ya Allah Bu.... Aku mohon jangan egois seperti ini. Demi Allah pernikahan ini tidak akan berhasil." Emosi Hisyam akhirnya meledak untuk pertama kalinya di hadapan perempuan yang telah melahirkannya. Perempuan yang menjadi pintu surganya. Tapi ini salah. Keputusan ini tidak benar.
"Sak karepmu Le. Pokoke Ibu ndak mau tahu. Keputusan Ibu sudah bulat," tegas Arumi tak berniat sedikitpun memberikan kesempatan pada Hisyam untuk mengelak.
"Baiklah terserah Ibu saja. Tapi Ibu jangan pernah menyesal jika aku tidak akan pernah bahagia." Hisyam menyeka dengan kasar air mata yang mulai bergulir di pipinya. "Kelak Ibu akan sadar. Jika aku hanya akan menjadi bayang-bayang Mas Azzam bagi Mbak Adiva," lirih Hisyam lalu ke luar dari kamarnya. Meninggalkan Arumi yang menangis tergugu.
***
Jombang, 19.30 WIB
Farah tampak asyik bermain kuda-kudaan bersama Farhan di ruang keluarga sedangkan Adiva bersama Fitri terlihat serius menonton sinetron di salah satu stasiun televisi. Tak jarang dua perempuan itu juga berkomentar bahkan mengomel karena kesal saat pas adegan seru-serunya sinetron ternyata harus terjeda oleh iklan. Sedangkan Mansur sedang tidak berada di rumah karena mengikuti rutinan pengajian yasin di desa mereka yang biasa diadakan setiap seminggu sekali.
Sejenak Farhan terdiam lalu menurunkan Farah dari atas punggungnya. Farhan membawa Farah duduk di pangkuannya, tepat di depan Fitri. Jadi, posisi Farhan saat ini duduk di karpet di bawah Fitri.
"Ada apa?" tanya Fitri saat melihat gelagat aneh putranya.
"Aku mau ngomong serius sama Ibu," jawab Farhan dengan serius.
Melihat ekspresi wajah serius Farhan membuat Adiva merasa sungkan. Lalu Adiva menekan tombol off pada remote tv yang dipegangnya. Adiva beranjak lalu hendak menggendong Farah untuk pergi. Memberikan ruang dan waktu pada Farhan dan Fitri untuk berbicara.
"Kamu di sini aja Dek. Nggak papa," cegah Farhan sembari memeluk Farah agar Adiva tidak bisa membawa Farah pergi.
Adiva kembali duduk seraya menatap Farhan penuh selidik. Pun dengan Fitri yang merasa aneh dengan sikap Farhan. Agar Farah tenang Farhan memutarkan film Masha and the Bear di ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Hati Satu Cinta (End)
RomanceRate 18+ Blurb Perpisahan dengan seorang sahabat terbaik beserta dengan cinta pertamanya tentulah hal yang tak mudah bagi Adiva Dania Khanza, gadis berusia 18 tahun itu. la terisak tatkala harus melambaikan tangannya melepas Aldebaran Malik pergi me...