BAB 19

426 70 4
                                    

Wening, Ranajaya dan semua pelayan mencari Manika di tengah hujan. Mereka mencari ke seluruh penjuru desa, bertanya pada setiap orang, dan mengetuk pintu setiap rumah untuk menanyakan keberadaan Manika. Namun, tidak ada yang melihatnya. Wening benar-benar merasa khawatir karena mereka tidak juga menemukan sedikitpun jawaban tentang keberadaan Manika.

"Bagaimana ini, Ranajaya? Jika orang-orang tidak melihat Manika di lingkungan perumahan, apakah Manika memasuki hutan? Apakah mungkin dia menuju ke sungai dan_" Wening tidak lagi sanggup untuk melanjutkannya.

Sekarang sedang turun hujan yang sangat lebat. Biasanya, sungai Balwanadanawa akan naik dan siapapun tidak boleh datang ke sana. Jika terpeleset, maka mereka akan terjatuh dan terhanyut bersama dengan air itu.

"Aku yakin Manika ada di sekitar sini," jawab Ranajaya.

Lalu, mereka menemukan dua orang yang tengah berjalan. Ranajaya menemui mereka dan bertanya, "Bi, apakah Bibi melihat Manika?"

Wanita tua itu menggelengkan kepalanya. "Kami tidak melohat siapapun."

"Tolong ingat lagi," kata Wening yang sudah bersama mereka.

Sekali lagi, wanita itu menggelengkan kepalanya. "Tidak. Kami tidak melihat siapapun. Ayo, Asih. Kita harus bergegas."

Lalu, Asih dan Ibunya berjalan meninggalkan rombongan orang yang sedang mencari Tatjana itu. Asih menatap Wening ddgan tatapan sedih. Sangat ingin ia mengatakan keberadaan Manika. Namun, mereka pasti akan kembali ditangkap dan ia akan dibawa ke istana.

"Maafkan aku, Ajeng," kata Asih dengan suara yang sangat kecil.

***

Di istana, Kasim Aswanara sudah siap dengan pakaian perang dan pedang di tangannya. Hari ini rmrurhn hujan yang sangat lebat. Namun, hal itu tidak akan mempengaruhi mereka semua. Mereka akan segera pergi ke desa yang mengalami perampokan. Kasim hanya merasa sedikit tidak tenang. Entah mengapa, ia selalu terpikir akan Manika.

Sang raja yang melihat hal itu pun berjalan mendekati Kasim dan berkata, "Ada yang mengganggu pikiranmu?"

"Yang Mulia," sapa Kasim sambil menundukkan kepalanya. "Aku memikirkan putriku."

Kasim dan sang raja memang sudah berteman bahkan sejak mereka masih di dalam kandungan. Maka dari itu, jika hanya ada mereka berdua, sang raja meminta Kasim untuk tidak menggunakan bahasa formal.

"Manika Yuagni?" tanya sang raja.

Baratha sangat mengingat putri dari panglima perang sekaligus sahabatnya ini. Ketika masih kecil, ia sering melihat Manika bermain dengan putra mahkota. Manika adalah seorang gadis yang sangat pintar, bahkan untuk usianya pada saat itu.

"Sejak apa yang terjadi padanya di hutan, dia sedikit berbeda. Tapi aku yakin dia adalah putriku," jawab Kasim. "Entah mengapa, kali ini aku merasa sangat berat untuk meninggalkannya. Mungkin karena aku tidak berpamitan secara langsung dengannya."

"...."

"Sekarang aku melihat hal berbeda darinya. Sekarang, dia jauh lebih hangat dan sering membuat semua pelayan tertawa. Aku tidak tahu apakah ini hal baik atau buruk," kata Kasim lagi.

"Kau memiliki waktu jika ingin berpamitan dengannya, Kasim," jawab Baratha. "Dia adalah putriku dan satu-satunya yang kau miliki di dunia ini."

Kasim menggelengkan kepalanya. "Manika pasti mengerti semua ini. Dia selalu memintaku untuk pergi berperang setiap kali Balwanadanawa dalam bahaya."

Baratha tersenyum. "Dia bahkan menjadi yang paling kuat saat istrimu meninggal."

"Benar, Yang Mulia," jawab Kasim sambil tersenyum.

Permata Dari RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang