BAB 9

592 94 17
                                    

Prabudewa Taraka Karnasankara Adiwignyarga menuruni kuda hitam miliknya dan berjalan menaiki tangga istana utama Balwanadanawa. Istana utama adalah kediaman raja dan ratu, dan juga menjadi pusat pemerintahan Balwanadanawa. Lingkungan istana utama Balwanadanawa memiliki tempat yang sangat luas, karena di sini lah semua kesibukan para menteri terjadi. Ia langsung menuju ke bangunan payon omah milik ibunya yang terletak di bagian dalam istana utama.

Taraka memang memilih untuk pulang lebih awal, karena ia ingin menyiapkan sesuatu. Namun, karena terlalu asyik menyiapkan hal itu, ia justru lupa waktu dan tiba lebih lambat dari rombongan istana.

"Dimana sang ratu?" tanya Taraka kepada salah satu dayang yang bertugas di payon omah ibunya.

Dayang itu menundukkan kepalanya dan menjawab, "Sang ratu sedang berada di kamarnya, Pangeran."

Tanpa menjawab apapun lagi, Taraka berjalan meninggalkan dayang itu. Ia sangat merindukan ibunya. Untuk pertama kali sejak bertahun-tahun, ia akan menemui ibunya lagi. Senyuman mengembang di wajahnya dan ia menyentuh sebuah hadiah yang sudah ia persiapkan untuk ibunya, yang ia simpan dibalik jubah yang ia kenakan.

Koridor payon omah ibunya terlihat sangat sepi, mungkin ibunya sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Ketika tiba di depan pintu kamar ibunya, ia mengetuk pintu itu dan menunggu. Ada sebuah peraturan di dalam istana, peraturan yang melarang seorang putra memasuki payon omah ibu mereka setelah menginjak usia tujuh belas. Peraturan itu juga berlaku untuk Taraka, karena peraturan di dalam istana Balwanadanawa tidak pernah memandang status.

Ditatapnya langit Balwanadanawa yang selalu saja terlihat sangat indah. Langit hari ini begitu cerah, namun suasana sangat sejuk. Udara Balwanadanawa tidak pernah melukai kulit rakyatnya. Semua hal itu membuat Taraka sangat mencintai tanah kelahirannya ini, dan selalu berusaha untuk mempertahankannya.

Taraka berbalik menatap pintu payon omah milik ibunya yang belum juga terbuka. Ia menarik dan menghembuskan napasnya karena ibunya tidak kunjung keluar. Sekali lagi ia mengetuk pintu itu. Apakah ibunya sedang tertidur? Apakah ibunya tidak mendengar suara ketukan pintu ini?

Apakah ibunya lupa kalau hari ini adalah hari dimana ia akan kembali ke istana?

"Ibu?" panggil Taraka. "Apakah Ibu ada di dalam?"

Kemudian, beberapa detik kemudian, pintu itu terbuka, memperlihatkan ibunya yang terlihat sangat anggun. Taraka tersenyum, meskipun ia adalah seorang pangeran yang sangat dingin dan haus darah di medan perang, namun ketika berhadapan dengan ibunya, ia akan selalu menjadi putra yang baik.

"Ibu," kata Taraka sambil menggenggam hadiah yang ia persiapkan untuk ibunya.

"Untuk apa kamu datang kemari? Untuk apa kamu kembali?" tanya Ibunya. Kemudian yang mulia ratu Ayunisari menatap semua dayang yang ada di belakangnya. "Aku ingin bicara berdua dengan sang pangeran tanpa gangguan dari siapapun."

Setah itu, semua dayang di sekitar mereka mundur dan pergi. Sekarang, hanya ada mereka berdua di sini.

"Ibu, kulo tiba di kadhaton setelah bertahun-tahun melakukan perang. Kulo pulang karena merindukan Ibu," kata Taraka.

Ayunisari menatap Taraka. Jika Taraka menatap ibunya dengan tatapan lembut, maka Ayunisari membalas tatapan itu ddngan dingin. "Ibu tidak menginginkan kamu untuk kembali."

Tangan Taraka yang sedari tadi berada di balik jubahnya terjatuh. Ia tidak mengerti dengan ucapan ibunya. Ia masih sangat ingat, ketika usianya delapan belas, ketika ibunya memintanya untuk pergi berperang. Meskipun ibunya tidak pernah bersikap lembut, namun Taraka tetap mencintai ibunya. Ia bahkan menyanggupi keinginan ibunya dan sangat ingin membuat ibunya merasa bangga dengannya. Maka dari itu, dengan kemampuan beladiri dan kepintaran yang ia miliki, Taraka mengikuti rombongan untuk menjaga perbatasan Balwanadanawa.

Permata Dari RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang