BAB 31

137 19 1
                                    

Malam itu, untuk pertama kalinya Tetua meminta pertemuan darurat untuk mengatakan apa yang baru saja ia ketahui. Perlu waktu satu jam untuk mengumpulkan semua orang, dan ketika sang raja sudah menduduki singgasananya, ia menatap semua orang yang datang. Para menteri dan juga orang-orang penting untuk kerajaan ini.

Akan tetapi, ada satu orang yang sangat ia inginkan untuk hadir. Kasim Aswanara, karena ini menyangkut putri dari sang panglima perang.

"Apa yang membuatmu harus mengadakan pertemuan darurat ini, Tetua?" tanya Baratha kepada tetua.

Tetua menundukkan kepalanya. "Maafkan kelancangan hamba, Yang Mulia. Pertemuan darurat ini tidak akan terjadi jika tidak ada hal yang sangat mendesak. Hamba menginginkan pertemuan darurat ini karena ingin menyampaikan sebuah perubahan yang dibuat langit melalui rasi bintang."

Semua orang diam, menunggu perubahan apa yang kini akan dibicarakan.

"Semuanya berawal dari beberapa Minggu ini. Ketika hamba memperhatikan bintang milik Sang Pangeran Mahkota, akan selalu ada bintang Ajeng Gayatri yang bersinar paling terang dan paling dekat dengan bintang sang pangeran. Namun, bintang Ajeng Gayatri meredup dan bergeser menjauh. Seiring dengan itu, ada sebuah bintang yang mendekat dan cahayanya sangat terang, seolah ingin melindungi bintang sang pangeran," jelas tetua.

Sedari tadi, ia hanya bicara kepada sang raja. Namun kini, ia menatap ke arah semua orang yang hadir. "Bintang tidak pernah salah dalam menyampaikan pesannya kepada kita semua. Hanya saja, ada orang yang mungkin bertanggung jawab akan semua ini."

Baratha terlihat bingung. "aku sudah mempelajari rasi bintang dan tidak pernah sekalipun mendengar atau membaca tentang keanehan ini."

Tetua kembali menundukkan kepalanya ke arah sang raja. "Benar, Yang Mulia. Hamba mencari tahu kebenarannya. Sebenarnya, bintang milik Ajeng Gayatri bukanlah yang paling terang untuk menemani bintang sang pangeran. Bintang yang kini kembali bersinar terang lah yang paling sesuai untuk menjadi calon ratu dari kerajaan ini."

"..."

"Ada beberapa orang yang mencoba untuk mendahului kehendak langit dengan berencana untuk membunuh sang wanita. Ketika kemungkinan untuk dibunuh menjadi sangat besar dan nyata, bintang milik seseorang akan menjauh dan meredup. Hamba sudah memastikannya, bahwa beberapa Minggu yang lalu, wanita ini benar-benar dibunuh. Namun, langit mengembalikan semua ceritanya. Sebaik apapun kita manusia merencanakan hal yang bertentangan dengan keinginan langit, langit akan mematahkannya."

"Sang wanita tidak mati. Sang wanita justru kembali hidup dan sinarnya kembali, bahkan menjadi lebih terang. Dan bintangnya kembali ke tempatnya, di sisi bintang sang pangeran," tutup Tetua.

Setelah itu, kegelisahan mulai terjadi. Tetua hanya menatap rombongan yang berdiri di hadapan sang raja itu. Sejak lama, ia merasa kalau ada banyak sekali kepalsuan dari semua orang itu.

"Apakah wanita itu berada di istana ini?" tanya Baratha.

Tetua menganggukkan kepalanya. "Lagi-lagi langit mendekatkan mereka berdua. Yang Mulia.. wanita itu kini menjadi dayang untuk sang pangeran. Hamba sudah mencari tahu melalui tanggal lahir Pangeran Mahkota dan juga sang wanita. Tanggal baik untuk pernikahan adalah tiga hari lagi. Kita harus segera melangsungkan pernikahan kerajaan, Yang Mulia."

"Siapa wanita itu?" tanya seseorang dari rombongan menteri.

"Putri dari Panglima Perang Kasim Aswanara yang kini sedang berperang," jawab Tetua.

***

Tatjana dipaksa untuk berjalan menuju ke sebuah Payon Omah yang tidak pernah ia datangi. Payon Imah itu terlihat sangat indah, namun kosong seolah tidak dihuni untuk waktu yang lama.

Dari dalam, ia melihat Dayang Nimas yang berjalan turun dan menuju ke arahnya. Ia lalu berpikir, setiap kali dirinya melakukan kesalahan, pasti Dayang Nimas yang akan menghukumnya.

Apakah kini ia kembali membuat kesalahan?

"Biar aku yang mengurusnya," kata dayang Nimas kepada dua orang dayang yang membantu Tatjana untuk ke sini. Setelah mereka pergi, dayang Nimas kembali berkata, "ikutlah denganku."

Mereka berjalan masuk dan Dayang Nimas segera membawanya ke tempat pemandian yang ada di bangunan ini. Sudah ada air di dalam kolam dan ia mencium aroma yang sangat wangi juga menenangkan.

"Kulo akan membantu Ajeng untuk mandi dan mempersiapkan diri," kata dayang Nimas kepada Tatjana, membuat Tatjana berkerut tidak mengerti.

"Dayang.. tidak boleh bicara sangat formal kepada Kulo," kata Tatjana.

"Tidak setelah Ajeng menjadi calon istri dari sang Pangeran Mahkota. Pernikahan Ajeng akan digelar tiga hari lagi, dan ada sangat banyak persiapan yang harus Ajeng lakukan. Selama persiapan, Kulo yang akan menemani Ajeng," jawab Nimas sambil menundukkan kepalanya.

Tatjana berpikir kalau apa yang dikatakan oleh tetua hanyalah guyonan. Namun, ia merasa kalau semuanya benar ketika dayang Nimas bicara seperti ini kepadanya.

Ia tidak begitu mengenal dayang Nimas, namun tahu kalau dayang kepala ini sangat patuh dengan peraturan.

"Kulo tidak mengerti. Kulo cuma dayang dan sepertinya calon istri sang pangeran adalah Ajeng Gayatri. Sepertinya semuanya salah—"

Dayang Nimas menggelengkan kepalanya. "Sekarang ini, hanya kebenaran yang terungkap. Kulo tahu kalau Ajeng pasti sangat bingung. Namun tidak ada yang bisa dilakukan selain menerima semuanya. Langit sudah menggariskan Ajeng untuk menjadi calon ratu dan melahirkan penerus untuk tanah Balwanadanawa. Tidak ada yang bisa kita lakukan."

"..."

"Kita harus segera mandi, dan Ajeng sudah ditunggu oleh sang pangeran mahkota."

***

Tatjana ingin sekali bersikap tantrum dan kekanakan dengan pergi dari istana ini. Namun, ia tahu kalau hal itu hanya akan sia-sia karena sebelumnya, sudah beberapa kali dirinya mencoba untuk pergi. Lalu ketika dirinya sudah menjadi calon istri dari pangeran mahkota —meskipun ia masih tidak mempercayainya—pasti akan semakin sulit untuknya pergi.

Sekarang dirinya sudah mengenakan pakaian yang sangat cantik, lebih cantik dari pakaian milik Manika. Dan sekarang ia sedang berjalan bersama dengan datang Nimas menuju ke beranda Payon Omah ini. Di sana, sudah ada Taraka yang menunggu.

"Maaf tapi Kulo tidak bisa meninggalkan kalian berdua di sini. Bagaimanapun juga, Drastha dan Ajeng Manika belum resmi menikah. Kulo akan duduk bersama kalian," kata Nimas sambil menarik kursi dan duduk di tengah mereka berdua.

"Kamu bisa melakukan tugasmu, dayang Nimas," jawab Taraka. Lalu, ia menatap Tatjana. "Qiu. Aku harap semua ini tidak membuatmu terguncang."

Tatjana merasakan jantungnya berdebar dengan sangat kencang dan lagi-lagi ia tahu kalau ini adalah perasaan milik Manika. Apakah Manika mencintai pangeran mahkota?

"Kulo mau pulang," kata Tatjana. Kali ini, salah satu bagian di hatinya terasa marah.

Oh apakah Manika marah dengan ucapannya?

"Kulo mau pulang ke rumah Bapak," kata Tatjana lagi, dan rasa marah itu semakin besar.

Tatjana menatap Taraka dan juga Nimas, berusaha untuk mencari jawaban dari apa yang baru saja ia katakan. Namun, dua orang itu tidak bereaksi apapun, seolah mereka tidak mendengar ucapannya.

"Drastha, Kulo tidak mencintai Drastha dan tidak menginginkan pernikahan ini. Tolong izinkan Kulo untuk pulang," kata Tatjana.

Ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri kalau dirinya merasa takut. Menjadi dayang saja sudah sangat menakutkan. Apalagi menjadi istri dari pangeran mahkota?

Permata Dari RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang