BAB 3

899 120 8
                                    

Hentakan kaki kuda bergerak sayup dari kejauhan dan kian lama, suaranya kian dekat. Rombongan prajurit Balwanadanawa yang menunggangi kuda itu seolah membelah dataran rumput yang terhampar di hadapan mereka. Di baris paling depan antara rombongan itu, ada seorang lelaki yang menunggangi kuda yang juga terlihat paling besar dan gagah di antara kuda-kuda di belakangnya. Perawakan lelaki itu sangat tegas dan gagah, dengan baju besi dan pedang yang masih meneteskan darah di tangan kanannya. Matanya menatap nyalang ke depan dan di wajahnya ada banyak bercak darah kering, darah dari semua lawan yang tewas karena pedangnya.

Ketika tiba di batas kemah, ia menghentikan kudanya dan dengan mudah menuruni kuda itu. Perkemahan ini adalah tempat dimana para prajurit yang terluka mendapatkan pengobatan. Perang kali ini tidak terlalu sulit. Namun mereka jelas memiliki banyak prajurit yang terluka.

Ia berjalan dengan gagah, seolah perang yang baru ia jalani selama seminggu ini bukanlah hal yang melelahkan untuknya. Di belakangnya, Kasim Aswanara, sang panglima perang tersebut di Balwanadanawa mengikutinya.

"Hm.. kita menang dengan sangat baik," kata Kasim.

Kasim menatap prajuritnya yang sedang menerima pengobatan kemudian tersenyum sendiri. Mereka baru saja menerima luka pertama sejak dilahirkan, wajar saja kalau mereka meringis seperti itu. Jika luka yang mereka dapatkan sudah tidak bisa dihitung, rasa sakit dari luka tusuk hanya akan membuat alis sedikit berkerut.

Ia menatap ke depan lalu berjalan lebih cepat karena lelaki yang tadinya ia ikuti sudah menghilang di balik sebuah tenda kemah yang terlihat paling megah di antara kemah lainnya.

"Yang Mulia, kulo kembali dan membawa kemenangan. Kulo berhasil merebut daerah di timur dan memperbesar wilayah kekuasaan Yang Mulia," kata lelaki itu sambil menundukkan kepalanya.

Maharaja Barata Candrakumara Adiwignyarga tersenyum di atas kursinya ketika melihat sang putra mahkota memasuki kemahnya. Selama satu minggu ini, ia sangat khawatir. Ia tidak tahu bagaimana keadaan putranya, bahkan ia tidak diperbolehkan untuk mendekati wilayah perang karena putranya bersikeras agar dirinya tetap tinggal di perkemahan. Karena meskipun perang di timur bukanlah perang yang besar, namun pemimpin dari musuh mereka adalah orang yang sangat licik. Putranya khawatir kalau pemimpin musuh mereka akan membunuh dirinya dengan cara yang licik.

"Bagaimana keadaan para prajurit?" tanya sang raja.

"Banyak yang terluka, namun banyak juga yang baik-baik saja," jawab putranya.

Sang raja tersenyum. "Bagaimana keadaanmu?"

"Kulo baik-baik saja, Yang Mulia," jawab Putranya.

Prabudewa Taraka Karnasankara Adiwignyarga masih menundukkan kepalanya ketika sang raja  membantunya untuk berdiri. Ia menggigit bibir bagian dalamnya ketika sang raja meremas bahu kirinya karena di sana, ia mendapat luka yang cukup dalam.

"Aku sudah berada di medan perang selama hampir separuh usiaku, dan hanya dengan melihatmu saja, aku sudah tahu kalau kamu terluka, Putraku." 

Taraka kembali menundukkan kepalanya. "Kulo mendapat sebuah goresan ketika berhadapan dengan pemimpin musuh di timur."

"Kamu harus memulihkan tubuhmu terlebih dulu."

Taraka menggelengkan kepalanya. "Kulo akan mempersiapkan diri untuk perang di selatan, Yang Mulia."

Bukan pemulihan yang ia butuhkan sekarang, ia harus mempersiapkan diri untuk perang yang akan mereka lakukan dalam waktu dekat. Perang terakhir pada masa ini, perang di bagian selatan Balwanadanawa. Perang yang lebih besar dari perang-perang yang sudah mereka lakukan. Mereka harus merebut daerah kekuasaan di bagian selatan, agar Balwanadanawa bisa menjadi sebuah kerajaan yang kukuh dan besar.

Permata Dari RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang