BAB 29

142 19 0
                                    

"Di mana Dayang Manika?" tanya Taraka kepada Mo setelah mereka kembali ke Payon Omah Denawa.

Ia menyelesaikan pembicaraannya dengan Gayatri dengan cepat, karena memang mereka tidak diperbolehkan untuk bertemu tanpa seizin dari para tetua.

Sebentar lagi, dirinya harus menemui para tetua untuk mempelajari lebih dalam tentang rasi bintang, pelajaran yang sangat tidak ia sukai. Lalu, satu detik kemudian dirinya tersenyum kecil ketika mengingat Qiu-nya yang sangat kelelahan ketika mengajarinya tentang rasi bintang.

"Dayang Manika sedang dalam perjalanan menuju ke sini, Drastha. Karena tadinya dia sedikit kurang sehat," jawab Mo.

Mo sama sekali tidak tahu kalau ucapannya tadi membuat sang pangeran berbalik dengan sangat cepat dan menatapnya. Ia tahu kalau pangeran yang ada di hadapannya ini adalah orang yang sudah ia jaga untuk seumur hidupnya. Namun sang pangeran mahkota adalah seorang pangeran yang sangat tampan, bahkan terkadang dirinya sendiri sangat terkesima dengan ketampanan dan kegagahannya.

"Dia sakit?" tanya Taraka. "Mengapa kau tidak memberitahuku, Mo?"

Mo mengerutkan keningnya. "Drastha tidak perlu tahu kalau ada salah satu dayang yang sakit, Drastha.."

"Aku.. harus tahu tentang Manika," jawab Taraka, membuat Mo mengerutkan keningnya semakin dalam. Ia semakin tidak mengerti dengan ucapan sang pangeran mahkota.

"Drastha.." kata Mo perlahan. Lalu, ia merasa kalau seisi kepalanya terisi penuh karena satu hal. "Apakah.. Apakah Manika adalah gadis yang sama dengan putri dari Panglima Perang Kasim Aswanara? Apakah Dayang Manika adalah Manika Yuagni, Qiu-nya Drastha?"

Taraka tersenyum karena pada akhirnya, Mo yang mengikuti kehidupannya sejak ia masih kecil pun mengerti. Akhirnya, ada orang lain yang mengingat Manika selain dirinya. Hal itu membuatnya yakin kalau Manika memang ada di sini sekarang.

"Kamu mengingatnya?" tanya Taraka.

Mo menyadari sebuah senyuman di wajah Raden Mas Pangeran Prabudewa Taraka Karnasankara Adiwignyarga, pangeran mahkota yang sudah ia jaga itu. Senyuman yang tidak pernah lagi ia lihat semenjak ulang tahun ke tujuh belas sang pangeran. Satu-satunya orang yang dapat menerbitkan senyuman itu hanyalah Manika Yuagni, dan kini, wanita itu juga yang mendatangkan lagi senyuman itu.

Lama sekali Mo terdiam karena sekarang, situasinya tidak lagi sama seperti dahulu. Mana bisa ada dua kisah dalam keihidupan sang pangeran  mahkota?

Ia masih saja terdiam ketika pintu Payon Omah Denawa kembali terbuka dan Manika memasuki Payon Omah itu.

"Drastha mencariku?" tanya Tatjana sambil menundukkan kepalanya, merasa kalau apa yang ia ucapkan dan lakukan sudah sangat benar.

"Berapa kalipun Kulo berusaha untuk menerimanya, tapi kulo merasa kalau Manika telah kehilangan semua tatakrama yang sangat ia kuasai, Drasha," kata   Mo sambil menggelengkan kepalanya, tidak mengerti mengapa seseorang bisa berubah seperti ini.

Taraka tidak menghiraukan ucapan Mo, karena sekarang ia hanya memperhatikan Manika. "Kamu sudah lebih baik?"

"Sudah," jawab Tatjana. Ia tidak berbohong. Ia benar-benar sudah sehat bahkan sebelum dirinya tiba di Payon Omah untuk para dayang.

"Aku bisa membawamu ke tabib untuk memeriksakan kesehatanmu."

Tatjana menggelengkan kepalanya. "Kulo siap untuk membantu Pangeran."

Karena lehernya terasa pegal, akhirnya Tatjana memutuskan untuk mengangkat kepalanya dan menatap sang pangeran mahkota. Pada saat itu pula, hatinya terasa begitu sakit, membuatnya kembali memegangi dadanya dan meringis.

"Qiu?" panggil Taraka sambil memegangi tangan Tatjana.

Sementara Tatjana sedang berusaha untuk bernapas dengan benar. Kini, tangannya menggenggam erat tangan Taraka dan Tatjana merasa kalau rasa sakit yang ia rasakan sekarang berbeda dari yang sebelumnya. Rasa sakit ini seolah adalah lambang dari sebuah kerinduan yang mendalam, sehingga membuat Tatjana tidak bisa bernapas.

Apakah ini adalah perasaan milik Manika?

Apakah Manika merindukan pangeran ini? Apa yang terjadi di antara Manika dan pangeran mahkota?

"Mo," panggil Taraka. "Aku akan terlambat datang ke Payon Omah Tetua. Aku harus mengantarkan Manika ke tabib terlebih dahulu."

Tidak seharusnya Mo mengiyakan ucapan sang pangeran. Namun, dari nada bicaranya, Mo tahu kalau itu adalah titah yang harus ia patuhi. Ia tidak bisa mengatakan apapun ketika sang pangeran mengangkat tubuh Tatjana dan pergi dari sana menggunakan kuda.

"Dewa.. apa yang akan terjadi?" tanya Mo ketika ia menyaksikan semua itu.

Mau tak mau, ia harus bertemu dengan seseorang dan menceritakan semuanya. Ia berbalik untuk menuju ke pintu keluar. Saat ia sudah berada di luar, ia melihat rombongan Bhanuwati tiba di Payon Imah Denawa.

"Eyang Ratu.." kata Mo. Ia memang akan menemui Bhanuwati. "Eyang ratu.. bisakah Kulo bicara?"

Bhanuwati terlihat bingung, namun ia meminta semua orang untuk pergi, hingga hanya ada mereka berdua di sana.

"Eyang Ratu.. Kulo merasa kalau akan ada hal besar yang terjadi di Balwanadanawa. Bagaimana jika Sang Pangeran Mahkota menciptakan keributan?" tanya Mo dengan sangat gelisah. "Bagaimana bisa sang Pangeran memiliki dua kisah, Eyang Ratu?"

***

"Ajeng," panggil Sri sambil memegangi tubuh Gayatri ketika ada seekor kuda berlari membawa dua orang di atas punggungnya. "Bolehkah seseorang menunggangi kuda dengan sangat cepat seperti itu di lingkungan istana?"

Gayatri juga cukup terkejut dengan kejadian itu. Namun, hal yang membuatnya lebih terkejut adalah tentang sosok yang sedang menunggangi kuda itu. Ia tahu siapa mereka berdua.

"Ajeng?" Panggil Sri lagi. "apakah kita harus melaporkannya kepada Pangeran Mahkota? Tindakan tadi jelas berbahaya. Apalagi kalau Ajeng terkena tendangan kuda itu. Siapapun pasti akan dihukum mati karena sudah melukai calon ratu dari kerajaan ini."

"Tidak perlu," kata Gayatri pelan.

Ia masih tidak menyangka dengan apa yang baru saja ia lihat.

Sudah bertahun-tahun berlalu sejak terakhir kali sang pangeran mahkota dengan Manika bertemu. Namun, apakah mereka masih menyimpan perasaan yang sama?

Lalu, mengapa Manika mengenakan pakaian dayang dan mengenakan tusuk konde dayang Pangeran?

Ia menggigit bibir dalamnya. Sebagai seseorang yang sudah dipersiapkan untuk menjadi calon ratu, ia tidak bisa menunjukkan emosinya. Namun sekarang, ia khawatir.

Bagaimana kalau usahanya selama ini tidak berhasil?

Bagaimana kalau langit tetap menginginkan hal yang sebenarnya? Mengapa langit tidak merestuinya hingga kini?

Bersambung

Permata Dari RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang