Pemakamapan hari itu diiringi dengan hujan deras yang mengguyur kota. Kakashi termenung melihat makam sahabatnya, Obito.
Obito meninggal dunia setelah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Sebelum pergi, Obito berpesan pada Kakashi jika dunia yang ia tinggali sekarang hampa, dan menurutnya kehampaan lebih menyakitkan dibanding seluruh pandangan kebencian yang ia terima saat kecil.
Rin—sahabat Obito dan Kakashi, mati terbunuh akibat pembunuhan yang dilakukan berandalan didekat rumahnya. Tidak ada yang menyangka atas kepergian gadis itu.
"Hey Kakashi" Minato menepuk pundak kanan Kakashi berusaha menenangkan.
Dosen pembimbing Kakashi itu hanya bisa mengelus pelan pundak mahasiswa yang ia bimbing. Lidahnya kelu untuk berucap. Minato tahu,apapun yang ia katakan tidak akan bisa mengubah keadaan, keadaan yang membuat Kakashi termenung seperti ini.
.
.
.
Kehidupan memang kejam, berapapun rasa sakit yang diberikan dunia, kita tetap dipaksa untuk terus bertahan hidup.Kakashi tahu itu. Kesadaran dimana hidup yang ia jalani terasa semakin mencekik dan memuakkan. Tidak ada yang berubah atas kematian Obito maupun Rin. Semua orang tetap berkegiatan, banyak orang tetap bisa bersenda gurau. Apa hidup memang sekejam ini?
"Sahabatku Kakashi, mau makan gorengan bersama?" Might Guy, pria berambut mangkok ini tidak pernah meninggalkan Kakashi sendiri. Kakashi hanya melepaskan rangkulan tangan Guy dari pundaknya.
Baik Guy, Kurenai, maupun Asuma tidak tahu lagi apa yang harus mereka lakukan. Tentu Kakashi tetap menjadi mahasiswa berprestasi, dia bahkan mampu mempertahankan ipk nya di 3,9 pada semester akhir ini.
Tetapi, Kakashi hanya seperti mayat hidup berhati dingin yang mereka tidak kenali. Sering mereka melihat perlakuan kasar Kakashi pada temannya yang ia pikir tidak bekerjasama dengan benar. Hal sesepele mungkin dapat memancing amarah pria berambut putih itu.
Minato menaruh minuman kaleng bersoda diatas meja taman yang Kakashi duduki.
"Waktu istirahat itu lebih baik dihabiskan dengan teman-temanmu, Kakashi! Kau tahu, otak juga butuh istirahat untuk dapat meningkatkan performanya kembali. Menurut survey, orang yang menyempatkan waktu beristirahat ditengah pembelajarannya meskipun hanya 15 menit, memiliki performa yang lebih baik dibanding orang yang belajar nonstop tanpa henti."
"Aku tahu, tapi aku tidak ingin." Minato hanya menghela napas pelan atas jawaban ketus mahasiswanya itu. Dilihatnya pergelangan tangan Kakashi yang semakin memiliki banyak luka sayatan.
Minato ingin menolong, tentu saja sebagai dosen pembimbing sudah kewajibannya untuk dapat menjadi orang tua pengganti para bimbingannya. Tetapi memang sulit menolong orang yang tidak ingin ditolong.
Berbagai cara sudah ia sarankan, mulai dari ke psikolog kampus, memberikan tiket liburan, atau meminta kawan-kawan Kakashi untuk jangan menyerah padanya. Tapi semua cara itu tidak membuahkan hasil.
"Libur akhir semester nanti, apa yang akan kau lakukan?" Mengabaikan pemikiran penuh di kepalanya, Minato bertanya basa-basi.
"Entahlah, seperti biasa, aku akan belajar. Aku akan cepat menyelesaikan perkuliahanku ini agar aku dapat melanjutkan hidup ke jenjang berikutnya lebih cepat."
"Bagaimana jika kau ikut ke kampung halamanku? Disana masih sangat asri sekali. Istri dan anakku tinggal disana. Mereka bilang kota itu sumpek. Akan aku kenalkan kau pada mereka. Naruto dan Kushina pasti akan senang sekali." tawar Minato antusias.
"Tidak, pak. Terima kasih atas tawarannya. Saya permisi." Kakashi membereskan barang-barang dan menuju kelas berikutnya.
.
.
.
Libur semester pun tiba. Seperti rencana sebelumnya, Kakashi mengawali hari dengan rutinitas hariannya kemudian bersiap untuk belajar. Kegiatannya berhenti manakala ia mendengar suara bel rumah berbunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Healing [KakaNaru]
Romance[Selesai] Terkadang, hewan buas justru ada di aliran air paling tenang. Sama halnya seperti depresi yang kakashi rasakan. Kematian sahabatnya membuat dunianya seakan menggelap. Sampai ia bertemu bocah itu.. Bocah yang menyelamatkan dirinya.