3

4K 426 78
                                    

Hari ini, Naruto mengajak Kakashi untuk pergi menemui kakek yang dibicarakan Naruto semalam. Namanya Jiraya.

Perjalanan menuju tempat tinggal Jiraya bisa dibilang cukup menanjak dan terjal. Bahkan Kakashi dan Naruto tak bisa menggunakan sepeda sehingga mereka harus rela berjalan kaki.

Naruto terlihat sudah biasa dan bersemangat, ia bahkan terus berteriak memanggil Kakashi yang sudah kehabisan napas untuk mengejar bocah itu.

"Kakak, ayo cepatlah! Kau ini badannya terlihat kekar, tapi kok gampang cape. Ayo ayo kejar Naru." teriak Naru yang berada cukup jauh di depan Kakashi.

Masih berusaha meraup oksigen sebanyak-banyaknya, Kakashi terlihat ingin menyerah untuk mengejar anak itu.

"Naru, kau duluan saja. Aku akan menyusul. Aku sudah tidak kuat lagi." balas Kakashi dengan susah payah.

Naruto diam sebentar dan kembali ke belakang untuk menemani Kakashi. "Naru cuma bercanda kok. Naru gak akan duluan, ambil waktu yang kakak butuhkan sebanyak-banyaknya. Gak perlu buru-buru."

Kakashi menatap wajah riang anak itu. Mungkin untuk Naruto, itu hanyalah perkataan biasa mengenai perjalanan menuju pegunungan yang terjal. Tetapi untuk Kakashi, perkataan itu seperti pengingat untuk dirinya yang selalu merasa diburu waktu.

Mereka pun duduk untuk minum dan beristirahat sejenak. Kakashi kembali memikirkan perkataan Naruto.

Di umurnya yang terbilang tak lagi remaja ini, ia semakin memikirkan banyak hal.

Apa yang ingin dia lakukan di maaa depan? Apa yang sebenarnya dia capai? Dan pertanyaan yang paling menghantui Kakashi, Apakah penderitaan akan terus ia rasakan?

Hasil dari buah pemikiran-pemikiran itu membuat Kakashi mengikuti mengikuti Hustle Culture. Dimana ia akan kerja gila-gilaan yang berujung burnout.

Kakashi tahu dengan kebiasaan buruknya itu, tapi ia tak mampu untuk berjalan perlahan lagi. Lebih tepatnya ia mungkin sudah lupa caranya.

Kekhawatirannya menghantui setiap hari. Di sisi lain, ia juga merasa menyibukkan diri dapat membuatnya sedikit lupa dengan trauma yang ia alami.

Setelah Kakashi merasa mampu untuk melanjutkan perjalanan, mereka berdua pun kembali menuju kediaman Jiraya.

Rumah pria tua itu terlihat sangat sederhana. Gubuk berukuran sedang yang tak terlalu kotor tapi juga tak terlalu rapi. Cukup untuk ukuran pria tua yang tinggal sendiri.

"Kakek Jirayaa! Naru dataang."

Entah memang Naruto memiliki kebiasaan untuk berlari memeluk orang dari kejauhan, atau mungkin hanya orang tertentu saja. Entahlah, tapi Kakashi merasa sedikit cemburu.

Jiraya terlihat menangkup Naruto kemudian mendudukkannya di pundak lebar. "Kau berisik seperti biasa." ujar Jiraya yang hanya dibalas tawa renyah Naruto.

"Ah, Kakek kenalkan ini kakak Kakashi. Dia murid ayah dari kota. Dia tampan, baik hati, kuat, dan penyayang."

Naruto mengenalkan Kakashi pada Jiraya. Kedua tangan berpaut untuk saling mengenal. Pandangan mereka terkunci dalam diam. Jiraya tersenyum menatap wajah Kakashi seksama tanpa melepas tautan tangannya.

Kakashi menatap tatapan Jiraya heran. "Ada apa, pak?"

"Jangan menyimpan kesedihan itu sendiri." Ujarnya yang kemudian melepas tautan tangan dan berlar menuju Naruto.

Kakashi mematung atas pernyataan Jiraya. Bagaimana pria tua itu menganalisis dengan mudah? Tak heran Naruto bisa sedewasa ini jika bergaul dengan pria tua yang misterius.

Healing [KakaNaru]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang