8

3K 327 15
                                    

"Ayah, kenapa kita harus terluka?" Tanya bocah yang sedang menikmati es lilin berwarna biru.

"Agar kita bisa belajar dan bangkit, Kakashi. Terluka itu proses menuju kedewasaan. Saat kita terluka dan mampu melewatinya, saat itulah seorang manusia menaiki tangga kedewasaan." Ujar Sakumo mengelus surai anaknya.

"Kalau setiap manusia memiliki lukanya masing-masing, lantas kenapa kita harus repot mengurus luka orang lain? Bukankah untuk menyembuhkan diri sendiri saja sudah sulit, ya? Kenapa kita harus menambah hal merepotkan lagi?" Tanya bocah itu lagi.

"Karena menolong orang lain itu sama seperti menolong diri kita sendiri, Kakashi. Bagaimana perasaanmu ketika dapat membantu orang lain? Senang bukan?"

Kakashi menggeleng. "Biasa saja."

Jawaban polos itu membuat Sakumo tertawa. "Itu berarti kau belum benar-benar melakukannya dengan hati."

Bibir kecil mengerucut. Tak terima atas pernyataan yang ayahnya ucapkan. "Apa buktinya kalau menolong orang lain akan membuat kita juga bahagia?"

Sakumo memutar otak. Anaknya pasti tak akan puas jika hanya mendapat jawaban klasik seputar perasaan. Logikanya jauh lebih dominan daripada perasaan.

"Begini Kakashi, kau suka pelajaran kimia kan? Kau pasti tahu kalau otak lah yang sebenarnya mengirimkan sinyal kebahagiaan, dan hormon adalah pemicunya. Salah satu hormon penting yang berperan untuk kebahagiaan adalah hormon oxytocin atau biasa disebut 'the love hormone'. Menurut penelitian, melakukan kebaikan, berbagi cerita, dan sentuhan fisik adalah kegiatan yang mampu memicu produksi hormon oxytocin ini. Kalau begitu, sekarang kau percaya hipotesis ayah 'kan?" Ujar Sakumo panjang lebar.

Kakashi tertawa. Ia sudah tidak bisa menyangkal jawaban logis dari ayahnya jika sudah mengangkut science. "Kau memang satu-satunya orang yang mampu memuaskan rasa penasaranku, ayah."

Sang bocah memeluk ayahnya senang. Merasakan kehangatan dari tubuh sang ayah. Sosok yang menurutnya tak akan pernah tergantikan.

.
.
.

Netra hitam Kakashi terbuka perlahan, berkedip menyesuaikan cahaya mentari yang masuk melalui jendela.

Tangannya meraba ke samping. Lagi-lagi Naruto tidak ada di sampingnya.

Akhir-akhir ini, Kakashi sulit sekali menemukan Naruto ketika ia bangun tidur. Entah Naruto lebih dahulu bangun untuk sarapan, atau ternyata sedang ke kamar kecil, atau bahkan ia temukan sedang rebahan di sofa ruang tamu.

Sudah hampir tiga bulan Kakashi menghabiskan masa liburannya di desa Konoha. Dan ia dengan bangga dapat mengatakan kondisi mentalnya membaik dari hari-kehari.

Ia tak lagi bermimpi buruk. Tak lagi melakukan self-harm, tak lagi mendengarkan pikiran-pikiran negatif yang berkecamuk dalam otaknya, dan ia lebih bisa mengekspresikan perasaannya.

Ketika ia sedih ia menangis. Ketika senang ia tertawa. Ketika marah ia juga dapat mengekspresikannya. Tidak seperti dulu.

Hal ini tentu berkat mataharinya yang tak pernah lelah mengatakan bahwa semua perasan yang Kakashi rasakan itu valid dan tak perlu dipendam. Efeknya ternyata lebih menakjubkan dari yang Kakashi kira.

Kaki jenjangnya memaksakan diri untuk bangkit. Ia berjalan pelan keluar kamar sembari menguap untuk mencari Naruto.

Tak lama, bocah bersurai pirang itu Kakashi temukan di kebun bunga. Memegang keranjang dari anyaman rotan yang sudah berisi berbagai jenis bunga berwarna putih.

Bocah itu menengok merasakan kehadiran Kakashi. "Eh, kak? Sudah bangun? Kemari, lihat bunga yang Naru petik hari ini."

Kakashi berjalan untuk menghampiri sang bocah. Ia langsung memeluk tubuh Naruto dari belakang. Perbedaan tinggi badan mereka membuat Kakashi harus bertekuk lutut untuk melingkarkan lengannya pada pinggang Naruto.

Healing [KakaNaru]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang