"Ayah, bagaimana kau bisa jatuh cinta?"
Sakumo menengok pada bocah berambut perak dalam gendongan punggungnya. "Hmm, jika kau bertanya seperti itu ayah juga tidak tahu. Memangnya apa alasanmu tiba-tiba menanyakannya, Kakashi?"
Sang bocah terlihat menghela napas. "Aku hanya bingung, ayah. Kenapa banyak gadis yang mengajakku berkencan? Maksudku bukannya hal itu merepotkan? Bagaimana nanti waktu belajarku terganggu ketika mereka merengek yang aneh-aneh. Mereka itu kan suka tidak jelas."
Sakumo tertawa. "Aku pernah dengar kalau orang cerdas itu sulit jatuh cinta. Aku tak menyangka kalau akan bertemu dengannya dalam sosok anakku sendiri. Begini Kakashi, ayah tak akan memaksamu untuk jatuh cinta ataupun berpasangan jika kau tak ingin. Bahkan jika sampai tua kau memilih untuk tak menikah pun ayah tak apa. Orang tua itu ya, yang paling penting untuk mereka ya kebahagiaan anak mereka sendiri."
Kakashi mengistirahatkan dagu pada pundak lebar sang ayah. "Benarkah? Ayah tak kecewa?"
"Orang tua pasti ingin anaknya bahagia. Zaman dahulu kan pernikahan itu memang pencapaian tertinggi banyak orang. Tapi kalau sekarang 'kan berbeda. Dibandingkam melihatmu menikah tapi sengsara, lebih baik melihatmu sendiri dan bahagia."
"Lalu kenapa kau memilih ibu?" Tanya sang bocah penasaran.
"Karena cinta. Haha. Kau pasti tak puas dengan jawabanku bukan? Tapi aku juga tak mampu menjelaskannya. Yang jelas, aku tahu dia akan menjadi ibu yang baik bagimu jika masih ada. Aku juga senang untuk menghabiskan waktu hidupku bersamanya."
Kakashi terlihat murung. "Maafkan aku. Jika aku tak lahir, mungkin ibu masih tetap ada bersamamu."
Sakumo menggeleng. "Tidak, Kakashi. Bagiku, kau adalah hadiah terbaik yang bisa ibumu berikan. Ayah percaya setiap manusia punya waktunya masing-masing, termasuk ibumu. Jika kau tak ada pun ia akan tetap pergi karena tugasnya di dunia sudah selesai. Tapi aku bersyukur, Tuhan menghadiahkanmu untukku."
Sakumo terdiam sejenak. "Kau pernah dengar, Kakashi? Every human being is a puzzle of need. Kalau kau mampu untuk menjadi bagian dari puzzle yang hilang itu, mereka akan memberikanmu segalanya."
Kakashi menggeleng. "Tidak, ayah. Memang apa maksudnya?"
"Kau akan mengerti ketika sudah besar. Ketika kau pikir tidak membutuhkan siapapun lagi, tetapi kau menemukan satu-satunya orang yang bisa mengisi puzzle di hatimu itu. Kau akan mencintainya sepenuh hati. Contohnya, ayah punya teman wanita yang memberikan segalanya untuk sang kekasih padahal sang lelaki hanyalah pria miskin dan tak terlalu tampan. Ayah baru menyadari, hanya pria tersebut yang bisa memberikan kebutuhan yang teman ayah butuhkan."
Sang anak terdiam mendengarkan. "Apakah jatuh cinta itu indah, ayah?
Sakumo mengangguk pelan. "Indah pada orang dan waktu yang tepat, Kakashi. Tapi sebelum mampu mencinta orang lain, ada yang harus kita lakukan."
"Apa itu, ayah?"
"Cintai dirimu sendiri."
.
.
.Hembusan angin menerbangkan surai perak sang pria yang sedang terpejam. Dihirupnya udara segar khas pedesaan.
Kakashi sedang duduk di saung dekat kebun Kushina. Ia menunggu Naruto yang berkata ingin memberinya sesuatu. Bibirnya tersenyum setiap membayangkan wujud bocah itu.
Senyumnya. Tawanya. Mata birunya. Rambut halusnya. Semua yang ada padanya, mampu menimbulkan senyum pada wajah tampan itu.
Bocah itu bagai air yang memberikan Kakashi kehidupan baru. Ia bahkan secara tak sadar berhenti merokok. Selain karena ia tak ingin merokok di dekat anak-anak, Naruto juga mampu menghilangkan stress penyebab Kakashi merokok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Healing [KakaNaru]
Romance[Selesai] Terkadang, hewan buas justru ada di aliran air paling tenang. Sama halnya seperti depresi yang kakashi rasakan. Kematian sahabatnya membuat dunianya seakan menggelap. Sampai ia bertemu bocah itu.. Bocah yang menyelamatkan dirinya.