Note Finished Yet - Chapter 7

76 13 0
                                    

Happy reading
Hope you like it
❤❤❤

_______________________________________________

“Herannya, kamu itu masih aja mau-maunya didekte sama mamamu, Na. Tapi ya udah ‘kan, toh itu udah jadi pilihamu sekarang.” Komentar Sam tidak menjadikanku lebih baik saat dia selesai mendengarkan seluruh ceritaku.

“Dan soal pengakuan mamamu yang ngelaporin aku sama temen-temenku, biarin aja. Aku emang mau berubah kok. Malah aku bersyukur mamamu ngelaporin aku waktu itu.” Dari sekian kalimat makian yang biasa digunakan Sam untuk menanggapi sesuatu, cowok ini memilih berpikir positif tentang mama. Sangat berbanding terbalik dengan baliau. Dan aku tak suka itu, seolah-olah percuma saja aku membelanya.

“Aku nggak mau pulang ke mana-mana.” Menang benar, aku tidak ingin pulang ke apartemenku, apartemen Dio, atau rumah papa-mama. Di mana semua tempat itu berpotensi besar membuatku bertambah sengsara.

“Na, apa maksudnya itu? Kamu ‘kan bentar lagi mau nikah, jangan kayak gitulah,” tutur Sam dengan raut wajah serba salah.

Dari tempat dudukku, aku merajuk—sesuatu yang tak pernah sekalipun kutunjukkan pada siapapun kecuali Samudra. “Kamu nggak denger ceritaku, Sam? Aku nggak mau nikah sama dia.”

“Wah, jangan gitu dong, Na. Kamu udah dewasa, kamu harus mikirin lagi soal ini dari banyak sisi, jangan cuma dari sisimu aja.”

“Tapi aku mau sama kamu, Sam. Jujur aja aku belum bisa move on dari kamu!” pekikku yang kembali terisak. Aku sudah tidak peduli lagi soal etika. Dan siapa dia berani membicarakan soal kedewasaan denganku di saat dia memilih untuk menemuiku tadi pagi dan mengungkapkan semuanya. Dia bukan seperti Sam.

Cowok yang bersandar di tepi meja dan bersedekap di depanku itu mengusap wajah kasar dan mengacak rambut bak orang frustasi. “Nana, dengerin aku baik-baik ya. Aku juga sayang banget sama kamu, Na. Dari dulu. Tapi, udah nggak mungkin lagi kita bareng-bareng sekarang. Seminggu lagi kamu bakalan nikah. Aku nggak mau kamu batalin nikah demi aku. Apa kamu nggak mikir namaku yang udah jelek di keluargamu ini bakalan tambah jelek?”

Aku sontak berdiri, tercengang dan tak percaya Sam akan bicara seperti ini padaku. “Kamu egois, Sam. Kamu mikirin diri sendiri! Di mana ancemanmu tadi yang pengin ngerusak hubunganku sama Arsen? Sekarang aku nantiin itu!”

“Oh, jadi namanya Arsen ya, Na. Calon suami kamu?”

“Bukan itu poinnya, Sam. Kalau tahu kamu bakal ngomong kayak gini, aku nggak bakal ikutan kamu tadi pagi. Aku nggak bakal ngebelain kamu dan berantem sama mama. Aku nggak bakalan dateng ke sini juga buat cerita di saat aku mikir cuma kamu satu-satunya orang yang bisa ngertiin perasaanku kayak biasanya.”

Napasku naik-turun dengan derai air mata yang menggelincir ke pipiku. Meski kacau, aku tak peduli kalau sekarang cara bicaraku jadi mirip drama di film-film. Jujur saja, aku kecewa. Setelah apa yang dia lalukan tadi pagi yang sukses mengubah mind set-ku tentangnya, Sam malah jadi seperti ini.

Lalu aku sadar bahwa datang ke sini hanyalah sebuah kesalahan. Jadi, aku menggeleng, lalu mengusap kasar air mataku menggunakan punggung tangan, secara terpaksa menghentikannya dengan menggigit bibir kencang-kencang. Aku juga memanfaatkan momen Sam yang masih tampak menimbang mau menanggapi aku, untuk berkata, “Sorry, Sam. Udah ganggu waktu kerjamu. Anggep aja aku nggak pernah dateng ke sini dalam keadaan kacau kayak ini. Lupain juga cerita atau omonganku barusan. Tapi jangan khawatir kok. Aku bakalan tetep bantu desain kafemu. Aku pergi dulu, Sam. Makasih.”

Walau demikian, aku berharap Samudra menghentikanku, lalu membujukku tinggal. Namun, itu tidak terjadi. Bodoh sekali aku!

Aku melajutkan mobilku menuju antah berantah dan baru kusadari berhenti di tepi pagar lapangan udara bandara Soekarno-Hatta. Tahu melalui suara pesawat yang lewat tiap menitnya. Ingatanku tentang jadwal penerbangan Arsen hari ini menggoda pikiranku untuk menyusulnya.

Not Finished YetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang