Not Finished Yet - Chapter 9

76 10 0
                                    

Happy reading

Hope you like it

❤❤❤

_____________________________________________

Pada suatu kesempatan di jam besuk yang tenang, Samudra menceritakan tentang penyebab aku bisa koma, amnesia parsial dan berpotensi lumpuh seperti ini.

Dia menyebut-nyebut calon suamiku bernama Arsen yang kupergoki selingkuh di hotel dekat bandara Changi.

Jadi, sekarang aku dirawat di Singapore karena terbentur tiang besi lampu kamar yang akan digunakan gundiknya Arsen untuk memukul Samudra. Namun, karena terlilit tali, tiang dan bola lampunya jatuh mengenai kepalaku.

Sebenarnya ini bukan salah siapa pun, karena murki kecelakaan. Kenyataanya, menurut Samudra tidak. Jadi, dia tetap ingin menuntut dua orang tersebut. Sayangnya, ada yang lebih penting untuk dilakukan. Yakni menolongku.

Dia menggendongku ke lobi dan mencegat taksi lalu membawaku ke rumah sakit. Tidak memedulikan Arsen, gundiknya, atau orang-orang yang ramai di kamar tersebut. Katanya, aku yang terpenting saat itu. Selalu aku.

“Kapan aku punya calon suami? Aku kan sama kamu, Sam,” bantahku.

Samudra mengambilkan sepotong apel yang telah dikupasnya dan disuapkan ke mulutku. Aku pun menguyahnya tak takzim lantaran menunggunya lanjut bercerita.

“Dulu kita sempet putus. Em ... bukan, bukan ... aku yang ninggalin kamu, Nana.”

Kedua netraku langsung membola dan kunyahanku kontan kutelan. “Ha? Kamu ninggalin aku? Mau kukasih bogem kamu? Berani-beraninya ninggalin aku, Sam!”

Samudra tertawa renyah. Bagian dagunya yang muncul arena kelabu karena bakal bulu-bulu janggut mulai tumbuh, membuat cowok itu semakin maskulin. Rasa-rasanya aku semakin mencintai cowok ini.

Dalam beberapa detik, Samudra mengganti tawanya dengan dehaman lalu menunduk sambil menggenggam tanganku. Sikap yang cukup serius.

“Na, aku ketangkep polisi dan akhirnya masuk bui. Papa nebus aku setahun kemudian. Tapi buat masukin aku ke panti rehabilitasi sampai hampir dua tahun. Akhirnya aku udah sembuh dan mutusin buka kafe buat buktiin kalau aku juga bisa jadi cowok betulan,” ceritanya lirih.

Meski kaget, tetapi aku tidak ingin membuatnya sedih. Jadi, aku mengikik untuk menanggapi kalimatnya yang lain. “Emang kamu cowok jadi-jadian, Sam? Kok pengin jadi cowok betulan?”

“Maksudnya, pria sejati gitu. Nggak main-main sama duit papa terus kayak cowok manja. Yah walau modal buka kafenya dari papa sih.”

Kata Dio, Samudra cuti selama dua bulan di kafe barunya untuk menjagaku. Bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta dengan Samudra lagi dan lagi?

“Terus, mamaku tahu nggak kalau kamu masuk bui?” bisikku. Takut mama yang sedang telepon di depan kamar mendengar cerita Samudra. Aku tidak ingin cowok ini jadi semakin memiliki citra lebih jelek di depan orang tuaku. Walau mereka sudah bisa berbaikan.

Samudra menatap langit-langit sejenak, kelihatan berpikir keras. “Pelan-pelan, Na. Kata dokter kamu nggak boleh dijejali banyak hal dulu. Entar kepalamu sakit.”

“Em tapi, kok kamu bisa ada di situ, Sam? Maksudku, di hotel itu?” Aku bertanya lantaran ganjil dengan kejadian tersebut, walau tak tahu persisnya seperti apa. Lantas  menggigit dan mengunyah apel.

Samudra menjawab, “Jujur ya, Na. Waktu kamu pergi dari kafeku, aku ngikutin kamu. Nyesel sekaligus khawatir. Aku coba telepon kamu, tapi HP-mu mati. Padahal aku tahu kamu di seberang pagar lapangan terbang, Depok. Nggak tahunya kamu malah pesen tiket ke Singapore. Feeling-ku udah nggak enak. Jadi, ya ... gitu deh.”

“Udah kayak dukun aja kamu itu, Sam. Pakai feeling-feeling.”

“Tapi beneran ‘kan?” Aku nyengir kuda dan Samudra melanjutkan, “Yang jelas, tante Nisrina pengin kamu dapet suami yang baik. Tapi ternyata kayak bunglon.”

Aku tertawa walau berarti lepas dari Arsen si Bunglon itu harus kubayar mahal dengan kesehatan jasmaniku. Setidaknya ada Samudra dan seluruh keluargaku yang merangkulku sekarang.

“Kamu mestinya curiga, Na. Cowok modelan gitu mau sama kamu.”

Tawaku sontak padam. “Maksudmu apa, Sam?” Aku tersiggung, gaeees.

“Kamu terlalu cuek, tapi dia kayak tahi kucing. Pakai ngasih tahu semua kegiatannya ke kamu. Mulai dari dia ada di mana, kapan, sama siapa aja yang lagi bareng dia. Biar apa coba? Itu cuma buat nutupi kebusukannya. Mending cowok yang kelihatannya busuk tapi nggak munafik daripada disangka cowok baik-baik, tapi aslinya kayak siluman buaya.”

Aku kembali tertawa lagi. Kendati sekarang tidak kenal siapa itu Arsen, tetapi aku suka cara Samudra mengata-ngatainya. Membuatku merasa dipedulikan. Sebab itulah yang kubutuhkan. Dukungan mental selagi berusaha menyembuhkan fisikku.

“Maksudnya, kamu ngomonging dirimu sendiri. Gitu, Sam?” ledekku.

“Kamu ini kalau mrediksi kok suka bener sih, Na? Siapa yang sekarang cocok jadi dukun? Hish, gemes aku jadinya.”

Samudra mengambil tanganku yang tidak diinfus lalu membuka mulut hendak menggigitnya. “Argh! Sam! Kira-kira dong kalau gemes! Jangan gigit, kan aku nggak ada dagingnya sekarang!”

Rupanya, kekhawatiran tanganku bakal digigit cowok itu pun tidak terbukti. Samudra mengatupkan mulut untuk membentuk garis senyum hangat. Lalu mencium tanganku secara lembut dan jantungku rasanya meledak-ledak mirip kembang api tahun baru.

Aku hampir melayang, gaeeess.

“Cepet sembuh ya, Na,” ucapnya yang kemudian mengusap-usap puncak kepalaku. Mirip kucing yang dijinakkan.

***

“Mbak Flo ... sorry, Mbak, baru bisa jenguk lo.” Datang-datang bersama pacarnya, Saras merengek, menangis tersedu-sedu dan berlari untuk memekukku yang setengah tiduran.

“Apa sih, Ras?” Aku pura-pura mengomel, tetapi membalas pelukannya dengan senyum.

Tidak lama kemudian, Saras melepaskankan diri untuk menelitiku dari atas hingga bawah sambil memaki-maki. “Lo jadi kurus begini, huaaa .... Dasar cowok kampret emang si Arsen itu!”

Dia terbang ke Singapore saat akhirnya mendapat hari libur. Dia nangis sampai matanya merah. “Mbak Flo, gue nggak nyangka banget sih dia bisa kayak gitu sampai bikin mbak Flo kayak kurus gini. Untung Mbak inget gue. Gimana kalau nggak inget? Huaaa ....”

“Ras, udah deh. Jangan heboh-heboh, entar gue nangis lagi tahu!”

Saras rerpaksa berhenti. Dan kami berbincang banyak hal. Termasuk rencananya menikah dengan pacarnya. Namun, akan menungguku pulih dulu.

Kukatakan, “Nggak perlu, Ras. Kalau bisa disegerain aja. Lo bisa dekor sesuka hati lo buat pernikahn lo ‘kan?”

“Iya sih, tapi tetep aja. Nggak ada Mbak Flo, itu nggak seru. Nggak hidup suasananya.”

Ketika Samudra baru kembali je kamar dari membeli kopi bersama pacar Saras, pegawai jempolanku bersama pacarnya pun pamit pulang. Dan cewek itu berkata, “Mas Sam, tolong jagain Mbak Flo, ya?”

“Nggak perlu lo minta udah gue niatin sendiri kok. Emang sih, Nana itu nggak bisa dibiarin sendiri. Harus ada gue yang jagain dia.”

Hatiku terenyuh lalu mewek. “Loh, Na. Kok malah mewek sih?” tanya Samudra sembari merangkul pundakku.

“Gue nggak ikut-ikut ya, pokoknya itu tanggun jawab Mas Sam udah bikin Mbak Flo nangis!” teriak Saras sebelum menghilang di balik pintu ruang inapku bersama pacarnya.

_____________________________________________

See you next last chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

5 Desember 2021

Not Finished YetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang