Not Finished Yet - Chapter 10

128 14 7
                                    

Happy reading

Hope you like it

❤❤❤

_____________________________________________

Sebagai antisipasi memulihkan keadaan kakiku, dokter menyaranku terapi. Oh! Tentu saja. Aku sangat menyetujui pria itu. Apa pun yang bisa membuatku sembuh, pasti akan kulakukan. Meski harus membuatku  lebih lama di tinggal rumah sakit dengan biaya yang tak murah, aku tak peduli. Jasa dekorasiku masih berjalan seperti sedia kala, jadi uang masih mengalir masuk ke rekeningku kendati tanpa kehadiranku. Saras mengambil peran penting atasnya dengan mengkonsultasikannya padaku.

Namun, bukan itu bagian krusialnya. Aku akan merasa sangat didukung dan bisa cepat sembuh dengan kehadiran keluarga, sahabat, serta Samudra Atlantis. Dan aku mendapatkan semua itu.

Pada sesi terapi sore ini, Samudra menemaniku.

“Sam, gimana kalau aku lumpuh beneran?” Aku bertanya sembari mencoba keras menggerakkan kakiku atas perintah sang fisio terapi. Namun, lagi-lagi gagal. Rasanya aku hampir putus asa.

“Nggak boleh ngomong kayak gitu, Na.” Samudra yang kukenal kekanakan dan suka memiliki pemikiran serta bertingkah seenaknya kini berubah dewasa. “Pelan-pelan aja, santai. Nggak ada yang lagi ngejar kamu.”

Aku mencoba memejam, mengembuskan napas berat yang panjang. Sekali lagi menarik napas dan membuang karbon dioksida lantas memegangi kursi roda sebagai bentuk usaha berdiri. Kata sang fisio terapi, pertama-tama aku harus bisa berdiri. Pada kesempatan lain bila berdiriku sudah bagus tanpa bantuan alat apa pun atau siapa pun, aku diharapkan bisa berjalan melewati pilar-pilar yang di pasang horizontal di sepanjang track lurus sejauh dua meter.

Sayangnya, untuk sekadar berdiri pun aku gagal.

Aku hanya menggunakan kekuatan tangan untuk menjaga keseimbangan tubuh. Semakin lama, tenagaku semakin menipis sehingga menjadikanku tak seimbang lalu jatuh. Beruntungnya ada Samudra dan petugas fisio yang sigap menangkapku. Begini saja rasanya aku sudah ingin menangis.

“Baru sekali, Na. Masa udah mau nyerah?” Samudra berucap lembut sambil membelai rambut panjangku yang menjuntai ke bagian sisi wajah. Lalu mengarahakannya ke belakang telinga.

“Kalau belum berhasil hari ini, kita akan mencobanya besok,” sahut petugas fisio dengan bahasa Inggris serta senyum ramah yang pasti telah dilatihnya sejak lama. Senyum yang bisa menenangkan orang-orang sepertiku.

Samudra mendudukanku di kursi roda lagi. Lalu mengobrol dengan petugas fisio tersebut. Entah apa yang mereka obrolkan. Aku tidak bisa mendengarkan mereka bicara sebab jaraknya sedikit jauh.

Aku cemburu, tetapi merasa itu terlalu berlebihan. Jadi, kualihkan pandangan ke sekitar. Banyak orang sedang melakukan terapi sama sepertiku. Semuanya tampak bekerja keras. Ada yang berhasil, dan aku merasa senang atas usaha orang tersebut. Ada juga yang gagal dan aku mengingat diriku sendiri. Membandingkan wajah murung orang tersebut dengan wajahku.

Tidak lama kemudian, Samudra kembali dan berkata, “Hari ini cukup sampai sini dulu. Besok kita berusaha lagi, Na.”

Namun, sudah berbulan-bulan aku menjalankan terapi, kakiku hanya berfungsi satu. Kaki kiri bagian bawah lutut sampai ke telapaknya benar-benar mati. Saraf-sarafnya sudah tidak bisa menjalankan tugasnya. Kata dokter, selalu ada harapan untuk sembuh. Sayangnya aku tahu itu hanya upaya pria tersebut untuk menenangkanku. Aku cacat permanen dengan ingatan yang tak akan kembali selamanya.

Bagian paling menyakitkan, aku harus diampuasi.

Mama menangis histeris melihatku sesenggukan pasca operasi amputasi. Baru kali ini aku menyaksikan keadaan beliau yang tak paripurna ; tidak bermekap, rambut yang selalu anti badai kini kusut masai dan uban mulai menunjukkan eksistensinya. Padahal mama rajin mengecat rambut menjadi cokelat terang dengan bagian ujung yang menggelap, sangat tahu gaya fesyen. Pakaian mama juga ala kadarnya dengan sandal rumah. Dan mama tersedu-sedu.

Not Finished YetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang